Thursday, July 29, 2010

Married with the Company

Dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas dari judul di atas bisa tiga. Satu, menikah dengan perusahaan. Dua, menikah dengan kawan atau mitra. Tiga, menikah dengan warga satu kompi. Alamak! Tidak ada definisi yang berkenan ya? Tapi yang hendak saya jadikan kajian di tulisan kali ini adalah terjemahan pertama saja ya?

Semalam, saya diberi manfaat dari panjang umur dan lapang rejeki : kesempatan bersilaturahmi. Saya diperkenankan oleh Sang Maha Kuasa untuk bersua, bercengkrama dan melepas rindu dengan sejumlah kawan dari masa lalu saya. Sepuluh tahun kami terpisah, setelah bekerja dan habiskan hari demi hari kami bersama-sama selama sekian tahun.

Sedikit latar belakang, dua belas tahun lalu, perusahaan saya menempatkan saya di suatu kota. Saya bertahan di kota tersebut hingga dua tahun sampai saya "dipaksa" pindah, karena perusahaan saya dilikuidasi melalui merger paksa. Kenyataannya, sayalah orang terakhir di kantor itu.

Genap sepuluh tahun lalu, saya kenakan pakaian kerja dan lencana saya terakhir kalinya, antarkan laporan pertanggungjawaban likuidasi kantor cabang kami ke Kantor Pusat di Jakarta. Pulang kampung sebagai orang yang kalah, itulah yang terjadi pada saya sepuluh tahun lalu. Tapi setidaknya, saya masih tegak dan berani ambil tanggung jawab itu, tak satupun dari "warga asli" kantor cabang itu yang bersedia dan mampu untuk selesaikan tugas terakhir itu.

Mereka, dan juga nyaris seluruh isi perusahaan tersebut dari tingkat terbawah hingga puncak, telah menikahi perusahaan tersebut. Perusahaan kami demikian perkasa di masanya, dimiliki oleh orang terkuat di republik ini, dan dikelola oleh orang-orang kepercayaannya yang tak kurang berkuasanya. Tidak satupun dari orang di negara ini pernah bayangkan perusahaan ini ditutup.
Fasilitas dan gaji kami jauh di atas market value, apalagi saat itu tengah krisis ekonomi. Nyaris semua dari kami memperoleh rumah, kendaraan, tabungan, biaya menyekolahkan anak, bahkan pasangan hidup dari perusahaan tersebut. Hari sabtu dan minggu pun rutin diisi aktivitas bersama karyawan dan keluarganya. Tutupnya perusahaan tersebut bukan hanya redup atau matinya lampu rejeki kami, namun bagi sebagian besar dari kami juga berakhirnya sebagian besar dari "content" hidup kami.

Setelah itu pertukaran cerita, kabar dan silaturahmi kami dipenuhi berbagai cerita getir dan keprihatinan, hingga hari ini. Satu dua keberhasilan segelintir dari kami menjadi bumbu penyedap rasa dari masakan kehidupan kami yang sudah terlanjur tawar bahkan pahit.

Sejumlah rekan-rekan tersebut semakin hancur karena tidak pernah lagi menjumpai perusahaan seperti perusahaan kami. Realita menjadi terlalu sulit untuk diterima sekalipun nyata. First love never die, sebagian dari kami alami itu, bukan dengan lawan jenis, tetapi dengan perusahaan. Kami semua menikahi perusahaan kami. Dan sungguh fatal akibatnya. Kami tidak pernah siap saat yang kami nikahi tersebut tewas atau terpaksa diceraikan dari kehidupan kami.

Kembali ke pertemuan semalam, rekan-rekan akhirnya akui, saya selamat karena saya tidak pernah bersedia menikah dengan perusahaan kami. Saya bersedia pulang sebagai orang yang kalah, menerima kenyataan, dan berbalik badan mencari arah baru untuk diperjuangkan. Saya tidak punya banyak pilihan, dan saya baru pada taraf mencintai, belum sampai menikahi perusahaan saya.

Dan semua yang saya lakukan itu harus dilalui sendiri karena memang lagi-lagi tidak punya banyak pilihan. Syukurlah saya selalu ditemani doa dan harapan dari orang-orang terkasih saya serta jutaan berkah dan perlindungan dari Sang Maha Kuasa yang amat mengasihi saya.

Saya kembali mendengar aneka cerita getir semalam. Dan saya hanya bisa panjatkan doa agar Allah Sang Maha Kuasa pelindung saya juga turunkan berkah dan perlindunganNya kepada saudara-saudara saya yang masih berjuang lepas dari luka batin karena kejadian sepuluh tahun lalu.

Di akhir tulisan ini, akhirnya saya pun tak sanggup menahan diri saya untuk tidak menyebut nama cinta pertama saya tersebut yang akan berulang tahun bulan depan.

In Memoriam dan Selamat Ulang Tahun Bank Duta !

[masdewo@aol.com]
"love the country, just hate the leaders and the politicians"

Wednesday, July 28, 2010

Mencari sinergi di Yogya

Hari ini hari kedua saya dalam rangkaian acara offsite meeting di Yogya. Kota ini memang indah dan mampu hidupkan kenangan juga bagi mereka yang pernah habiskan suatu kutipan waktu dalam hidupnya di kota ini.

Repotnya hasrat menikmati kota terhalang oleh agenda aktivitas kerja yang memang padat, dan pastinya jauh dari mengasyikkan. Rapat kerja ini menggabungkan beberapa unit yang "terpaksa" harus bekerjasama untuk merencanakan dan mengeksekusi suatu inisiatif yang bersifat SOS karena amat mempengaruhi kinerja akhir tahun perusahaan.

Sinergi. Itu kuncinya menurut saya, bukan lokasi atau atmosfer. Sinergi itu yang tidak muncul bahkan setelah separuh agenda sudah dijalankan. Presentasi unit kerja dilangsungkan lebih sebagai "laporan" dan tanda partisipasi, ketimbang business review dan status update secara akurat dan ringkas. Amat terbaca kecenderungan masing-masing untuk "menyimpan kartu as" dan "membuang kartu nominal rendah".

Yogya sendiri dipilih sebagai lokasi acara bukan tanpa alasan. Alasan yang memang 'justified' adalah besok kami akan melakukan acara business gathering untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY, dimana klien dan mitra bisnis utama kami akan hadir. Tentu efisien jika kami datang sehari lebih awal untuk laksanakan rapat kerja ini.

Alasan kedua adalah "membangun suasana yang kondusif" dimana dengan jauh dari kantor di Jakarta diharapkan kami tidak diganggu urusan rutin. Benarkah? Bukankah ada piranti bernama Blackberry yang mengakibatkan tiap orang terus menerus diganggu e-mail dari kantor.

