Friday, July 27, 2012

Faktor Kesuksesan Menurut Matriks Kesadaran dan Kompetensi


Di suatu penerbangan dari Bali menuju Jakarta, saya membaca di majalah yang disediakan maskapai tersebut suatu artikel mengenai pengembangan diri berbasis kesadaran akan kemampuan. Disebutkan bahwa setiap manusia untuk setiap hal akan melalui empat fase berikut ini :
  1. Unconscious Incompetence ; fase dimana seseorang tidak menyadari bahwa dirinya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan
  2. Conscious Incompetence ; fase dimana seseorang menyadari bahwa dirinya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan
  3. Conscious Competence ; fase dimana seseorang menyadari bahwa dirinya mampu melakukan suatu pekerjaan
  4. Unconscious Competence ; fase dimana seseorang tidak lagi menyadari bahwa dirinya mampu melakukan suatu pekerjaan

Disebutkan contoh terbaik dan paling umum adalah mengemudikan mobil. Awalnya saat kita merasa belum perlu mengemudikan mobil (bisa karena memang tidak perlu atau karena memang belum punya mobil), maka kita ada di fase pertama : kita tidak menyadari bahwa kita tidak mampu mengemudikan mobil. Kemudian pindah rumah dan membeli mobil, ada kebutuhan atau "desakan", maka ini yang akan sadarkan diri bahwa kita harus bisa mengemudikan mobil, maka ada di fase kedua : kita tersadar bahwa kita tidak mampu mengemudikan mobil.

Setelah berlatih dan memiliki persyaratan yang dibutuhkan, jadilah kita seseorang yang bisa, bahkan cakap, untuk mengemudikan mobil. Pada titik ini maka kita ada di fase ketiga : kita sadar sepenuhnya bahwa kita mampu mengemudikan mobil. Lama sesudahnya, kita menjadi fasih mengemudikan mobil, bahkan dari berbagai tipe mobil dengan variasi teknisnya serta aneka rintangan yang ada di jalan raya. Disini kita ada di fase terakhir : kita tidak sadar bahwa kita mampu mengemudikan mobil. Apakah saat ini bagi Anda yang rutin mengemudikan mobil menggunakan pikiran sadar "ooh saya harus injak kopling sebelum memindahkan gigi" ? Atau pikiran "wah kendaraan di depan amat lambat, mungkin dengan menambah gas maka saya akan lebih cepat dan bisa mendahuluinya"... Tidak seperti itu bukan ? Semua berjalan dengan instink, dan pikiran baru digunakan saat kondisi bukan suatu yang rutin, misalkan macet, Anda berpikir "apakah lewat situ lebih lancar ?".

Dalam pekerjaan dan kaitannya dengan keahlian atau kompetensi teknis apalagi manajerial, keempat fase tersebut amatlah relevan. Kita melihat bahwa titik paling diharapkan adalah di fase keempat. Namun titik kritis sebenarnya adalah saat perpindahan dari fase pertama ke fase kedua. Begitu banyak orang di sekitar kita yang tidak merasa perlu untuk berubah sekalipun perubahan tersebut sudah mendesak. Kesadaran tidak kunjung muncul bahwa ia tidak kompeten di area tersebut dan harus melakukan sesuatu agar dirinya berubah menjadi kompeten. Apalagi jika sudah berada di zona nyaman, sudah hampir pasti kesadaran itu akan sulit muncul.

Pribadi yang unggul adalah pribadi yang melampaui keempat fase tersebut. Ia menjadi pribadi yang sadar sepenuhnya akan kekurangan, lalu memperbaikinya, menjadi ahli di bidang tersebut dan secara naluriah mengimplementasikan keahlian tersebut di berbagai bidang dan tantangan yang dihadapinya. Diibaratkan ia memiliki suatu senjata yang mumpuni dalam bertarung. Namun, semua orang akan terdorong untuk demikian bukan ? Lalu dimana faktor pembeda antara si sukses dengan si biasa-biasa saja ?

