Friday, September 17, 2010

Karir Macet (3) : 10 Tanda Karir Anda Macet (Total)


Bagian terakhir biasanya diharapkan happy ending. Sayang sering juga ada cerita atau tulisan yang sad ending. Mungkin ini satu diantaranya. Bagian terakhir ini coba kasih info mengenai 5 tanda-tanda lain bahwa karir anda ada masalah kemacetan yang akut dan kronis. Artinya perlu segera dilakukan langkah penyelamatan. Apa saja ? Langsung aja yuk..

Enam : 8 dari 10 rekan gaul anda saat ditunjukkan struktur organisasi anda memberikan komentar yang "aneh". Tidak harus rekan gaul saja, bisa pula berarti istri atau suami anda, saudara anda, orang tua anda, pada saat mereka anda tunjukkan (baik sengaja maupun tidak) posisi anda di perusahaan melalui organization chart, memberikan komentar yang aneh atau tidak anda diharapkan.
"Wah jauh amat kamu dari posisi boss". Atau "Walah, kamu ada dimana nih ?". Atau "Wah rupanya si X sekantor ya sama kamu ? Hebat ya dia sudah jadi Manager". Atau "Sudah berapa lama sih kamu di company ini ?". Paling parah kalau sampai dapat komentar "Apa sih yang kamu tunggu atau kamu harapkan disini ?".
Semua komentar itu tidak bisa dianggap sepele. Secara sadar atau tidak, mereka tengah memberikan penilaian jujur tentang kemacetan total di karir anda. Anda sedang dilihat sebagai seseorang yang cuma membuang waktu dan kesempatan di tempat yang tidak memungkinkan anda berhasil. Anda harus segera pergi menurut saya jika alami komentar yang demikian dari orang yang tidak bermaksud menjatuhkan anda. Percayalah, sesungguhnya mereka secara tidak sadar sedang menyelamatkan karir anda dari kehancuran lebih parah.

Tujuh : Semakin sulit dan berbelit-belit respon yang anda terima saat meminta penggantian staff atau tambahan staff. Masih ingat di bagian kedua saat perusahaan bergerak dengan lebih cepat, lebih gesit dan lebih lincah sehingga semua harus ikut bergerak seirama menuju tujuan yang diharapkan ? Tiba-tiba staff anda cuti panjang melahirkan. Atau mengundurkan diri karena ikut suaminya ke kota lain. Atau keluar karena mendapat tawaran yang luar biasa di kompetitor. Atau habis masa kontraknya. Atau diterima untuk bekerja di unit lain dalam perusahaan yang sesuai bidang studinya.
Bagaimana dengan anda ? Minta penggantian dong... atau malah bisa jadi anda minta tambahan karena memang volume transaksi yang anda kendalikan bertambah. Sayang, anda ditolak. Parahnya, anda merasa penolakan itu tidak tulus dan berbelit-belit. Kinerja anda pun mulai terganggu karena terjadi down capacity. Nobody cares... anda sendirian.
Itulah sinyal keras bahwa anda harus pergi. Anda tidak lagi penting. Unit anda mungkin masih penting, itulah sebabnya tidak dilikuidasi. Tapi anda dianggap sebagai beban bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan meminta kompensasi ke anda berupa penghematan yang bisa jadi tidak rasional lagi menurut anda : pengurangan headcount secara halus. Yang pergi tidak lagi diganti. Percayalah, begitu anda keluar, dan cash flow perusahaan berarti berkurang bebannya, jumlah staff baru yang disuntikkan ke unit anda akan ditambah bahkan melampaui jumlah yang anda minta sebelumnya. Masalahnya bagi perusahaan memang cuma satu : Anda. Anda pergi, masalah selesai. Habis cerita.

Delapan : Semakin mudah untuk kabur dari kantor, semakin tidak dicari-cari, dan semakin tidak menumpuk pekerjaan yang anda tinggalkan. Betapa nikmatnyaaaa, pilek sedikit dan malas ke kantor, tidak ada yang menelpon anda dari kantor. Esok hari anda masuk sambil bertanya-tanya "ditanyain apa ya gue nanti di kantor" dan siapkan aneka jawaban (yang pastinya ngibul). Tapi sampai sore dan pulang, tidak ada yang bertanya. Semua terasa normal dan seperti tidak ada apa-apa.
Itulah pertanda Anda sedang menjadi orang yang spesial ! Spesial bukan karena dibutuhkan. Tetapi spesial karena kepergiannya diharapkan, disadari ataupun tidak. Itulah pertanda bahwa "ada atau tidak ada anda, perusahaan jalan terus tanpa gangguan". Menyedihkan ya ?
Lebih hati-hati lagi jika ada sinyal tambahan : tumpukan pekerjaan di meja justru tidak tampak setelah anda kabur. Artinya, benar-benar keberadaan anda memang tidak penting.