Alasan ketiga adalah membangun suasana, dimana diharapkan di tempat yang indah dan menyejukkan ini kreativitas tim akan terpacu dan perbedaan yang selama ini muncul dapat diminimalkan. Tapi bahkan kami berangkat ke Yogya dengan jadwal yang berbeda-beda dan saling tidak kontak hingga tadi pagi memasuki ruang rapat.

Siang hari ini, saya menyepakati satu hal : mengingat indahnya kota Yogya membuat saya teringat akan gagalnya kantor saya membangun sinergi dan semangat bekerja dalam tim di kalangan eksekutifnya. Semua kembali ke dalam hati. Jika hati sudah jauh, atau memang dijauhkan, jangankan Yogya, ke Surga pun masing-masing akan tetap sibuk sendiri.

Sakam dari Yogya ! Sementara pikiran saya sudah berjalan ke acara Yogya Street Art Festival nanti malam di Malioboro...

[masdewo@aol.com]

"love the country, just hate the leaders and the politicians"

Tuesday, July 27, 2010

Hai para dermawan...

Saat ini saya sedang menunggu di ruang tunggu bandara untuk suatu perjalanan dinas. Dan seperti biasa, maskapai penerbangan kita selalu delay dan aneka hal "lucu" lain seperti pindah terminal dan pesawat belum datang. Tapi selalu ada cerita yang berbeda di tiap perjalanan. Tidak terkecuali kali ini, saat saya bertemu kawan lama saya. Saya memanggilnya "Abang".

Si Abang saat ini sekitar empatpuluh tahun usianya, sedikit lebih tua dari saya. Namun ia berada di puncak karirnya. Nama dan ulasannya banyak menghiasi media massa dan aneka talk show di radio atau wawancara di televisi. Jabatannya sebagai pejabat inti di salah satu lembaga keuangan utama di negara ini yang diraihnya di pertengahan usia tiga puluhan menegaskan eksistensinya. Ia rupanya satu tujuan dengan saya, dan kami banyak bicara satu sama lain.

Saya mengenal Si Abang melalui ibu saya, dimana ibu berhasil menjadikan dirinya donatur tetap di panti sosial yang dikelola ibu bersama rekan-rekannya. Sejak saat itu Si Abang bukan cuma membantu materi, tetapi juga saran teknis, memperkenalkan pengurus panti ke kolega-koleganya serta menyalurkan sejumlah alumni panti ke berbagai lapangan pekerjaan.

Beberapa tahun lalu, dalam suatu acara jamuan, ibu dan Abang melanjutkan pembicaraan hingga larut malam, saya dan ayah pun ikut dalam pembicaraan tersebut. Sebelumnya kami, sebagaimana semua orang, mengetahui Abang adalah putra bungsu seorang tokoh senior di negara ini. Semua orang berpikir ialah titisan ayahnya. Dan ibunya adalah buka cuma istri sang tokoh namun juga seorang penulis dan tokoh kemanusiaan.

Malam itu, kami melihatnya berbeda. Abang mengaku, ia adalah seorang yatim piatu. Sejak kematian kedua orang tuanya, ia masuk sebuah panti asuhan yang dikelola secara sederhana dan swakarsa. Seluruh masa sekolah dasarnya dihabiskan di panti tersebut. Hingga suatu hari, nasibnya berubah. Di hari itu, ialah satu-satunya anak usia SD yang ada. Sang tokoh dan istrinya yang sudah lama kehilangan kesibukan karena putra putri yang sudah dewasa mengadopsinya. Setelah itu, sejarah hidupnya sama dengan apa yang kami dan semua orang ketahui tentang dirinya melalui aneka ulasan di media.

Mengenai sang tokoh dan istrinya yang budiman itu, akan saya ulas terpisah. Tapi yang menyentuh saya adalah ucapan-ucapan si Abang mengenai Panti Asuhan.

Menurutnya, berderma itu baik. Tapi hanya akan menjadi baik yang sesungguhnya jika dilakukan dengan niat yang baik dan melalui cara yang baik. "Panti Asuhan bukanlah juru selamat yang akan memberikan penghapusan dosa dan rasa bersalah secara otomatis untuk ditukar dengan donasi", ucapnya menahan geram. Menurutnya banyak orang yang melakukan donasi, sebatas untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, rasa kasihan dan rasa berdosa, dan untuk setelahnya lupa akan apa yang terjadi dan dilihatnya di panti tersebut.

Ia amat geram pada aneka pihak yang mengajak anak-anak panti asuhan berwisata atau makan-makan. Atau lebih buruk lagi merayakan ulang tahun dan syukuran bersama anak-anak panti asuhan. "Itu jahat dan amat menyiksa" tuturnya.

"Anak-anak itu hidup serba terbatas, semua sebatas menyambung hidup, dengan tetap memelihara sedikit harapan yang tersisa agar bisa mandiri dan hidup layak kelak", urainya. Makanan yang terbatas jumlah maupun citarasanya, perangkat belajar dan fasilitas bermain yang minim dan seringkali tak layak pakai, serta kasih sayang pembimbing yang tidak tersedia seperti bagi anak lainnya, adalah realita hari ke hari dari tiap anak panti. "Dan itu tidak menjadi alasan bagi kami untuk mati dan hilang ditelan waktu. Kami terus pelihara harapan dan upaya, karena kami tahu kami hanya tidak beruntung" jelasnya.

Saat ada "dermawan" yang datang entah dari mana dengan paket komplet : kasihan, senyum, makanan enak dan sedikit perayaan, itulah hari dimana pengurus panti kelimpungan. Hampir pasti, esok hari akan ada beberapa anak panti yang sakit perut karena makan terlalu banyak. Lalu hari-hari berikutnya pengurus panti akan direpotkan oleh rengekan aneka anak panti yang masih kecil dan belum bisa mengerti "kenapa makanan enak itu tidak ada lagi hari ini?".

"Mereka hanya butuh tiga hal, dan harus tersedia terus menerus : bimbingan, kesempatan, dan fasilitas" jelasnya. Pendidikan, pelatihan, ketrampilan, pengembangan karakter dan kepribadian, serta kesempatan untuk hidup mandiri, adalah "tambang emas" yang akan mengentaskan anak-anak panti untuk hidup mandiri dan sejajar dengan anak-anak lain yang lebih beruntung.

Kami telah dipanggil untuk naik ke pesawat. Sambil menghela tas, ia menepuk pundak saya "Sisakan sedikit kursi untuk anak-anak itu dik, mereka membutuhkannya. Kamu tidak akan kecewa. Mereka tangguh dan dapat dipercaya. Bantu mereka juga dik, biar mereka makin percaya diri dan merasa ada yang sayang".