Akhir-akhir ini dikembangkan wacana dan teori mengenai fase kelima, yaitu "Conscious Competence of Unconscious Competence". Suatu kemampuan untuk menyadari bahwa ia (mungkin) memiliki potensi/kompetensi yang tidak (atau belum) disadarinya. Siapapun yang sampai di titik ini dan melakukan sesuatu yang ekstra untuk mengetahui apakah potensi/kompetensi yang belum disadari tersebut, akan memperoleh "tambang emas" dalam dirinya. Inilah menurut banyak pendapat para ahli psikologi dan manajemen yang menjadi pembeda antara para pribadi unggul dengan pribadi sukses.

Menjadi unggul saja tidaklah cukup. Penting bagi kita untuk mempertahankan keunggulan ini secara konsisten, lalu menciptakan faktor pembeda, differentiating factor. Bukankah ahli manajemen Jack Trout sudah lama menggaungkan "Differentiate or Die" ? Tanpa faktor pembeda ini kita hanya akan menjadi si biasa-biasa saja.

Siapkah Anda untuk menjelajah ke fase kelima ini ?

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Tuesday, July 17, 2012

Berpikir Seperti Orang Sukses


Ingin sukses ? Siapa yang tidak ?

Tapi apa ukuran sukses yang dipakai ? Banyak, bisa apa saja, dan sebaiknya Anda tetapkan kriteria tersebut sesuai dengan nilai yang Anda percayai.

Lalu bagaimana cara menuju sukses ? Banyak, tapi kita mulai dari berpikir seperti orang sukses. Apa saja tuh ? Coba simak Magnificent Seven Tips berikut ini :

1. Memaksimalkan hal positif dan meminimalkan hal negatif

Orang sukses umumnya pandai dan jeli dalam menilik mana hal yang baik dan yang tidak, namun lebih jauh lagi, mereka tidak menolak atau menerima begitu saja. Orang sukses tidak menyalahkan siapapun atas hal yang negatif, mereka melakukan hal yang konstruktif dengan mereduksi dampaknya dan menjadikan hal negatif sebagai komponen penyeimbang. Di sisi lain, mereka selalu berusaha mencari celah untuk menjadikan hal positif menjadi semakin menguntungkan.

Lalu apa bedanya dengan mereka yang tidak sukses ? Si loser umumnya sibuk meratapi dan menyalahkan aneka pihak atas hal negatif dan membiarkan dirinya "tergulung" dampak negatif tersebut, bahkan sampai lupa untuk memaksimalkan potensi dari hal positif. Seringkali malah mereka tidak tahu ada hal yang positif.

2. Mengembangkan spiritualitas diri

Tidak bermaksud mengasosiasikan poin ini dengan religiusitas, namun faktanya nyaris tiap orang sukses memiliki aspek spiritualitas yang kental. Selalu muncul aspek spiritual dalam langkah-langkah yang diambil, dan ujungnya menciptakan ABC (attitude-behavior-character) yang unik, menarik dan mendukung kesuksesannya.

Sementara bagaimana dengan mereka yang tidak sukses ? Disebutkan 5 sikap umum para pecundang : harga diri yang terlalu tinggi, negatif dan pesimistis, di sisi lain arogan dan sombong, merasa sukses dan kegagalan tidak terkait dengan Yang Maha Kuasa, serta keserakahan dalam berbagai bentuk dan tingkatan.

Pernah mendengar bahwa orang sukses umumnya (diam-diam maupun terbuka) memiliki jiwa sosial yang tinggi dan idealisme dalam menyikapi kesuksesannya dalam bentuk keinginan berbagi dan menjadikan orang lain sukses pula ?

3. Percaya pada diri sendiri

Tidak ada orang sukses yang tidak percaya diri. Mungkin ada si sukses yang pemalu dan tertutup, tetapi mereka bukanlah orang yang tidak percaya diri. Kita tengah ramai membahas kemenangan Jokowi di putaran pertama pemilihan gubernur baru-baru ini. Wakilnya menyebut bahwa sosoknya adalah amat sederhana, santun, cenderung tidak menonjol dan tidak suka menonjolkan diri, serta tidak sadar jika ia pintar. Bahkan seringkali tidak meyakinkan tetapi ia sendiri yakin akan gagasannya. Faktanya : nyaris semua gagasannya terlaksana dengan baik dan berbuah manis di pemerintahannya di lingkup kota Solo.