Sembilan : Hidup anda relatif damai dan tenteram di kantor, tetapi tiap ada masalah, anda lah biang keroknya. Masih soal hidup bahagia, nyaman tenteram, duduk manis atasi rutinitas hidup di kantor dengan target rendah dan tanpa gangguan dari atasan yang rewel. Tetapi, tiba-tiba produk baru yang diluncurkan minggu lalu dihentikan karena bermasalah. Dan dalam sekejap sejumlah pihak mulai bicara ke anda "Kamu sebaiknya mulai cari cara untuk atasi masalah tersebut", atau "Kalau semua kerja lebih keras dan tidak terpaku ke hal rutin, semua ini bisa dihindarkan dan diantisipasi". Selamat ! Anda telah ditahbiskan sebagai Kambing Hitam Tahun Ini (The Scapegoat Of The Year).
Mengapa anda ? Karena sejak awal, tanpa anda sadari, semua sudah sepakat anda adalah beban dan tidak seharusnya anda ada disitu. Jadi tinggal tunggu golden moment untuk timpakan semua ke anda. Toh kalau anda pergi tidak ada pengaruhnya bagi produk tersebut, lha wong memang anda tidak ada kaitannya dengan produk itu sebenarnya.

Sepuluh : Anda semakin jarang diundang ke acara kantor, atau business dinner, atau management round table meeting. Di posisi tertentu, jamak dilakukan pengelolaan bisnis secara internal melalui aneka gathering, business dinner, breakfast meeting, management round table meeting hingga teleconference atau webmeeting. Dan anda cuma menyaksikan saja seperti halnya anda menyaksikan e-Business World channel di TV Kabel. Sebatas peragaan kecanggihan teknologi dan unjuk kebolehan berbicara manusia lain.
Selamat ! Sekali lagi anda terpilih menjadi penonton di era kemajuan pesat perusahaan. Artinya, segera setelah masa berlaku tiket anda habis, anda harus enyah. Mengapa tidak sebaiknya anda pergi sebelum diusir ? Cepat atau lambat, halus atau kasar, jika anda tidak lagi diikutkan di momen-momen tersebut, anda sudah berada di luar pusaran kekuasaan (circle of power) perusahaan. Pusaran itu tempat mengalirnya aneka update dan informasi bisnis untuk diolah menjadi suatu keputusan bisnis. Dan anda tidak dilibatkan di dalamnya. Anda kering kerontang sementara semua orang hanyut di pusaran. Time to move out. Cari tempat lain yang bisa memberi anda pusaran yang bisa anda nikmati.

Semakin jelas ya ? Semoga anda semua (dan juga saya) mampu membaca tanda-tanda karir macet ini dengan seksama dan bijaksana. Semoga sukses dan selamat berakhir minggu !

[katjoengkampret@aol.com]



Karir Macet (2) : 10 Tanda Karir Anda (Memang) Macet !


Banyak amat sampai ada 10 tanda ? Ya tidak perlu ada semuanya sih untuk simpulkan karir anda (memang) macet, tapi kalau ada empat atau lima, itu sudah hampir pasti anda memang terjebak di kemacetan karir. Kalau lebih dari lima ? Wah kemacetan yang anda alami setara dengan macet karena banjir di jalan tol Bintaro. Nyaris no way out... !

Apa saja kesepuluh tanda kiamat kecil di perkembangan karir anda tersebut ? Lima yang pertama saya coba sajikan, kelimanya terkait dengan apa yang anda peroleh selama ini dari perusahaan. Lima lainnya akan saya sajikan kemudian karena saya coba kelompokkan secara berbeda. Mari kita lihat lima yang pertama yang mungkin sudah akrab dengan anda.