He's right. He experienced it. And now he practices the right things.

[masdewo@aol.com]
"love the country, just hate the leaders and the politicians"

Monday, July 26, 2010

Fasih atau Arogan atau apa ya namanya?

Satu keluhan saya sejak pertama bersentuhan dengan dunia ekonomi syariah adalah "kebebalan" para pelakunya yang tidak kunjung mau belajar untuk menjadi market friendly. Begitu senangnya dengan aneka terminologi njlimet nan keriting tanpa mempedulikan akibat dan impresi yang ditimbulkannya.

Mau bukti? Ini salah satu example yang saya dapat dari iklan pelatihan yang "katanya" untuk level advance dan masuk kategori eksklusif. Silakan anda nilai sendiri ya. Have a nice (and confusing) reading :-)

----------------

Training dan Workshop Fiqh Muamalah Eksekutif on Islamic Banking and Finance 2010 Level Advance                                                              
Materi Trainingdan workshop :

Hari ke-I :

1.   Teori Syariah tentang  Evolusi Akad dan Sejarah EvolusiAkad sejak zaman pra Islam  sampai era kontemporer.

2.   Aplikasi tujuh  design multi akad (hybridcontract), pembiayaan take over dan modal kerja.

3.   Sepuluh  model pembiayaan syirkah mutanaqishah (MMQ)untuk property, konsumsi dan modal kerja dan penerapan ijarah maushufah bizzimmah pada MMQ.

4.    Penerapan  Hybrid Contracts(al-'ukud al-murakkabah) di 12 Produk Perbankan dan LKS danketentuan-ketentuan nya, Hybrid Contracts yang terlarang dan yang dibenarkan.

5.   Aplikasi dan analisais delapan alternatif  design akad-akadkartu kredit (bithoqoh al- 'iktiman).

6.   Perspektif ushul fiqh dan maqoshidsyariah tentang profit distribution : revenue sharing, gross profit/net revenue, dan profit and loss sharing (PLS).

7.   Aplikasi Hawalah pada kasus-kasus Factoring, Kartu Kredit, Multi Jasa, Novasi Mudharabah, Cessi, LC, danlain-lain.

8.   Jaminan (Collateral) dan Aplikasi Rahn 'Iqor (rosmi), Rahn Hiyazi dan Rahn Musta'ar padacollateral / jaminan dan rahn tasjilypada pegadaian.

Ditambah suplemen kajian : Lima model investasi emas kontemporer.

Hari ke-II :

1.    Foreign exchangesecara syariah (design akad Islamic swap, Islamic Forward, hedging syariah,qobath hukmi dan qobath hissy dalam valas, fatwa AOIFII tentangnya)

2.    Inovasi baru model-model funding products for Islamic banking di luar fatwa DSN dan PBI

3.    Empat Design akad  pembiayaan multi jasa dan ketentuan syariahnya.

4.   Design-design Akad untuk pembiyaan Rekening Koran Syariah dan Line Facility.

5.    Pembiayaan bermasalah, rescheduling dan restrukturisasi pembiayaan, reconditioning,

6.   Penerapan wakalah bil ujrah pada :L/C, anjak piutang, reksa dana, general insurance, deposito.

7.   Aplikasi qardh pada pembiayaan takeover, pegadaian, kartu kredit, Islamic swap, L/C import, minus underwritingpada asuransi,dll.

8.   Lima macam bentuk mudharabah danaplikasinya di perbankan syariah dan 17 bentuk syirkah kontemporer.

9.   Issue-issue penting lainnya : REPO syariah (repurchase agreement) Surat Berharga dan aktiva produktif, sekuritisasi piutang (Bay'Dayn), restrukturisasi SBI Syariah, design kontrak sukuk SBSN dan corporate. 

Rujukan Materi : Ratusan Buku danKitab Fiqh Muamalah Kontemporer  dan Klasik
"love the country, just hate the leaders and the politicians"

Thursday, July 22, 2010

Wawancara Tidak Mutu


Kemplo. Makian ala jawa tengah itulah yang saya ingin ucapkan saat saya melakukan wawancara kerja beberapa hari lalu di suatu perusahaan berskala nasional. Ucapan itu ingin saya sampaikan pada dua orang yang mewawancarai saya, dari HRD dan dari direct user alias calon atasan saya. Sayang, nilai-nilai sopan santun yang saya anut melarang diri saya melakukan hal tersebut, sekalipun rasanya masih pantas mengingat kebohongan yang mereka sampaikan pada saya secara amat "telanjang".

Sedikit bertutur ke belakang, ini adalah suatu peluang untuk suatu posisi serupa dengan apa yang saya tempati saat ini, hanya saja di industri yang berbeda. Dan saya memperoleh peluang ini dari head hunter yang sudah sejak lama memiliki data saya sebagai salah satu membernya. Singkat kata saya tertarik dan memulai survey saya sebagai bagian dari persiapan saya. Biar tidak malu-maluin dooong, maklum posisi ini kan posisi untuk eksekutif.

Langkah pertama saya adalah mencari laporan keuangan yang bersangkutan. dan berhasi didapat dari arsip salah satu harian nasional tempat dimana mereka memuat laporan keuangan terakhir mereka beberapa bulan lalu. Kemudian saya mengontak dua rekan yang bekerja di sana dan sekedar tanyakan mengenai situasi kerja, leadership, orientasi bisnis dan chit chat ringan mengenai business plan mereka. Diperoleh jawaban yang menurut saya relatif komplet, tapi mulai memunculkan keraguan di diri saya. Terakhir, saya cari berita di internet mengenai perusahaan ini dan saya temui berita beberapa bulan lalu (duhhh kupernya saya....) bahwa perusahaan ini sedang dalam proses merger dengan perusahaan sejenis lainnya.

Saat wawancara perkenalan dengan HRD Head, saya berpikir ini adalah sesi perkenalan formal dan tidak akan berjalan seperti halnya suatu sesi wawancara rekrutmen staf. Dugaan saya salah. Si Ibu ini rupanya selain menanyai saya juga sibuk cas cis cus. Bukan hanya mengenalkan saya dengan perusahaan ini namun juga mengatakan perusahaan tersebut adalah perusahaan super hebat dengan menyebutkan aneka kelebihan dan kehebatan perusahaan tersebut. Saya diam saja dan menyimak, saat ditanya ingin bertanya apa, saya tanyakan mengenai profitabilitas. Dijawab, saya tidak tau persisnya tapi kami selalu untung. Saya lalu keluarkan print out dari laporan keuangan tersebut, dan cuma dijawab "pokoknya kami untung, bapak tidak akan rugi bergabung bersama kami". Lalu dia pergi. Sudah hampir pasti tidak diterima nih, pikir saya. Tapi saya cuek, mau tau aja ada atraksi apa lagi.