Saat seseorang tidak percaya diri, ia cenderung menjadi defensif, menarik diri, negatif, pesimis dan bahkan mencari pembenaran atas kemunduran sikapnya. Inilah ciri yang paling mudah ditemui dari mereka yang tidak sukses. Mereka selalu sukses mencari alasan untuk kegagalan atau ketidakmajuan mereka. Sukses yang negatif !

4. Membangun reputasi dan 'brand'

Reputasi dan brand yang dimaksud tentu adalah dalam konteks yang positif dan membangun. Keduanya terbangun di atas ABC (attitude-behavior-character) yang baik dan kuat. Nyaris semua orang sukses memiliki sikap yang progresif dan positif, memiliki kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif dan optimis, serta memiliki karakter yang kuat dengan dukungan nilai-nilai yang positif. Secara perlahan dan tidak disadari, semua hal tersebut sebenarnya menjadi suatu "merek" yang akan berperan besar dalam kesuksesan seseorang.

Bagaimana dengan para pecundang ? Umumnya terasosiasi dengan reputasi dan merek sebagai pemalas, sedang-sedang saja, suka menunda, seadanya.... dan parahnya selalu memiliki alasan untuk menjustifikasi cap buruk yang melekat pada diri mereka.

5. Berpikir terbuka, optimis dan realistis

Siapa yang bisa menerima ide bahwa manusia bisa terbang ? Manusia bisa menyelam hingga kedalaman ribuan meter ? Manusia bisa mendarat di bulan ? Tidak ada satupun di masa-masa dimana gagasan itu awalnya dikemukakan secara terbuka. Kemampuan berpikir terbuka atas segala kemungkinan dan masukan, dikombinasikan dengan sikap optimis yang realistis secara konsisten akan menggiring ide yang paling liar sekalipun untuk dapat diterima dan diwujudkan.

Ingat cerita Colombus dan telurnya ? Bahkan saat Colombus berhasil menunjukkan cara mendirikan telur rebus pun lawan-lawannya masih berseloroh "jika demikian maka kita juga bisa". Itulah sebabnya kita mengenal nama Colombus dan tidak mengenal satupun nama dari 12 orang penentangnya tersebut.

6. Win-win Solution secara persisten

Tidak ada yang suka kalah dan dikalahkan. Dan tidak ada yang bisa sukses sendirian selamanya. Kedua hal itu menjadi dasar mengapa kita harus selalu persisten dan konsisten untuk mengupayakan solusi terbaik bagi semua pihak. Untuk apa ? Agar tidak ada yang merugi, dan tidak ada yang tidak didukung. Yang harus dihindarkan adalah kemenangan besar hari ini untuk kalah besar esok hari. Sialnya saat kita kalah besar esok hari tidak ada tangan yang bisa menarik diri kita untuk bangkit kembali. Mengupayakan win win solution secara persisten akan menggiring semua pihak membentuk aliansi yang strategis dan positif, karena sama-sama merasakan manfaat berinteraksi dengan diri kita.

7. Melayani sembari mengembangkan value

Nyaris semua orang sukses memiliki kunci kesuksesan yang sama : melayani dan mengembangkan value. Apapun pekerjaan, bidang usaha dan keahlian kita, pada dasarnya ditujukan untuk melayani dan memberikan nilai tambah. Bahkan seorang presiden pun sebenarnya bertugas melayani rakyatnya dalam pengelolaan negara bukan ?

Arogansi dan aneka keengganan untuk melayani hanya akan memperburuk keadaan dan mempersulit jalan seseorang menuju sukses. Dan ini adalah salah satu ciri yang paling mudah ditemui di mereka yang menjadi pecundang. Ada yang pernah melihat pengamen yang serius, berusaha merdu dan tampil sopan serta simpatik memperoleh imbalan sukarela yang lebih besar dan diberikan dengan senyum dari pemberinya ?