Satu : Tiga Tahun Berturut-turut Kenaikan Gaji Anda Sebatas Pemenuhan COLA atau Kompensasi Inflasi. Ini gejala akut loh... Ekonomi mulai bergulir dan Indonesia relatif sudah lebih teruji saat ini. Tidak ada lagi alasan manajemen sampaikan ke karyawan "Perusahaan Lagi Krisis". Jadi, kalau sampai tiga tahun berturut-turut salary increase anda cuma berkisar 5-8% per tahun (yang mana inflasi kita akhir-akhir ini konstan di 6-7% per tahun), maka sesungguhnya itu bukanlah "The Real Salary Increase". Itu adalah sekedar kompensasi atas turunnya daya beli anda karena terkena inflasi, alias sebenarnya tidak ada kenaikan gaji. Penyesuaian ini sering disebut COLA (cost of living adjustment).
Jika anda alami ini secara konstan, percayalah, anda dibohongi jika dikatakan perusahaan sedang krisis. Anda lah yang sedang dalam krisis. Kemungkinannya cuma dua : anda memang tidak perform, atau anda sudah ketinggalan "kereta". Intinya, anda sudah tidak masuk ke rencana jangka panjang perusahaan. Anda sebaiknya pikirkan untuk ambil tindakan yang tepat sesegera mungkin.

Dua : Tiga Tahun Berturut-turut Tidak Ada Perubahan Berarti Dalam Exposure atau Scope of Responsibility Anda. Ini nyaris sama persis dengan tanda-tanda di atas, anda sudah tidak lagi masuk sebagai bagian dari rencana strategis perusahan. Untuk itu, bagi perusahaan anda akan dipandang sebatas "sudah bagus kamu ada pekerjaan dan dapat gaji". Seringkali orang merasa jumawa, nyaman dan aman jika tidak ada perubahan berarti dalam job descriptionnya, dalam scope of responsibility atau dalam work exposure yang dibebankan perusahaan ke dirinya. Sebenarnya itu adalah pesan perusahaan secara halus : Anda tidak kami perhitungkan lagi. Tentu jika anda orang yang potensial, aset penting perusahaan dan dipandang sebagai motor penggerak pertumbuhan perusahaan, tiada hentinya tambahan exposure baru diberikan ke anda, juga tambahan job description serta scope of responsibility yang meluas. Bayangkan selama tiga tahun pekerjaan anda itu-itu saja, KPI tidak kunjung dikembangkan atau dielaborasi padahal sudah tercapai sejak lama, artinya secara profesional anda dianggap sudah tidak eksis atau sekedar pelengkap penderita. Time to think and to go !

Tiga : Tiga Tahun Berturut-turut Nama Anda Tidak Tercantum Dalam Promotion List Atau Nominasi Proyek Penting. Perusahaan bergerak cepat, perusahaan bergerak gesit menangkap aneka peluang bisnis baru, perusahaan bergerak lincah menyesuaikan diri dengan dinamika pasar dan industri yang digeluti. Berhenti sampai disini ? Pastinya tidak. Orang-orang di dalamnya akan dipaksa dan terbawa untuk ikut bergerak cepat, bergerak gesit, dan bergerak lincah. Wadah yang bergoyang maka air di dalamnya ikut bergetar bukan ? Sayang, di aneka proyek itu nama anda tidak kunjung muncul. Semua orang silih berganti keluar masuk di project member dan mengantungi rekognisi atas pencapaian di proyek-proyek tersebut, sementara anda masih berkutat dengan daily work anda yang itu-itu saja sejak beberapa tahun lalu. Pesannya cukup jelas dan lugas : anda bukan bagian dari segala strategi penting dan jangka panjang perusahaan. Anda terjebak di kemacetan karir ! Dan sudah bisa dipastikan, anda akan diam di tempat.
Berhasil atau tidak, kesempatan terlibat di proyek strategis adalah assessment maha manjur untuk mengetahui potensi seseorang. Jika berhasil maka diperoleh pengujian yang sahih akan kemampuan orang tersebut. Dan jika pun gagal maka bisa diketahui bahwa orang tersebut tidak sesuai untuk job itu dan harus dicarikan job lain yang lebih memungkinkan dirinya berhasil. Lalu bagaimana jika tidak kunjung diujicoba di proyek strategis ? Artinya tidak ada gunanya menguji anda atau mengetahui kelebihan-kekurangan dan potensi anda. You are dead !