Berikutnya sang direktur yang menjadi user saya. Pendiam dan terpelajar (ya iyalaaaah) dan lebih elegan dalam melakukan wawancara. Tetapi sama, di akhir wawancara ia pun berpromosi mengenai perusahaannya. Saya sampaikan saya lakukan survey kecil mengenai perusahaan ini sebagai bagian dari persiapan saya. Saat dikonfrontir mengenai perusahaan yang terus merugi, merger serta rencana rasionalisasi perusahaan setelah merger, bapak direktur ini hanya menjawab sambil tersenyum "anda tentu tidak percaya koran begitu saja kan ?".

Sorry friend, tiga hari kemudian saya hanya bisa menjawab saat mereka minta saya datang untuk negosiasi gaji : "Maaf, saya tidak berminat untuk melanjutkan proses rekrutmen ini". Mau tau berapa penawaran awal mereka ? Sekitar 70% increase dari gaji pokok saya sekarang. Tetapi, siapa yang mau jamin saya tetap terima gaji itu tahun depan ? Tentu mengundang kecurigaan melihat betapa ngototnya kedua rekan tersebut berpromosi tentang perusahaan tersebut.

Pagi ini saya membaca di internet, sang direktur mengajukan pengunduran dirinya dan menunggu keputusan RUPSLB untuk mengesahkan proses pengunduran dirinya. Tuhan kembali melindungi hambaNya yang bekerja untuk rejeki yang halal.....

[masdewo@aol.com]

Persaingan Perampok dan Biro Iklan


Saya sudah sejak lama tidak membeli dan membaca koran untuk diri saya sendiri, dalam arti koran kertas lho ya. Sering beberapa kali membeli koran semata karena kasihan dengan penjualnya yang masih cilik. Tapi jarang saya baca. Dan pilihan saya jatuh ke koran elektronik alias internet news. Suatu ketika, pilihan saya tersebut menghantarkan berita yang menarik perhatian saya, perampokan yang berhasil digagalkan atas salah satu cabang suatu bank.

Lalu apa istimewanya lalu berita tersebut ?

Keistimewaan pertama tentu kecepatan saya memperoleh akses atas berita tersebut, tentu atas jasa internet. Berita itu pasti baru ada di koran kertas keesokan harinya, dan bisa jadi akan basi.

Keistimewaan kedua, dan ini yang lebih penting, adalah mengenai bank tersebut. Terdapat sekian tahun dari perjalanan hidup saya tertaut dengan bank tersebut. Suatu bank kecil, yang saya tau persis tabiat manajemen dan arah bisnisnya, untuk tidak terlalu serius berinvestasi pada pembangunan brand awareness. Pernah saya mendengar dari salah satu petingginya berkata "biar aja lah, rugi buang uang banyak-banyak cuma bikin kaya biro iklan, mending untuk bonus kita, dibiarin aja lah karena kalo bisnis kita baik-baik aja dan jadi besar lama-lama mereknya juga ngetop".

Mengenaskan. Petinggi suatu lembaga jasa finansial hanya mampu menterjemahkan "brand awareness" dengan frase pendek : merek ngetop. Faktanya, brand awareness bukan cuma sekedar merek yang ngetop. Tapi kita tidak berdiskusi mengenai hal ini lah ya.... Fakta mengenaskan berikutnya adalah, saya tahu persis bahwa dalam pendiriannya bank tersebut mengemban misi mulia untuk mengembangkan perekonomian berbasis keadilan dan transparansi. Jika memang misinya sedemikian mulia, mengapa umat dibiarkan menunggu sedemikian lama hingga "mereknya ngetop" untuk tahu bahwa solusi keuangan dan jasa finansial rakyat telah tersedia dalam bentuk kehadiran bank tersebut ?

Namun ada yang lebih mengenaskan lagi. Simak diskusi saya dengan salah seorang sahabat yang menjadi karyawan bank tersebut "lumayan, gak sengaja jadi ngetop sekarang nih kantor, orang jadi tahu bahwa ada bank yang bernama bank X (nama bank tersebut, dan mulai banyak telepon masuk menanyakan keberadaan bank tersebut".

Tau dari mana mereka tentang nomor layanan pelanggan bank tersebut ? Rupanya banyak yang tanya ke saluran informasi 108 milik Telkom atau bertanya ke suatu bank yang menjadi induk perusahaan pemilik bank kecil ini. Berarti bener, memang tidak ngetop sama sekali.

Untuk bisa memperoleh status "ngetop" atau "hitnya naik drastis", maka harus ada upaya perampokan dulu. Artinya, para biro iklan berhati-hatilah, periuk nasi anda akan bersaing dengan kehadiran perampok bank, hal ini akan terjadi selama ada manajemen ndableg yang tidak mau berinvestasi pada pengembangan brand awareness.

Singkat cerita, saya ucapkan selamat kepada rekan saya tersebut yang telah bertahan cukup lama di perusahaan tersebut dengan mengusung idealisme pribadinya sebagai "vitamin" untuk menjaga stamina mentalnya di bank tersebut.

[masdewo@aol.com]

Tuesday, July 20, 2010

[insideofficesidejob] pengantar


Dear readers,

Kali ini saya membuka satu topik baru disini, saya beri tagmark [insideofficesidejob] alias "pekerjaan sampingan dari dalam kantor". Kita sepakat bahwa dalam sejumlah hal, dan dirasakan oleh cukup banyak orang, apa yang terselenggara di kantor belum tentu memuaskan. Bisa dalam konteks uang, atau dalam konteks kepuasan batin atau aspek lain, misalkan networking atau kreativitas.

Sekedar ilustrasi, bagi seorang yang sebenarnya amat "nyeni" dan doyan coret-coret atau main-main dengan software desain grafis, tapi rejeki formalnya membawa dirinya bekerja di suatu bank sebagai tenaga back office. Apakah akan memuaskan batin ? Sudah hampir pasti jawabnya adalah "Tidak".

Saya berharap ini bisa jadi ajang berbagi, baik ide, inspirasi dan motivasi. Let's go for the side job inside the office !

<masdewo@aol.com>

Saturday, July 17, 2010

Berdiri karena Bebek

Tiga hari lalu saya bertemu rekan lama, seorang yang dulu ada di layer di atas saya. Pejabat lah pokoknya… Saat ini sepertinya beliau tidak semegah dulu dan sama-sama juga sudah pindah ke company lain. Beliau ini seorang pria usia empatpuluhan, lumayan ganteng, modis dan fashionable, serta pastinya banyak tingkah. Namun, dia juga menyenangkan dan friendly. Saat itu saya tengah menikmati perjalanan di atas transportasi favorit saya : Busway van Sutiyoso jurusan Blok M – Kota.

