Wednesday, December 29, 2010

"Are You Indonesian ?"


Saya menulis ini dari sudut ruangan saya di lantai 9 suatu gedung perkantoran di tepi Jalan Jenderal Sudirman yang terlihat berbeda dari biasanya. Saat saya memulai tulisan ini adalah pukul 16:02, dan tampak dari atas jalan itu sudah lebih padat dari biasanya dengan aksesoris yang tambak berbeda, sekumpulan noktah merah bergerak seirama ke satu arah : ke arah selatan, ke arah Gelora Bung Karno di Senayan. Ijinkan saya ceritakan pengalaman yang baru saya lalui sejak dua jam lalu.

Dua jam lalu, saya bergegas menuju Pacific Place, mall megah di seberang Gelora, untuk dua tujuan : membetulkan Blackberry saya yang hang, dan memarkir titip mobil saya. Beberapa menit sebelumnya saya peroleh informasi bahwa aparat akan mengosongkan area di sekitar Gelora sebagai antisipasi kerusuhan sebagai akibat pertandingan sepakbola final AFF Cup antara Tim Nasional Indonesia melawan Malaysia. Dan memang jika melihat apa yang ada di dunia maya, aura permusuhan dan kebencian yang amat sangat sudah tercium dengan begitu jelasnya. Saya rasa tindakan aparat sudah tepat dan amat patut diberi apresiasi. Ketimbang pusing tidak bisa pulang, saya titipkan mobil saya sehingga nanti cukup dengan bus Transjakarta atau ojek saya bisa ke Pacific Place dan kabur lewat jalan Senopati. Itu plan saya. Semoga berhasil, kita buktikan dua jam lagi.

Sewaktu tulisan ini saya buat, kita semua, dua ratus juta lebih insan berkebangsaan Indonesia, belum tahu apa yang Allah rencanakan untuk simbol kebanggaan bangsa ini : Tim Nasional Sepakbola Republik Indonesia, atau kita singkat saja "Timnas". Semoga perjuangan mereka diganjar dengan kemenangan dan kejayaan atas Malaysia. Namun yang ingin saya ceritakan adalah betapa saya merasa dada saya seperti ingin meledak melihat aneka pemandangan dalam dua jam terakhir.

Seselesainya memarkir kendaraan di basement, saya bergegas ke service center yang dimaksud, di lantai 3 mall tersebut. Sepanjang jalan, eh sepanjang eskalator juga, dengan mudah saya menemui ratusan wajah, umumnya kalangan berpunya, yang sedang berfoto, cuci mata, berbelanja dan bercengkrama. Tampak mereka berasal dari aneka kelompok etnis, namun tampak dominan adalah pengunjung dengan corak oriental khas etnis keturunan Tionghoa. Satu hal yang menyamakan ratusan manusia tersebut : mereka mengenakan aneka atribut dan busana berwarna merah. Pemandangan ini tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya, seorang WNI asli yang lahir dan besar di Indonesia.

Tiga puluh menit kemudian, urusan saya selesai. Saya putuskan untuk sedikit abaikan urusan di kantor yang memang sudah sepi karena akhir tahun. Saya putuskan tidak naik taksi dan pilih kendaraan umum sembari melihat-lihat situasi. Saya memilih pintu keluar yang berhadapan dengan gedung Bursa Efek Jakarta. Tampak pemandangan baru lagi yang di luar nalar saya selama ini : belasan, bahkan puluhan karyawan dan karyawati berebutan pesanan kaos Timnas berwarna merah menyala itu dan mengenakannya. Yang perempuan tentu saja mendobelnya dengan pakaian kerja mereka setelah melepaskan vest atau busana luar mereka. Sementara yang pria ada yang mendobelnya dan ada pula yang dengan cuek melepas dasi dan kemejanya, lalu mengenakan kaos yang baru saja dibeli secara kolektif oleh seorang kawan mereka. Di latar belakang, tampak ratusan orang berjalan dari arah SCBD menuju Senayan sambil terus mengepalkan tangan, menyanyi dan berteriak seirama "Indonesia", atau "Menang", atau "Garuda Di Dadaku".