Empat : Dua Tahun Terakhir Nama Anda Tidak Didaftarkan Di Pelatihan Atau Program Pengembangan Yang Strategik. Sama seperti uraian di atas, saat perusahaan bergerak cepat, bergerak gesit, dan bergerak lincah, semua di dalamnya diharapkan ikut bergerak seirama bersinergi menuju arah perubahan yang dituju. Pelatihan dan Pengembangan menjadi salah satu kunci untuk memberikan pembekalan, kesiapan dan keahlian yang dibutuhkan dalam merealisasikan tujuan baru tersebut. Aneka nama training yang belum atau jarang anda dengar dalam dua atau tiga tahun terakhir, tiba-tiba menjadi hot topic di kantor terutama di kolega-kolega peers anda. Lalu dimana anda ? Oooow, anda rupanya ada di sudut duduk manis mengerjakan pekerjaan rutin anda. Atau, satu dua kali anda dikirimkan ke pelatihan namun pelatihan internal dengan topik yang usang atau sudah anda hafal semata karena anda harus memperoleh "penyegaran", demikian pesan suci dari bagian SDM anda. Sadarilah, anda sedang disuruh menjadi penonton dari segala hiruk pikuk pergerakan yang terjadi di kantor. Jika pun anda hendak melangkah keluar, anda tidak memiliki kualifikasi ekstra sebagaimana orang-orang yang anda tonton tersebut, kualifikasi anda sebatas kualifikasi kerja rutin anda selama ini. Tapi tetap, di luar bisa jadi lebih menjanjikan ketimbang anda terus duduk manis tanpa harapan di dalam.

Lima : Dua Tahun Terakhir Target Kerja Anda Tidak Meningkat Secara Signifikan, Bahkan Di Bawah Target Umum Perusahaan. Saat perusahaan berkembang dan bergerak cepat, target meningkat drastis dan produktivitas seolah menjadi mantra suci. Target tahun lalu seribu maka tahun ini menjadi dua ribu. Bagaimana dengan anda ? Anda hanya ditarget seribu. Atau misalkan ada pertumbuhan, hanya sedikit, anda hanya ditarget seribu dua ratus. Tahun berikut, semua bertumbuh dua ratus persen targetnya, dan semua teriak-teriak mau mati karena target yang agresif, eeh anda seolah menjadi orang suci yang kebal masalah, karena target anda masih sama dengan tahun sebelumnya.
Anda benar orang suci kebal masalah ? Salah besar. Anda sesungguhnya tengah menjadi orang sial kebal promosi. Anda terabaikan dan sebenarnya terusir secara halus.

Tanda-tanda di atas sudah cukup ? Belum... masih ada lima tanda lain yang akan anda temui di bagian ketiga tulisan ini. Silakan renungkan lima tanda di atas dan sabarlah saya menyiapkan bagian pamungkas rangkaian tulisan ini untuk anda.

[katjoengkampret@aol.com]

Karir Macet (1) : Grade, Package dan Exposure


Sering kita bertemu dengan rekan, atau malah kita alami sendiri, keluhan "wah karir gue macet".. Seperti halnya naik mobil dan kena macet di jalan protokol, situasi ini sebenarnya sama persis : bikin frustrasi, tidak mengenakkan tapi harus dijalani, dan sebenarnya situasi yang bisa diantisipasi atau diidentifikasi gejalanya.

Nah, saya terpikirkan situasi ini dan bagaimana cara mengidentifikasinya, terutama mengingat bahwa saat ini saya mungkin ada di situasi ini, dan sebelumnya pun pernah alami situasi ini, alhamdulillah saya berhasil lolos. Saya coba berbagi sedikit kiat yang mungkin bisa bantu teman-teman semua yang ada di situasi ini untuk ambil tindakan cepat.

Pertama, saya sangat ingin sampaikan bahwa ada kemungkinan mayoritas kita semua tidak tahu cara mengukur keberhasilan karir menurut ukuran yang umum digunakan. Saya berpendapat career is not just about money or title. Motivator Rene Suhardono malah mengatakan dalam bukunya "Your Job Is Not Your Career". Secara ringkas, ukuran kemajuan karir dapat disimpulkan dari tiga ukuran : Grade, Package, Exposure.

Grade adalah cara termudah mengukur kemajuan karir kita, disini terkandung unsur title, posisi, otoritas, job description, dan tentunya gengsi atau pride. Mudah bukan untuk menilai seseorang yang berposisi sebagai manajer sebagai orang yang karirnya lebih maju dibanding teman sekelasnya yang saat ini masih berposisi sebagai koordinator ? Package, adalah apa yang kita peroleh secara nyata, mudahnya ini menyangkut gaji, tunjangan, fasilitas-fasilitas, dan tentunya social recognition seperti halnya business dinner, club membership dan sebagainya. Exposure, ini yang sulit diukur dan memang orang pun tidak banyak tahu tentang exposure kita, tapi ini adalah ukuran yang amat manjur untuk menilai situasi karir kita. Exposure menyangkut expertise, specific skills, generic skills, reputasi, pengalaman, dan professional qualifications.