Saya naik dari terminal Blok M dan pagi itu kosong, hanya sekitar sepuluh orang saja penumpang, dan otomatis banyak bangku kosong. Saya pilih yang kiri-kanan kosong jadi kayak raja saja rasanya. Di terminal Al Azhar alias terminal pertama setelah Blok M, beliau naik, dan seperti biasa agak-agak bikin malu dengan sapaan ramah dan ramainya. Bolak balik saya persilakan duduk ia menolak dan terus ajak saya bicara. Pagi itu ada dua topik yang saya catat amat antusias disampaikannya. Apakah itu yang membuatnya enggan duduk ?

Pertama, soal hasil eksplorasinya bahwa naik TransJakarta (kalau Busway kan nama jalurnya ya ??) itu memang menyenangkan karena murah dan cepat. Ia cukup parkir di Al Azhar untuk mengantar anaknya lalu menyeberang naik TransJakarta hingga kantor. Begitu pula pulangnya, dengan arah sebaliknya. Kadang saya berpikir, kantor kami dulu pun di depannya ada halte busway, tapi mungkin karena beliau dulu dapat mobil mewah dan supir dari kantor maka tidak masuk hitungan lah moda transportasi ini.

Kedua, soal ada rumah makan bebek yang baru buka di daerah dekat Al Azhar. Ini ditemuinya pagi ini dan ia sempat menghabiskan satu porsi bebek. "Sambelnya pas banget, sampe keringetan tapi puas banget deh", urainya. Aneka pujian terus dilayangkan dan saya sampai heran, apa iya ada menu bebek yang sedemikian sih ? Biasa aja lah menurut saya, kalaupun ada yang enak, ya bedanya tidak jauh-jauh amat dari yang lain. Yang jelas, ia tetap berdiri anteng di depan saya sekalipun ada belasan kursi kosong di sekitarnya.

Di halte yang kami tuju, oh iya kantor beliau sekarang hanya dua gedung dari kantor saya, kami turun dan memang hanya kami yang turun. Mulailah ia bertutur lebih serius. "Abis ini gue mau ke mall dulu bentar, abis naro tas di kantor langsung jalan". Lalu disambungnya "jam berapa ya mall buka dan mulai jualan ? gue mau beli celana nih". Aneh ya ?

Rupanya, si bebek punya hajat. Tanpa diminta dia jelaskan "emang menu bebek tadi luar biasa, gak ada matinya, enak banget, tapi pedesnya juga luar biasa, sampai keringetan", masih cerita yang sama. Kemudian, "perut gue sampe mules, tadi kerasa mau buang angin tapi rupanya ada yang ikutan deh…. Makanya maap ya tadi gue ngobrol sambil berdiri aja, ga berani duduk soalnya…"

Ealaaaaah… itu toh ceritanya….

[masdewo@aol.com]

Friday, July 16, 2010

Rule of Baseball

Baseball is easy? Wait. Read this Rule of Baseball :

This is a game played by two teams, one out the other in. The one that's in, sends players out, one at a time, to see if they can get in before they get out. 

If they get out before they get in, they come in, but it doesn't count. 
If they get in before they get out it does count.

When the ones out get three outs from the ones in before they get in without being out, the team that's out comes in and the team in goes out to get those going in out before they get in without being out.

When both teams have been in and out nine times the game is over.

The team with the most in without being out before coming in wins unless the ones in are equal. 

In which case, the last ones in go out to get the ones in out before they get in without being out.

The game will end when each team has the same number of ins out but one team has more in without being out before coming in.

So, are you in or out?

"love the country, just hate the leaders and the politicians"

Wednesday, July 14, 2010

From The First Day at School


Kemarin menjadi hari yang istimewa bagi kedua anak saya, si sulung masuk SD ("sekolah beneran nih aku sekarang" katanya) dan si bungsu masuk ke TK B (yang disebutnya "sekolah untuk anak yang udah mau gede"). Bukan hanya excitement yang mereka dapatkan di lingkungan dan suasana baru, tetapi juga kawan baru dan cerita baru.

Kebetulan saya memperoleh "jatah" untuk mengawal si kecil, berarti masih di sekolah yang lama, dan dengan teman-teman yang lama plus beberapa kawan baru. Saya beruntung memiliki sekitar 10 menit untuk mendengarkan interaksi sosial pertamanya di sekolah setelah berlibur selama satu setengah bulan. Dan pengalaman ini mengajarkan saya beberapa hal baru sesungguhnya.


"Aku bermain di sawah, papa mamaku ajak aku dan kakakku liburan ke Jawa, jadi kita juga ke candi besar di Borobudur", demikian intro-nya. Agak salah sih sebenarnya tata bahasa dia, tapi okelah. Lalu disambungnya "ada jalan di Jogja namanya Marlioboro, terus belanja batik di Solo", masih ada kesalahan ucap, dan aneka lanjutannya. Ini menjadi trigger bagi aneka cetusan lain dari rekan-rekannya di taman bermain bagi kalangan menengah ini.


Dalam sekejap saya terkejut. Dari anak-anak usia empat-lima tahun ini terlontar aneka kata-kata ajaib : "Singapor", "Paris", "Menara Petronas", "Kei El", "Aussie", "Gedung Opera", dan juga kata yang agak relevan "nonton piala dunia di layar besar di Londen waktu Inggris kalah".... ck ck ck Hebat Euy !!


Tersadar ingatan saya seorang tukang sol sepatu yang kami panggil semalam untuk menambal sol sepatu saya yang sobek terkena benda tajam. Bayaran dari diperolehnya dari kami amat disyukurinya karena telah memberi napas baru bagi anaknya, untuk melanjutkan sekolahnya ke bangku Sekolah Dasar Negeri. "Kurang uang seragam dan buku, kalau uang sekolahnya gratis", tuturnya. Tidak banyak sesungguhnya, hanya Rp 30.000,-. Ya, anda tidak salah, tiga puluh ribu Rupiah, bukan tiga puluh ribu Dollar, yang telah menghantarkan seorang anak untuk dapat merasakan nikmat dan bahagianya bangku sekolah dasar negeri yang sederhana. Nilai yang sama pula, jika tidak terbayarkan, akan merenggut mimpi, senyum dan kebahagiaan anak si tukang sol sepatu tersebut.