Saya begitu kehausan sehingga setelah menyeberang saya duduk di trotoar di sisi gedung Bursa Efek dan membeli minuman botol dingin. Tampak dua anak muda dekat saya yang juga mengenakan kaos replika Timnas (tanpa logo swoosh Nike dan kualitasnya begitu ketara palsunya) yang memandang ingin. Saya tawarkan untuk mengambil, dan mereka mendatangi saya, mengambil sebotol air mineral dingin. Di luar dugaan saya, ada lima orang lain seumuran yang datang dan bergantian meminum air mineral tersebut. Mereka setelahnya mengucapkan terima kasih dan tidak lupa berteriak "Indonesia!". Juga tidak lupa seseorang berkata, "doakan Timnas Bang, kami haus kemenangan". Saya hanya tersenyum dan mereka pun menghilang di sisi jalan yang lain.

Rupanya saya tidak sendiri. Sekumpulan anak muda karyawan itu duduk segaris dengan saya dan juga tampak sedang minum sembari bergantian berfoto dengan busana canggung : atasan kaos sepakbola dan bawahan busana kerja yang tampak amat resmi. Tapi mereka tampak tidak peduli dan juga tidak ada seorang pun yang peduli. Sebelah saya ada seorang bule berusia lima puluhan, tinggi besar dan berewokan ala Hell Angels mengenakan jaket kulit. Dia mengambil air mineral dan bertanya ke saya "Are You Indonesian friend ?". Saya hanya tersenyum dan menjawab "Sure, I am", segera dia menyergah, "why don't you just jump in with us all to that arena?" sambil menunjuk arah Gelora yang kubahnya jelas tampak dari tempat kami. "Sorry, I will watch from TV, I need to go back to my office", sahut saya. Dia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan "I am Craig, one hundred percent Scottish inside (menunjuk ke dadanya), but I feel I am Indonesian, twelve years already live in Indonesia, eat and drink Indonesian food and teach Indonesian kids English" serunya sambil terkekeh. Lalu ia membuka jaket kulitnya dan tampak kaos Timnas berwarna merah (ini yang asli... ). I never feel like this in my home town, it is crazy friend, look at them, it is crazy, Indonesia is a great country, great people". Dia terus mengoceh....

Saya berjalan ke arah halte busway di seberang Gelora. Tampak jalanan dan jembatan penyeberangan sudah penuh dengan manusia berbusana serba merah. Dari aneka golongan, tua muda bahkan anak-anak, lelaki perempuan, kaya dan miskin, tampak jelas dari potongan mereka namun semua menuju arah yang sama. Polisi tampak mulai kerepotan mengatur lalu lintas yang memadat dengan cepat. Dan tidak ada hentinya saya melihat belasan taksi serta kendaraan, termasuk kendaraan mewah yang berhenti untuk menurunkan beberapa orang, lelaki dan perempuan muda, dengan busana Timnas dipadukan dengan riasan dan aksesoris yang menunjukkan kelas sosial mereka. Lalu mereka menyeberang dan berjalan ke arah Gelora pula...

Di halte busway, tampak begitu padat aliran manusia yang datang dari bus yang tiba dari arah Blok M maupun Kota. Nyaris semuanya mengenakan atribut dan kaos replika Timnas. Suara terompet, teriakan dan nyanyian mereka tampak tidak ada putusnya. Seorang dari mereka saya sapa dan berceloteh, "Gue gak peduli mau nanti kalah sepuluh kosong, itu kebanggaan kita, harus didukung, biar mampus Malaysia, Nurdin turun, bubar PSSI" umpatnya. Tampak jelas kecintaan akan Timnas-nya dan kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Dari tempat saya menunggu, tampak satu keluarga, bule, bapak ibu dengan tiga anak tanggung, kelimanya mengenakan kaos Timnas, berjalan dari arah Hotel Sultan menuju pintu Gelora, salah seorang anaknya meniup terompet sekeras-kerasnya dan terdengar oleh saya di seberang jalan yang sedemikian berisiknya.

Tiba-tiba saya sadar, saya menyesal tidak bisa memutuskan untuk bersama mereka. Saya ingin jadi bagian dari mereka. Bukan karena sepakbolanya. Sudah lama bangsa ini tidak sedemikian bersatunya untuk satu hal. Ijinkan saya tunaikan shalat Ashar, dan Insya Allah saya akan doakan tiga hal : semoga Timnas Indonesia menang di dalam dan di luar lapangan (tidak ada penodaan dan kerusuhan oleh pendukung), semoga bangsa Indonesia tercinta terus dapat bersatu seperti ini terus, dan semoga bangsa Indonesia dikaruniai kejayaan yang tak terputus bukan hanya di arena sepakbola tetapi di arena apapun. Amiin.

Are you Indonesian ?
Yes, I am Indonesian. And I am very proud to be Indonesian.

-Jakarta, 29 Desember 2010, 16:40 WIB