Pernah mendengar kan calon gubernur misalnya dari ex anggota TNI, disebutkan bahwa bapak X adalah purnawirawan jenderal bintang 2, dan pernah bertugas sebagai Panglima Kodam di daerah Y, lalu pernah bertugas tempur di (misalnya) Papua, Timor Timur, dan menjadi anggota pasukan penjaga perdamaian. Jenderal itu posisi penting, itu grade, semua juga tahu. Berapa gajinya (dan juga selepetannya) itu juga bisa menjadi rahasia umum. Tapi exposure-nya ? Belum tentu orang tahu. Dari uraian di atas setidaknya saya bisa simpulkan bahwa Bapak X berpengalaman jadi komandan, ahli memimpin pasukan, pengalaman tempur di daerah hutan rimba, tempur di daerah panas kering dan terbuka, serta ahli diplomasi dan setidaknya ahli berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Itulah exposure beliau. Dari mana saya tahu ? Coba anda cari tahu dari mana saya bisa tahu.

Jika saya beranggapan Bapak X bisa dipertimbangkan jadi seorang Gubernur, pertimbangan itu bukan berasal dari Grade apalagi Package beliau. Tapi dari exposure yang dimiliki. Bahwa beliau berpengalaman bertugas di daerah dan berinteraksi dengan berbagai kalangan, punya pengalaman manajerial lapangan maupun administrasi yang teruji, punya keahlian diplomasi dan komunikasi yang baik, itulah kelebihan beliau.

Tugas anda sebelum menilai karir anda macet atau tidak adalah menentukan apa-apa saja exposure yang sudah anda miliki, yang belum anda miliki dan yang harus anda miliki.

Jika sudah anda lakukan, baru anda bisa menentukan assessment berikutnya dan melangkah lebih jauh dengan mengambil tindakan yang penting bagi karir anda. Tunggu saya di lanjutan dari tulisan saya ini : 10 tanda-tanda karir anda (memang) macet.

Have a nice day !

[katjoengkampret@aol.com]

Thursday, September 16, 2010

Kembali Ke Kampus


Libur lebaran kemarin menjadi hari yang kurang sip bagi saya, bukan hanya karena saya merasa demikian lelah harus menjadi 'supir taksi' di lima hari tersebut namun juga saya terkena musibah. Entah bagaimana gigi geraham saya pecah, konsultasi cepat dengan adik saya, seorang dokter gigi, menunjukkan ada hal serius dan dia minta saya datang ke prakteknya di RSCM untuk bertemu rekannya yang punya spesialisasi soal masalah saya. Singkat kata, setelah setahun, saya kembali ke kampus tercinta. Sebagai alumni Universitas Indonesia di Depok, memang kampus Salemba tidak begitu akrab, namun saya habiskan dua tahun yang menarik untuk menempuh program magister saya bersama istri. Apa hubungannya ? Ya saya terpaksa parkir di UI karena parkir di RSCM menyulitkan, dan memang kampus UI Salemba terhubung dengan RSCM.

Di kesempatan ini, ada dua pengalaman menarik. Pertama, pertemuan saya dengan seorang senior saya, yang kemudian setelah relasi kami di kampus UI Depok terhenti karena kelulusannya beliau dipertemukan dengan saya kembali di kampus UI Salemba saat saya melanjutkan kuliah. Beliau telah menjadi doktor saat itu dan mengajar di sana. Relasi kami bukan hanya sebagai sahabat dan rekan diskusi, namun juga sebagai mentor dan bahkan dosen. Beliau luar biasa cerdas, berani, lugas dan yang paling mengesankan saya, amat bersahaja. Sulit bagi saya melepaskan diri dari ingatan tubuh tinggi ramping dengan kemeja lengan panjang tergulung dan celana docker serta sepatu kulit casual menyandang ransel. Berjalan cepat sembari membawa buku dan mendengar musik via earphone. Sosok yang saya sudah kenal dan akrabi sejak awal tahun 1990an.

Beliau memeluk saya dan terlihat amat bahagia, singkat cerita kami saling bertukar berita dan nomor telepon. Kami berencana untuk bertemu kembali di tempat lain. Beliau mensyukuri dan mengapresiasi langkah saya ke kampus untuk meminjam buku ke perpustakaan. Padahal awalnya saya hanya hendak parkir gratis dan nyaman, lalu karena janji dengan adik saya masih satu jam lagi saya hendak duduk santai di ruangan ber-AC, dan pilihan terbaik adalah perpustakaan program magister saya, tempat beliau mengajar. Beliau sampaikan, "kau hebat, anak kota, berhasil, masih kau berhasrat untuk tau banyak dan belajar, biasanya anak kota sok tau dan remehkan pendidikan". Saya hanya sampaikan "Abang itu lah sok tau, baru pula kuliah hidup di Jakarta lalu semua orang kota jadi buruk di mata Abang". Beliau tertawa, kemudian menjadi serius dan menanyakan sesuatu ke saya.