Ia cukup beruntung. Ratusan, ribuan, bahkan jutaan, anak-anak malang di seluruh penjuru dunia, tidak seberuntung dirinya. Sekalipun tidak dapat dipastikan seberapa jauh ia akan melangkah menapakkan kakinya di alam pendidikan guna secuil harapan untuk perbaikan nasibnya, setidaknya ia hari ini telah sampai di titik harapan pertama. Senyum dan kebahagiaan di titik ini telah digapainya. Entah nanti.... Namun bagi anak-anak yang kurang beruntung, bahkan kebahagiaan hari pertama ini pun terlalu jauh dari bayangan. Terlalu tinggi dari gapaian. Dan sudah pasti terlalu pedih dari sekedar harapan.


Saya teringat seorang sahabat yang dibuang kedua orang tuanya saat masih bayi dan diakui sebagai anak kandung kakek neneknya saat hendak "dilego" ke suatu panti. Setelah melalui masa penuh kasih di suatu desa di Jawa Barat, saat tumbuh dewasa ia menyadari perbuatan aib tersebut, dan bersumpah tidak akan memaafkan kedua orang tuanya. Dendamnya begitu besar, sehingga hanya pupus oleh dua hal. Pertama adalah rasa kasih sayang tak terhingga dari kakek neneknya yang ikhlas membesarkan dirinya dan memompakan kata maaf tiada henti ke dirinya hingga ajal mereka, dengan harapan ia akan memaafkan kesalahan orang tuanya. Kedua adalah curahan kasih sayangnya pada anak-anak yang kurang beruntung. Energi, rejeki dan emosinya seolah tiada pernah habis untuk dialirkan kepada mereka yang kurang beruntung ini. "Cukup saya yang merasakan itu semua" katanya suatu waktu.


Ia tidak menikah dan bersumpah tidak akan menikah. Pernikahan menurutnya hanya akan menjadikan diri seseorang menjadi bukan dirinya sendiri. Saya tau ia marah dan salah, tapi tidak ada jalan sejauh ini untuk menyadarkannya. Enam tahun bersahabat dengannya, saya tidak mampu menghitung dan mengingat, berapa banyak uang yang disalurkannya ke anak-anak kurang beruntung itu. Saya mencatat, tiga kali ia mendirikan bangunan sekolah dan madrasah. Saya tau ia memiliki empat usaha yang terus merugi dan dibiarkannya tetap berjalan agar bisa dijadikan bengkel latihan keterampilan dan kewirausahaan remaja di desa. Saya pernah diminta menemaninya ke Glodok untuk membeli sepuluh mesin pembangkit listrik tenaga air ukuran mini, "agar tiap malam adik-adik di sepuluh desa itu bisa belajar dan mengaji" katanya. "Tidak perlu membayar listrik yang mahal agar uangnya bisa dipakai untuk terus bersekolah" harapnya.


Suatu hari ia tidak masuk kantor, cuti statusnya di HRD. Seminggu kemudian ia sumringah masuk kantor lagi dan katakan ia baru saja pulang dari Amerika Serikat, dan sukses menggolkan paket penjualan furniture dari salah satu usahanya. Siang harinya ia memohon saya pinjamkan uang sebesar dua juta Rupiah, yang terasa agak "janggal". Rupanya ia hendak mengirim uang ke beberapa desa, total senilai dua ratus juta Rupiah untuk pendirian gedung sekolah swadaya, membangun instalasi listrik alam, dan membuat perpustakaan desa. Itulah desa-desa yang ditemuinya beberapa minggu lalu saat mencari pemasok rotan untuk industri furniturenya. Miskin, tersisihkan dan tidak berdaya, katanya.

Saya doakan kawan saya tersebut, untuk selalu panjang usia dan selalu kembali kepada ketaqwaan yang seharusnya, dimana ia begitu marah kepada Tuhan dan menolak bersujud kepadaNya karena nasib yang diterimanya di masa lalu. Namun saya juga berdoa untuk diri saya sendiri dan para orang tua dari anak-anak lain yang super beruntung itu, agar selalu dibukakan hati dan nurani agar membelanjakan lebih dari yang kita pernah lakukan, demi anak-anak yang malang itu. Tawa bahagia mereka, Insya Allah akan menjadi jembatan dariNya untuk meniti jalan kehidupan yang penuh ridha dan berkah dariNya, bagi diri kita dan keluarga kita.


Di pidato pertama Kaisar Hirohito setelah menyatakan penyerahan tanpa syarat pada Sekutu, dengan lirih dan pedih ia sampaikan : "segera berjalan ke seluruh penjuru negeri, hitung dan sampaikan padaku, berapa ruang belajar yang tersisa, berapa guru yang masih mampu mengajar, dan berapa anak yang masih mau belajar, kita akan segera bangkit bersama-sama melalui mereka". Dan ia benar.

Rekan-rekan, masa depan bangsa kita, senang atau tidak, harus dititipkan pada generasi yang kita bicarakan di atas.

Selamat bersekolah Nak, bagi yang beruntung. Kepada yang belum beruntung, teruslah berdoa, berharap, dan memohon. Allah tidak akan meninggalkan ummatnya.


[masdewo@aol.com]

Kartu Pos dari Frederikplatz


Saya dikabari oleh adik saya beberapa minggu lalu saat di kantor, "mama tadi siang jatuh, lututnya cedera mungkin ada yang patah". Singkat cerita ibu saya dibawa ke Rumah Sakit dan memang harus bed rest beberapa minggu sebelum bisa mulai latihan berjalan. Tidak ada yang spesial dari rangkaian kejadian ini, kecuali kesadaran kami bersama bahwa ibu saya memang sudah menua dan harus diawasi lebih ketat (sekalipun beliau bisa murka kalau tahu saya katakan ini). Ibu saya selalu merasa amat kuat (setidaknya itulah anggapan dirinya tentang dirinya sendiri), dan pantang menyerah.

Kejadian yang agak spesial terjadi dua minggu sesudahnya, saat saya dan keluarga berkunjung untuk melihat kemajuan Ibu dari pemulihan cederanya. Saat semua bersenda gurau mengelilingi Ibu yang bermain dengan kursi rodanya, bersama cucu-cucunya dan diawasi oleh Ayah saya. Semenjak datang, perhatian saya terpaku pada suatu kartu pos cantik di sudut ruang tamu, tempat kami meletakkan aneka surat dan tagihan sejak kami tempati rumah itu tiga puluh tiga tahun lalu. Kartu pos cantik itu terkirim dengan pesan singkat di belakangnya "peluk cium untuk Ibu, semoga lekas sembuh. maafkan saya tidak bisa hadir langsung menghadap Ibu saat sakit".


Di bagian depannya tampak pemandangan khas di suatu negara Eropa, kastil dan taman bunga nan indah dengan tulisan di sudutnya "Frederikplatz".


