Monday, December 12, 2011

Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi (Bagian Kesatu)


Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi.

Rasa Percaya Kepada Karyawan. Ini bisa jadi suatu jargon, tapi ternyata mengabaikannya merupakan suatu kesalahan besar. Di suatu organisasi yang saya kenal baik, hal ini baru saja terjadi dan sempat membuat suatu kegoyahan, namun saya tetap berharap semoga itu hanya bersifat sementara dan para pihak yang ada di dalamnya mengambil suatu pelajaran penting.

Cerita dimulai saat si pemimpin mengibarkan bendera atas suatu inisiatif beberapa bulan lalu. Suatu proyek maha penting yang disampaikan akan merubah cara dan pola berbisnis dari perusahaan. Sayangnya, beliau (yang kebetulan seorang ekspatriat) lebih mempercayakan posisi-posisi vital pada sesama ekspatriat, sekalipun skill dan pengetahuan praktis akan bisnis yang diterjuni itu sudah dimiliki oleh para profesional anak bangsa di organisasi tersebut.

Kendala pertama tentu masalah kemasygulan, "buat apa sih buang uang banyak untuk skill yang sudah ada di organisasi ini ?" itu adalah gerundelan awal. Ganjalan kedua adalah masalah komunikasi dan budaya, dimana tiga ekspat yang ditunjuk (sebagai project manager, sebagai business technical advisor, dan sebagai seorang subject matter expert) bersikap petentang petenteng dan cenderung anggap remeh profesional anak bangsa, sementara jelas-jelas bisnis yang akan ditekuni tidak pernah mereka temui di negara mereka sendiri. Disini kekacauan mulai terjadi karena sikap sok tahu dan arogansi mereka memunculkan anggapan "gak ada mereka kita juga bisa jalan sendiri koq".

Di sisi lain, manajemen puncak yang jelas-jelas terafiliasi dan amat percaya pada orang bawaannya mulai mengabaikan aspek intelijen bisnis yang sejujurnya hanya mampu dilakukan oleh karyawan di level yang lebih rendah dan notabene karyawan lokal. Sejumlah informasi penting pun diabaikan. Termasuk kemungkinan calon mitra bisnis melakukan manipulasi angka potensi bisnis dan pengaburan fakta akan angka-angka bisnis di periode-periode sebelumnya. Sialnya terjadi pergeseran asumsi dan potensi bisnis yang digadang-gadang sebesar gunung ternyata mungkin hanya sebesar bukit ataupun lebih kecil lagi. Beberapa orang pun mulai bergunjing sinis dengan mengatakan "dulu bermimpi Mercedes, sekarang cuma bisa pegang seukuran Bajaj tetapi semua orang diminta memperlakukan si Bajaj sebagai Mercedes".

Pimpinan puncak bukannya tidak tahu realita penyusutan Mercedes menjadi Bajaj. Hanya saja selain sudah gengsi kepalang basah dan pantang mundur, mereka terus dibisikkan oleh para punggawa bawaan mereka. Tibalah bencana besar. Ada indikasi pergantian kekuasaan di calon mitra, dan informasi ini diabaikan karena dianggap tidak kredibel. Saat berita itu diumumkan di media, mereka terhenyak. Kapal telah karam... Uang telah mengalir banyak, tidak sepeserpun yang sudah dikantongi, sudah terlanjur malu, dan sesungguhnya harga yang paling mahal yang harus dibayar organisasi itu adalah hilangnya rasa percaya. Baik rasa percaya pimpinan pada karyawannya, maupun rasa percaya para karyawan kepada pimpinannya.

Lalu seperti apa seharusnya pengelolaan Trust Value dan pelaksanaan Intelijen Bisnis yang sebaiknya dilakukan ? Kita lanjutkan di bagian kedua dari tulisan ini.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com