"Kau masih zakat Dik ? Boleh aku tawarkan kau kesempatan beramal serta berbagi rejeki dan kebahagiaan?". Beliau tawarkan saya menjadi donatur tetap di suatu lembaga pendidikan yang rupanya beliau dirikan di kampung halamannya, di Sumatra. Saya terharu. Saya tau sahabat saya ini belum menikah, beliau ingin entaskan adik-adiknya, ada tujuh orang, dan ambil alih tanggung jawab orang tuanya yang memang pas-pasan di kampung. Saya ingat, di rumah kecil yang disewanya di dekat kampus dulu, beliau tinggali bersama empat adiknya yang juga kuliah di UI. Dan di rumah itu pula beliau menerima murid-muridnya, pelajar SMA dan mahasiswa dari kampus lain untuk belajar matematika, fisika dan kimia. Sekarang, si Abang yang sudah melampaui 40 tahun, hidup sendiri karena ketujuh adiknya sudah menikah dan punya anak, kedua orang tua sudah wafat. Dan beliau memilih untuk membesarkan "anak-anak"nya sendiri di kampung halamannya. "Biar cepat lunas hutang abang sama bangsa, udah dibolehkan sekolah di kampus bagus dibayari rakyat".

Sebelum kami berpisah karena beliau hendak mengajar, terucap suatu ajakan, "masih ada waktu Dik untuk bantu aku ? Jika minat, datanglah kesini di sore hari selepas kerja, temui para mahasiswa untuk kuliah umum dengan praktisi, sampaikan apa saja yang kau mau untuk para anak orang kaya yang masih hijau itu, biar mereka menjadi eksekutif yang bermoral saat kembali ke perusahaan orang tuanya kelak". Saya tidak perlu berpikir untuk mengiyakan. Dalam hati, saya malu, akhir-akhir ini saya merasa terlalu sibuk dengan diri saya sendiri dan lupa untuk berbagi dengan orang lain. Saya rasa Allah kirim saya untuk bertemu si Abang untuk sambung silaturahmi dan ingatkan saya kembali mengenai hal tersebut.

Sejam kemudian, hal kedua saya alami. DI RSCM, dunia nyata terus bergerak tanpa terganggu dengan hari raya atau libur panjangnya. Betapa remuk hati saya menyaksikan antrian rakyat yang menanti layanan kesehatan. Sembari berdoa semoga kesusahan mereka tidak bertambah dengan perlakuan buruk atau orang yang berniat kurang baik, saya temui adik saya untuk proses masalah gigi saya. Realita itu berlanjut. Di deretan klinik yang ada, tampak antrian pasien demikian banyak. Tak lama kemudian, saat itu sudah sekitar pukul 10 pagi, di suatu ruangan yang terbuka pintunya, tampak seorang dokter, wanita, duduk dan dipijat seorang pramubakti, ia tampak demikian lelah.. Tidak lama seorang dokter muda masih dengan jasnya, terlihat mendudukkan dirinya dan sudah lelah. Adik saya menjelaskan, "inilah jika dokter menganggap dirinya manusia biasa yang butuh cuti panjang". Rupanya, banyak dokter yang cuti sehingga dokter yang ada bebannya berlipat ganda. Baru dua jam mereka bekerja mereka sudah lelah seperti halnya bekerja setengah hari.

Saya teringat pesan ayah saya saat melepas adik untuk memulai pendidikannya, pesan yang sama diulang saat adik saya hendak diambil sumpah sebagai seorang dokter gigi. Ayah ingatkan bahwa itu adalah pilihannya untuk menjadi manusia yang spesial, spesial karena bekerja dengan cara membaktikan dirinya bagi manusia lain, bagi orang banyak. Ayah minta, sesuai dengan sumpah yang akan diucapkannya, agar adik saya mendahulukan baktinya di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Mengesampingkan imbalan dan materi untuk fokus pada bakti pekerjaannya dan mendahulukan mereka yang membutuhkan pertolongan. Saya ingat, adik saya tidak pernah ambil cuti hari raya di sekian tahun karirnya.