Ingatan saya melayang jauh ke suatu sore di akhir minggu di rumah ini, sekitar dua puluh tahun lalu. Kami sekeluarga tengah membersihkan halaman rumah bersama-sama, saat itu saya masih di bangku Sekolah Menengah Atas. Aktivitas kami terhenti seketika saat seorang anak gelandangan yang terlihat amat menderita, membawa karung lusuh dan tampak begitu berat untuk tubuh kurus dan ringkihnya, memperhatikan kami dari luar pagar. "Boleh saya bantu bersihkan halamannya Bu, saya butuh uang untuk makan" ucapnya. Saya ingat, ucapan itu lebih terdengar seperti rintihan lemah.


Perlu saya sampaikan, Ibu saya seorang yang tegas, keras namun sosial. Bahkan bagi kami pun beliau masih tergolong aneh. Salah satu keanehannya adalah kegemaran beliau membawa pulang hal-hal tidak terduga : aneka barang antik, aneka majalah berbahasa asing (Ibu putra seorang diplomat, fasih bicara dalam 5 bahasa asing dan menghabiskan 15 tahun di luar negeri bersama orang tuanya), dan aneka orang yang kurang beruntung. Persis seperti dugaan kami, Ibu bangkit, membuka pintu dan ajak anak tersebut masuk. Tidak lama, ibu ajak bicara dan suguhkan panganan kecil yang ada di meja makan kami sore hari itu. Apa yang dibicarakan, kami tidak tahu persis hingga hari ini, namun kami sudah tahu apa yang terjadi sesudahnya.


Malam itu juga, anak tersebut datang kembali ke rumah dengan membawa beberapa baju kumal, dan kantung lain berisi aneka barang. Itulah seluruh "harta benda" yang dimilikinya. Ibu hanya berkata singkat, "malam ini Coki (begitulah kami panggil anak itu hingga hari ini) akan tinggal disini bersama kita hingga ia bisa mandiri dan kembali ke rumah orang tuanya, kita akan dibantu untuk urusan bersihkan halaman, sampai ia mendapat sekolah". Tegas dan tidak ada maksud untuk membuka tanya jawab. Kami tersentuh melihat anak itu, amat kurus dan kotor, namun satu hal saya dan adik2 saya sepakat : tatapannya cerdas, dan anak itu tampak tabah, pantang menyerah. Kedua hal yang sama persis dengan karakter Ibu.


Kami belakangan tahu, ia masih punya Ibu kandung, dua orang kakak lelaki yang meninggalkan rumah untuk mencari nafkah (entah dimana dan menjadi apa), serta seorang adik perempuan beberapa tahun di bawah usianya yang menderita keterbelakangan mental (sangat mungkin karena gizi buruk dan kehidupan yang sulit saat di kandungan). Ia tinggal di suatu kampung kumuh, di sebuah rumah berlantai tanah dan berdinding kardus, bertiga bersama ibu yang amat dicintainya dan adiknya yang terbelakang. Mereka ditinggalkan oleh sang Ayah tidak lama setelah si adik terlahir cacat. "Bapak kawin lagi sama penyanyi dangdut di pasar malam belakang pasar Kebayoran" ucapnya lugu. Ia mencari nafkah menjadi gelandangan pemungut sampah setelah agak besar, dan tidak pernah sekolah. Kami tidak tahu persis berapa usianya. Kami perkirakan saat itu ia sudah usia 9 atau 10 tahun.


Ibu cukup sigap. Esok hari, ibu secara sepihak menetapkan tanggal di hari ia datang sebagai ulang tahunnya, dan tetapkan usianya 8 tahun. Lalu Ibu bergegas ke pengurus lingkungan dan mulai mengurus salinan surat lahir, agar anak ini bisa bersekolah. Beberapa bulan kemudian saat hari pertama tahun ajaran baru, jadilah anak itu  sebagai siswa tertua di kelas 1 (sekalipun tubuhnya sama dengan rekan lainnya) di Sekolah Dasar Inpres dekat rumah kami. Kami masih ingat bagaimana ia tidak hentinya bersujud syukur sepulangnya dari hari pertamanya ia bersekolah. Ia tampak begitu bahagia dan saya ingat betul hari itu ia terlambat menyiram tanaman karena tertidur kelelahan. Entah lelah bersekolah atau lelah merajut mimpi indah.


Malamnya, saat hendak tidur dan hendak ucapkan selamat malam ke Ibu, saya mendapatkan Ibu, seorang yang saya kenal berwatak amat keras dan garang, menangis sembari mempersiapkan seragam sekolah anak itu. Terlihat jelas celana berwarna merah itu basah oleh air mata Ibu. Saya hanya beringsut pergi dan batalkan rencana saya mengucapkan selamat malam.


Saya tidak ingat detail sesudahnya, saya lolos UMPTN dan diterima di perguruan tinggi negeri elit. Saya pergi untuk kost karena lokasi kampus agak di luar kota. Yang saya tahu, adik-adik sering mengatakan Ibu sering masak masakan yang enak-enak karena anak itu rapornya bagus. Namun saya juga diceritakan bahwa anak itu sering menangis karena bentakan dan hardikan Ibu yang tidak mau terima nilai ulangannya hanya delapan. Saya kemudian tahu bahwa anak itu masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri yang cukup baik di dekat rumah kami, dan kembali tinggal bersama Ibu dan adiknya.


Tidak berapa lama, cobaan pun datang. Si adik yang amat disayanginya meninggal dunia karena kecelakaan. Menjelang kelulusannya, sang Ibu pun meninggal dunia karena sakit. Keluarga kami sempat membawanya ke Rumah Sakit namun tidak tertolong, kemungkinan besar karena pneumonia akut. Sejak saat itu ia tinggal kembali di rumah kami. Kami sempat mendengar di malam ia kembali ke rumah, ia mengatakan "bolehkah saya menjadi anak Ibu ? saya tidak punya siapa-siapa lagi". Kami pun mendengar Ibu hanya bergumam datar menjawab "gak perlu diminta, kamu sudah jadi anak Ibu sejak kamu lewat depan pagar dulu". Kemudian kami hanya mendengar suara isak tangis anak malang itu. Saya tidak tahan untuk tidak ikut menangis waktu itu. Saya juga melihat adik-adik saya menangis, dan Ayah menitikkan air mata saat kejadian itu. Kami semua menangis.