Wednesday, July 4, 2012

Mau Pindah Kerja : Perhatikan Nego Gaji & Benefit ! - Part 1


Siapa sih yang tidak mau punya pekerjaan yang asik, suasana kerja yang asik dan lingkungan kerja yang kondusif ? Apalagi disertai dengan atasan yang konstruktif, job description yang jelas, job target yang fair dan team kerja yang optimis dan positif ? Eiitssss nanti dulu. Jangan lupa : gaji dan benefit ! Jangan sampai kita lupa akan negosiasi gaji dan benefit yang pantas untuk pekerjaan baru tersebut. Lalu seperti apakah "pantas" itu sebaiknya ?

SKEMA GAJI

Ada tiga detail penting saat negosiasi gaji, menyangkut skema pembayaran gaji, yaitu :
(1) Apakah gaji pokok yang dibayarkan adalah 'net after tax' ataukah masih gaji pokok kotor 'gross before tax' ? Besar lho komponen pajak penghasilan itu...
(2) Apakah gaji pokok itu dibayarkan sebagai komponen terintegrasi ataukah dipecah atas dasar gaji bulanan dan insentif periodik ? hati-hati... ini jebakan !!!
(3) Apakah ada klausula kontrak kerja atau penawaran kerja yang mengharuskan Anda membayar jumlah tertentu saat Anda pindah kerja ke tempat lain ?

Merujuk kepada item nomor dua di atas, sebaiknya Anda berhati-hati. Sejumlah perusahaan, terutama perusahaan lokal, mulai mengakali perpajakan dan beban tenaga kerja mereka dengan skema split compensation. Seperti apa itu ? Misalkan di perusahaan lama Anda memperoleh gaji net Rp 4 juta/bulan. Setahun Anda akan memperoleh kompensasi net sebesar Rp 4 juta x 13 (karena ada THR kan ?) = Rp 52 juta.

Di perusahaan baru Anda memperoleh gaji net Rp 4.8 juta/bulan dengan skema split compensation : 75% sebagai monthly salary dan 25% dibayarkan setiap 3 bulan sebagai "quarterly incentives". Apa yang terjadi ? Setiap bulan Anda akan menerima hanya Rp 4.8 juta x 75% = Rp 3.6 juta --> atau anda turun gaji Rp 400 ribu/bulan atau 10%. Dan dalam perhitungan bonus atau insentif lainnya, maka yang diperhitungkan sebagai faktor gaji pokok adalah Rp 3.6 juta, BUKAN yang Rp 4.8 juta !!!

Sementara soal item nomor tiga, umumnya terjadi jika ikatannya berupa kesepakatan kerja waktu tertentu (KKWT). Jadi misalkan ikatan kerja Anda berupa KKWT untuk 12 bulan, lalu perusahaan memberhentikan Anda di bulan ke 7, maka Anda berhak memperoleh pembayaran utuh untuk 5 bulan sisanya. Dan sebaliknya, jika Anda berhenti kerja untuk pindah ke perusahaan lain di bulan ke 9, maka Anda akan wajib membayar denda sebesar 3 bulan gaji Anda di sisa masa kontrak. Jangan sampai terlewatkan klausula ini karena ini adalah bentuk kesepakatan kerja sepihak yang banyak digugat. Jangan sampai terjebak pada klausula ini di kontrak Anda.


SALARY INCREASE

Dalam berhitung salary increase di Indonesia, cukup pelik. Mengapa ? Karena faktor inflasi yang menteror finansial kita dan perusahaan. Walaupun pemerintah sibuk berkoar tingkat inflasi hanya 6-7% saja per tahun, realitanya itu memperhitungkan ratusan faktor, termasuk harga kol gepeng, wortel, telur dan daging sapi segala. Kita tidak gitu-gitu amat kan ? Kalkulasi wajar untuk masyarakat kelas menengah di kota besar Indonesia, tingkat inflasi wajar sebenarnya antara 12-15% per tahun !!!