Tiba-tiba pula saya teringat ucapan seorang tokoh yang sudah almarhum saat menjadi pembicara di kampus beberapa tahun lalu, beliau mengatakan bahwa sebenarnya bangsa ini sedang sakit dan pengobatannya perlu waktu lama. Walaupun sulit, tapi masih mungkin diobati dan harus dimulai sesegera mungkin. Lalu siapa yang mengobatinya ? "Kaum Muda" jawab beliau. Syaratnya ? Masukkan tiga hal ke semua kurikulum : Etika, Kewirausahaan, Manajemen Modal Manusia (Human Capital Management). Etika menjadi cermin diri saat jalan kita menjadi limbung, agar tidak salah arah, jatuh dan terjerembab. Kewirausahaan memperluas wawasan dalam menjalani hidup dan merangsang kreativitas dalam menyiasati hidup. Manajemen Modal Manusia, menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam setiap keputusan hidup yang diambil dan menjadikan manusia sebagai agen perubahan di semua lini. Manusia adalah modal (capital) bukan alat usaha apalagi beban.

Dokter yang masih self centric, menjadikan dunia medis sebagai ladang uang bukan pengabdian, dan melihat pasien sebagai kumpulan obyek pekerjaan bagaikan pegawai kelurahan melihat aplikasi perpanjangan KTP di meja pelayanan, sudah pasti kekurangan asupan intelektual dan asupan moral berupa etika, kewirausahaan dan Manajemen Modal Manusia. Jika ketiga hal itu telah mengalir di dirinya, ia akan melihat bahwa tentu tidaklah etis sebagai manusia istimewa dengan keahlian khusus yang dibutuhkan banyak orang yang kesusahan dan menderita, dirinya masih bersikap seperti pegawai biasa dengan hak sebagai manusia normal di masa pelayanan yang tengah kritikal. Juga, dengan semangat kewirausahaan yang baik, ia akan melihat, pelayanan yang lebih baik akan mengedepankan institusi tersebut sebagai pelayan publik sejati yang bisa memiliki inisiatif untuk membuka diri bagi bisnis yang lebih besar berdampingan dengan pelayanan yang sudah ada. Dan, dengan pemahaman akan manusia yang lebih baik, saya yakini, kemaslahatan orang banyak dan kesembuhan orang lain, akan selalu menjadi hantu bagi dirinya untuk melayani dan mengabdi dengan lebih baik dan lebih baik lagi.

Ah, jadi ingat sergahan si Abang tentang kami berdua : binatang idealis di kebun binatang oportunistis...

[katjoengkampret@aol.com]

Wednesday, September 15, 2010

Lima Matra Sukses Dalam Karir

Sulit memang merumuskan apa yang akan membuat karir kita melesat, namun memang banyak pihak menunjuk pada attitude sebagai kunci sukses utama kita dalam berkarir. Pengalaman saya sendiri berkarir selama empat belas tahun di enam perusahaan dan di sebelas penugasan menunjukkan hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Nah sekarang apa gak kurang orang yang ber-attitude bagus namun tersebar di rentang yang luas di jenjang karir ?

Dulu, waktu saya masih kecil dan bersekolah di SD, orang tua saya amat berseberangan. Ibu saya yang lulusan sekolah katholik mewarisi kedisiplinan yang menjadi ciri khasnya. Lakukan yang terbaik di semua bidang yang kau jalani, itu petuahnya. Sebenarnya sejak kecil saya sudah tidak sepakat dengan hal ini, mana mungkin saya Cuma manusia biasa, koq bisa jadi jawara di semua arena ? Jawaban muncul dari celetukan ayah saya, si jenius yang efisien dan smart. Beliau mengatakan pada saya "cukuplah kamu ahli di matematika dan bahasa Inggris, dengan modal dua itu kamu akan sukses". Sesederhana itu, beliau menjelaskan bahwa Bahasa Inggris adalah lingua franca, tiket untuk masuk ke pintu sukses di belahan dunia manapun melalui komunikasi yang baik, dan Matematika adalah tiket untuk memenangkan seleksi di jenjang manapun. Bener juga, mau masuk jurusan Teknik, Sastra, Arsitektur, Kedokteran bahkan Ilmu Agama sekalipun, maka kita akan harus melalui tes matematika…

Makin lama tentu makin gak relevan anjuran bapak saya tersebut, tidak sepenuhnya salah, namun tentu tidak mencukupi untuk bersaing di era sekarang. Maklum bapak saya udah berumur 67 tahun, ada kesenjangan tiga puluh hingga empat puluh tahun membentang dari eranya dengan era kita sekarang. Dari refleksi dan observasi, saya berpendapat, kesuksesan kita dalam berkarir ditentukan dari lima matra berikut ini :