Di luar dugaan, saat kelulusan ia menjadi lulusan terbaik dan masuk ke Sekolah Menengah Atas elit di daerah kami serta memperoleh beasiswa. Satu hal yang tidak hilang, halaman rumah dan mobil ayah saya masih menjadi "garapan" rutinnya. Kami kemudian mendengar, Ayah dan Ibu memanggilnya menjelang kelulusan dan katakan bahwa mereka tidak mampu biayai dirinya untuk kuliah di perguruan tinggi swasta. Ia hanya mengangguk dan katakan seusai SMA, ia mungkin akan bekerja jika tidak memperoleh kesempatan kuliah. Saya ingat, ia akan belajar mengemudi untuk menjadi supir angkutan kota . Sungguh sayang sebenarnya untuk seseorang yang pandai dan fasih berbahasa Inggris, hanya menjadi supir. Ibu mendidiknya amat keras bukan hanya soal disiplin dan soal pelajaran, Ibu memaksanya untuk fasih berbahasa Inggris, sama seperti kami, anak-anak kandungnya.


Dan kejutan kejutan berikutnya terus datang. Ia diterima sebagai siswa PMDK di suatu perguruan tinggi negeri di luar kota, tanpa test dan tanpa biaya masuk, di suatu jurusan yang cukup aneh untuk keluarga kami yang berkutat di bidang teknik. Ia memilih jurusan Hubungan Internasional. Rupanya, Ibu amat berhasil membimbingnya, bukan cuma mengangkatnya dan memotivasinya, namun juga memodali mimpinya. Ia ingin bisa seperti Ibu yang bisa menikmati perjalanan ke luar negeri. Ia lulus nyaris 'cum laude' di tahun ke-empatnya, dan sepanjang periode itu Ibu hanya berikan uang yang amat minim untuk biaya hidup. Rupanya ia mencari tambahan dengan memberikan les privat kepada siswa-siswa di bimbingan belajar sebagai nafkah.


Sempat menganggur beberapa saat di kota tersebut, ia kemudian kembali ke rumah, menempati kamar di loteng yang dihuninya sejak belasan tahun sebelumnya. Ia sempat menjadi tenaga administrasi honorer di kantor Ayah selama beberapa bulan sembari mencari pekerjaan lain. Hingga suatu hari saya ditelpon Ibu di kantor "Coki diterima di Deplu, mama mau kamu bicara sama dia karena nanti sore dia harus berangkat ke diklat untuk pendidikan, kamu kasih dia nasehat untuk di dunia kerja". Singkat cerita, masuklah ia ke Departemen Luar Negeri, sebagai calon staff luar negeri, bahasa bersayap untuk "calon diplomat". Lulus pendidikan dengan predikat memuaskan, ia sempat menjadi staff beberapa bulan menunggu penempatan dinasnya. Anak gelandangan pemungut sampah itu kini sudah begitu dekat dengan mimpi yang dulu bahkan tidak pernah mungkin hadir di kepalanya.


Di hari yang hanya berselisih beberapa hari dengan "tanggal kelahirannya", dengan tanggal ia "ditemukan" oleh Ibu, keluar keputusan bagi dirinya, ia ditempatkan di suatu negara di Eropa sebagai staff KBRI dan hanya punya waktu dua minggu untuk masuk karantina dan diberangkatkan. Ibu yang menerima surat itu, dan mereka membukanya bersama-sama. Ayah saya bilang, setelah membaca berulang kali hingga ia yakin apa yang dibacanya, ia langsung memeluk Ibu dan berlutut hendak mencium kaki Ibu. Saya ingat, Ibu selalu murung menjelang keberangkatannya. Saya ingat pula, Ibu tiada henti berdoa dan terus sibuk mempersiapkan aneka keperluan untuk perjalanan jauh itu. Di hari keberangkatannya, kami semua mengantarnya ke tempat ia akan dikarantina di Diklat. Tidak satupun barang yang dipersiapkan Ibu yang ditolaknya. Bawaannya amat banyak dan terlihat merepotkan. Hari itu, kami bertiga menjadi "anak tiri", hingga namanya dipanggil masuk, ia hanya duduk diam bersebelahan dengan Ibu seolah tidak mau lepas.


Dua puluh tahun berlalu sejak kami melihatnya nyaris mati kelaparan di pagar halaman kami. Kini, ia sedang dalam lawatan di suatu negara tetangga dalam rangka dinas untuk menemani rombongan pejabat pemerintah, dan ia sempatkan mengirim sebuah kartu pos untuk Ibu. Kartu pos dari Frederikplatz. Saya masih cukup teliti untuk melihat, di bagian belakang, suatu noda merusak tulisan tangannya untuk Ibu, noda karena air yang mengaburkan tintanya. Saya tahu, itu air mata. Ia pasti menangis pada saat menulis pesan di belakang kartu pos itu untuk Ibu saya.


Ibu saya telah berikan semua yang ia miliki untuk anak ini. Bukan cuma sekedar makanan untuk membuatnya tetap hidup. Ibu juga berikan segenap jiwa pengasuhannya, cintanya dan bimbingannya yang keras. Tidak sedikitpun standar yang diberikan pada kami dikurangi untuk anak itu. Ibu sebenarnya bisa pada saat itu sekedar berikan makanan hangat dan uang, lalu bersikap tidak pernah ada peristiwa tersebut. Tapi Ibu tentukan sendiri jalan yang berbeda bagi dirinya, dan bagi anak yang malang itu.


Dan Allah maha adil, Allah ganjar pula kesungguhan dan keikhlasan Ibu dengan keberhasilan dan pengharapan yang menjadi kenyataan. Allah pula ganjar kesungguhan dan kesetiaan anak itu dengan semua nikmat yang diterimanya hari ini. Membuat perbedaan, itulah yang Ibu lakukan. Itu pula sesuatu yang saya dan semua orang harus lakukan dalam hidup.


Kini, dua puluh tahun berlalu sejak saat kami melihatnya pertama kali dengan iba, ia telah berada di suatu tempat, amat jauh dari kami, tapi mungkin tidak terlalu jauh dari Frederikplatz. Namun tiba-tiba saya lah yang merasa terpisah dari Ibu dengan jarak yang lebih jauh dari jarak antara Frederikplatz dengan Jakarta. Padahal kami sama-sama di Jakarta, dan bahkan kami baru saja bicara melalui telepon dua hari lalu.


Kerinduan saya akan kehadiran beliau demikian menyiksa, ingin rasanya saya bertemu Ibu dan mendekapnya erat. Saya berdoa, agar bisa bertemu Ibu segera agar rindu saya terobati. Rindu pada seorang Ibu dan seorang berhati mulia di balik suara garangnya. Di lubuk hati, terucap kata maaf seorang anak yang tidak cukup keras berusaha untuk dekat dan hadir di hadapan sang Ibu. Semoga saya masih diberi kesempatan sampaikan maaf tersebut.


[masdewo@aol.com]