Artinya, jika perusahaan bermurah hati berikan Anda kenaikan gaji tahunan berbasis merit increase on living cost adjustment sebesar 10% sebenarnya Anda malah minus. Daya beli Anda berkurang antara 2-5%. Makin lama Anda bekerja di suatu perusahaan, makin tekor dan makin miskin Anda secara konsep moneter.... Untuk itu disarankan berpindah kerja setiap 3-4 tahun, dan atau memperjuangkan promosi setiap periode tersebut agar Anda dapat mengalahkan teror inflasi tersebut.

Maka, jika Anda pindah kerja setelah 4 tahun, Anda sebenarnya tergerus inflasi tahunan 15% akumulasi 4 tahun atau sebesar 74.9%. Katakan rata-rata setiap tahun Anda naik gaji 10% saja (dan Anda sudah tersenyum lebar karenanya), maka dalam 4 tahun akumulasi kenaikan pendapatan Anda cuma 46.4% saja. Artinya Anda bekerja 4 tahun di perusahaan itu Anda bertambah miskin 28.5%. Padahal pastinya target Anda ditambah terus tiap tahun kan ?

Saat Anda pindah kerja dan nego gaji, pastikan gaji baru Anda mampu menutup gap ini PLUS ekspektasi nilai tambah yang wajar atas perpindahan kerja ini. Jadi misalkan Anda merasa kepindahan Anda ini layak dihargai dengan kenaikan daya beli finansial sebesar 20% maka angka besaran gaji baru yang Anda harus perjuangkan minimal adalah sebesar 28.5% (inflation gap) + 20% (expectation gap) = 48.5%. Jadi Anda tidak boleh menerima gaji baru sebesar kurang dari 148.5% dari gaji lama Anda. Kecuali, di tempat kerja baru Anda sudah tidak nyaman, boss sialan, atau ada boss baru yang sok tau, atau ada ancaman perampingan karyawan dll.

Selamat berhitung !

Bagian berikutnya :
        BENEFIT WAJIB
                Kesehatan
                Pensiun
                Asuransi Sosial

        POTENSI BENEFIT TAMBAHAN
                Study Benefit
                Vacation Allowance
                Performance Bonus
                Annual Merit Increase
                Assignment Allowance
                Asuransi Jiwa
                Family Benefit
               Relocation & Promotion

Tuesday, July 3, 2012

Inner Circle


Sebuah kalimat nasehat di dunia barat berbunyi "Anda adalah dengan siapa Anda bergaul". Sementara sebuah pemeo bisnis yang cukup populer menyebutkan bahwa "Diri Anda dan kepribadian yang ada dalam diri Anda adalah kombinasi dari kepribadian dan pengaruh dari lima orang yang terdekat dengan Anda". Setuju ? Silakan, juga jika Anda tidak setuju tentu sah-sah saja. Namun saya pribadi meyakini kebenaran kedua kalimat tersebut.

Pertanyaan yang hendak kita coba jawab sebenarnya bukan benar tidaknya kedua nasehat tersebut melainkan "Seperti Apa Sebaiknya Teman Yang Kita Pilih ?" sehingga kita bisa menjaga bahkan meningkatkan kualitas hidup kita baik secara emosional, psikologis dan kehidupan keseharian kita.

Merujuk pada nasehat kedua, dimana disebutkan keberadaan "lima orang yang terdekat dengan Anda", bisa jadi tidak terbatas pada teman semata, namun bisa pula saudara, kekasih, pasangan hidup atau bahkan orang tua. Psikolog sering menyebutkan orang-orang terdekat ini sebagai 'Inner Circle" atau lingkaran terdalam. Bahkan lebih ekstrem lagi seorang artis malah memasukkan anjing peliharaan di inner circle-nya, sekalipun tentunya seekor anjing bukanlah manusia. Lalu kualitas apa yang sebenarnya dicari dan sebaiknya kita coba tetapkan dalam kriteria mencari "inner circle" yang sehat ?

1. Yang Memberikan Rasa Aman

Sahabat sejati dan pribadi yang sebaiknya kita pilih masuk ke dalam inner circle kita adalah pribadi yang mampu memberikan rasa aman. Aman tidak hanya sebatas terlindung dari ancaman fisik, namun jauh lebih penting membantu kita terlindung dari ancaman psikologis dan tekanan emosional. Pihak-pihak yang siap membantu Anda untuk menjadi sumber informasi, saran konstruktif dan sekedar mendengarkan dengan atensi akan ancaman atau ketidaknyamanan yang Anda rasakan, adalah mereka yang pantas dimasukkan ke inner circle Anda. Bukankah menurut Abraham Maslow rasa aman termasuk kebutuhan prinsip tiap makhluk hidup ?

2. Yang Menenteramkan dan Memberikan Rasa Nyaman

Inner circle bisa diibaratkan "gua perlindungan" atau "sarang" virtual bagi sosok emosional dan spiritual Anda. Anda harus merasa nyaman dan tenteram saat sedang get along dengan para member inner circle Anda. Bahkan Anda tidak perlu berhadapan muka secara langsung, tetapi sekalipun terpisah jarak yang jauh dan Anda tetap berhubungan atau kontak dengannya Anda sudah merasa nyaman, senang dan tenteram, maka pantaslah Anda dan dirinya saling menjadikan sebagai Inner Circle. Saya pribadi beranggapan orang tua harus masuk kriteria ini (dan juga kriteria pertama tadi) sebagai syarat menjadi Inner Circle bagi anak-anaknya.

Bagaimana halnya jika Anda merasa was-was, tidak bisa percaya atau merasa dipercayai, dan tidak merasa dihargai saat berdekatan atau bahkan saat Anda tengah membayangkan suatu acara di akhir minggu dengan seorang sahabat Anda misalnya ? Cukup jelas, ia tidak layak Anda masukkan sebagai inner circle Anda lagi.

3. Yang Membuat Anda Merasa Berharga dan Dihargai

Basis paling dasar dari suatu hubungan antar manusia adalah rasa saling percaya dan rasa saling menghargai. Sedikit saja rasa percaya dan saling menghargai ini ternoda maka akan sulit untuk mempertahankan suatu hubungan. Inner circle Anda haruslah orang-orang yang mampu membuat Anda merasa dipercaya, dan tentu orang-orang yang mempercayai Anda sepenuh hati dengan tulus. Juga mereka adalah orang-orang yang menghargai Anda dan sebaliknya Anda hargai dengan tinggi. Seseorang yang membuat Anda merasa bernilai, dan sebaliknya memiliki nilai tinggi dalam kehidupan Anda.

Bagaimana jika nilai-nilai di atas tidak terpenuhi ? Ya mudah saja, itu bukan lagi layak dimasukkan sebagai inner circle Anda. Dan jangan salah, amat banyak pasangan yang menikah dan terikat secara hukum bahkan tidak memiliki nilai-nilai di atas dalam hubungan mereka sebagai manusia satu sama lain. Menyedihkan bukan ? Terbayang seperti apa 'mental state' mereka, bertahun-tahun hidup dan tinggal dengan orang yang tidak lagi berbagi rasa percaya, hormat dan menghargai.....

4. Yang Mengobarkan Semangat dan Optimisme

Seorang yang terdekat dengan Anda,s iapapun dia dan apapun statusnya, haruslah seseorang yang mampu menjadikan Anda binatang buas yang siap menerkam buruan Anda. Seseorang yang mampu menjadikan Anda sebuah pribadi yang tidak mudah patah, pejuang sejati dan petarung tangguh yang selalu optimis. Ia harus menjadi orang yang membantu Anda bangkit tiap kali Anda jatuh, memecut Anda tiap kali Anda melambat, dan menahan diri Anda tiap kali Anda terlihat oleng.

Tentu, agar mampu menjadi pribadi yang demikian bagi orang lain, maka orang-orang tersebut haruslah pribadi yang kuat, penuh semangat, optimis dan memiliki mentalitas kerjasama dan setia kawan yang tinggi. Sangat tidak disarankan bergaul, apalagi bergaul dekat, dengan orang-orang yang berkepribadian lemah, tidak bersemangat, berprasangka buruk, pesimis dan bersikap negatif serta tidak memiliki semangat berbagi, bekerja sama dan tidak setia kawan. Anda akan hanya dijadikan tumbal, kuda tunggangan dan alat untuk mencapai tujuannya.

Dan jangan dikira, pasangan yang menikah tidak memiliki mental seperti ini. Berapa banyak kita telah menelan berita di media mengenai aneka pasangan yang meninggalkan pasangan hidupnya sejak lama dan sejak miskin, setelah menjadi kaya ? Atau di sekeliling kita, berapa banyak kita saksikan adanya pasangan dimana si istri (kadang beserta anak-anaknya) banting tulang mencari nafkah dan masih dicerca, sementara si suami dan ayah hanya berpangku tangan menikmati hasilnya ?

5. Yang Mengarahkan Diri Kita Ke Arah Yang Positif

"Tidak semua kawan itu baik. Tidak semua lawan itu buruk". Itu suatu pepatah tua Inggris yang amat saya percayai. Setidaknya, saat lawan menjelek-jelekkan diri kita, itu semacam alert bagi kita untuk introspeksi dan waspada. Sebaliknya saat sahabat-sahabat kita memuji dan memuja diri kita, itu umumnya saat dimana kita merasa besar dan terlena sehingga mudah membuat kesalahan.

Orang-orang yang pantas menjadi inner circle kita adalah orang-orang yang mampu mengarahkan diri kita selalu ke arah yang lebih positif. Tidak hanya dalam bentuk menyemangati, namun juga bisa menjadi kompas penunjuk arah, menjadi teladan dan bahkan menjadi inspirasi dalam tindakan, sikap dan pikiran kita dalam hidup.

Penutup : Pertanyaan yang pelik berikutnya adalah, bagaimana sebaiknya ? Bagaimana dengan pasangan hidup kita ?

Kita bisa menjawabnya sekaligus. Pertama kita harus melakukan seleksi akan pihak-pihak yang masih mungkin kita seleksi (seperti saudara, pasangan dan orang tua tentu sudah tidak mungkin kita seleksi bukan ?). Kita harus tentukan, mana-mana saja pihak-pihak yang akan kita tetapkan layak untuk bergaul dekat sebagai inner circle kita, dan kita pun harus mampu mendefinisikan dengan jelas dan rinci, apa kelebihan dan kekurangan masing-masing yang bisa kita ambil sebagai kualitas yang mendukung keberadaan mereka di sekitar kita.

Kedua, atas pihak yang sudah tidak mungkin kita seleksi namun masih kita rubah, segerakan kita rubah. Ada dua cara : proaktif dan pasif. Proaktif dengan cara mengajak pihak-pihak tersebut ke arah perubahan secara bersama-sama, sehingga tidak ada pihak yang merasa disudutkan atau diremehkan. Pasif dengan cara kita merubah diri kita menjadi pribadi yang positif dan layak menjadi inner circle mereka, agar mereka menjadi sadar dan merubah diri mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan layak menjadi inner circle bagi diri kita.

Ketiga, adalah situasi "bagaimana jika pihak-pihak tersebut tidak kunjung berubah ?" . Cuma ada dua pilihan : jaga jarak aman, atau jika memungkinkan akhiri. Tentu kepada saudara dan orang tua kita tidak mungkin mengakhiri hubungan. Cukup dengan menjaga jarak aman, menjaga kemandirian dan menjadi diri sendiri. Ini sudah cukup dan akan menjadi pukulan tersendiri saat menyadari Anda tidak lagi membutuhkan mereka.

Bagaimana dengan pasangan ? Jika belum sah menikah, Anda bisa tinggalkan dengan baik-baik dan sampaikan bahwa sudah tidak ada lagi kecocokan visi dan misi serta nilai-nilai yang sama dalam menjalani hidup. Repotnya jika Anda sudah sah menikah alias salah pilih. Pilihan terbaik adalah dengan memberikan ultimatum kepada pasangan Anda, dengan sampaikan bahwa "Kamu bukan lagi yang terbaik bagi saya, namun saya berharap kamu berubah jika memang saya masih penting untuk kamu". Pasangan yang waras dan normal tentu akan anggap serius ultimatum ini. Syaratnya : Anda harus lebih dulu pantaskan diri Anda menjadi pribadi yang layak menjadi soulmate dan inner circle baginya. Siap ?