Etika dan Etos. Sulit membayangkan ada orang sukses (di area apapun) tanpa adanya Etika dan Etos. Seorang kawan saya yang nyeleneh bilang "jangankan di dunia halal, di dunia haram aja ada etikanya, coba aja para waria dan PSK yang 'mejeng' di jalan, mereka tidak akan menyerobot 'klien' rekannya". Etika menjadi panji atau bendera yang berkibar untuk kapal reputasi kita. Motornya adalah etos kerja. Kawan saya itu nyeletuk lagi dan gak jauh dari dunia prostitusi, aneh ya ?) "tanpa etos yang bagus ya gak makan mereka, coba aja kalau gerimis dikit gak mau mejeng, ya nggak makan dan orang lain yang dapat langganan". Jangan sampai kita antipati dulu dengan ucapannya, tapi rasakan kebenaran dari celetukannya yang menyebalkan itu. Etos kerja adalah motor penggerak kapal reputasi profesional kita, yang siap digerakkan kemana saja. Etika dipadu dengan etos menjadikan suatu individu memiliki konsistensi dan integritas. Sulit menaklukkan seseorang yang memiliki kedua kualias itu dalam dirinya. Anda mau coba ? Silakan, anda akan kesulitan. Karena sesorang yang memiliki konsistensi dan integritas amat sulit digoyang. Dirinya amat fokus. Juga dirinya amat rendah hati dan terus mengasah diri demi mencapai apa yang dituju.

Kewirausahaan. Semangat kewirausahaan (dan tentunya kemandirian) menjadi komponen utama yang merintis deviasi antara seseorang yang sukses dengan kawanan besar yang tidak sukses. Menjadi pembeda antara "follower" dengan "leader", dan menjadi penggerak "si mandiri" dengan "si parasit". Isu satu ini amat sensitif terutama bagi pemilik badan usaha dan orang-orang dari bagian SDM, mereka cenderung antipati dan curiga "kalau semua orang jadi mandiri dan punya kemampuan wirausaha (entrepreneurship) gak ada yang mau kerja di kantor lagi dong?". Ini sungguh ironis dan fatal. Sulit memperoleh pemimpin yang mumpuni, businessman yang tangguh dan inisiator yang kreatif melihat peluang, jika semangat kewirausahaan dimatikan di suatu entitas. Visi kewirausahaan ini juga penting, mendorong seorang profesional ke batas dirinya untuk berpindah ke kuadran finansial lain, sehingga dengan sendirinya menjadikan dirinya sebagai lokomotif penggerak perusahaan, sebelum ia berpindah ke jalur lain. Sayang bukan jika ditiadakan atau tidak dipupuk ?

Manajemen Sumber Daya Manusia. Bapak saya pernah kasih nasehat di awal karir saya di suatu bank : "hidupmu akan lebih mudah jika yang kamu pimpin itu kambing, kamu cukup ikat mereka dan kasih rumput yang cukup, urusan selesai, tapi sayangnya anak buahmu manusia, dibuat kenyang pun tidak menjadikan masalahmu selesai, mereka punya ambisi, dahaga, keinginan dan kebutuhan". Celakanya, orang-orang yang berada di area SDM ini cenderung dipersepsikan (ataukah memang?) sebagai tiran, antek, gerecok dan perusak pesta. Seharusnya unit SDM menjadi agen perubahan, yang mentransformasikan sumber daya menjadi kapital. Itu konsep idealnya. Bagaimana jika sudah terlanjur memble ? Kunci ada di tangan anda, mau ikut memble atau mau maju ? Saya sih memilih maju. Maka dalam kepemimpinan saya, saya mentahbiskan diri saya sendiri sebagai boss, konsultan, mandor, trainer dan coach. Anak buah dan team saya harus terus menerus ditekan untuk naik ke tingkat berikutnya, terpenuhi kebutuhannya dan tersalurkan ambisinya. Tentu di koridor yang positif dan konstruktif. Saya berkeyakinan, orang-orang bertipe 'people manager' adalah mereka yang punya kans paling besar untuk sukses dan naik ke puncak ketimbang para technical savvy.

Komunikasi Efektif. Manusia diciptakan untuk berkomunikasi. Demikian salah satu peribahasa Yunani kuno yang pernah saya baca. Bisa jadi benar. Aneh ya rasanya membayangkan adanya manusia yang tidak berkomunikasi? Masalahnya, komunikasi ada ribuan atau bahkan jutaan variasi. Dan yang dibutuhkan untuk sukses hanya satu : komunikasi efektif ! Komunikasi efektif saya coba formulasikan sebagai komunikasi yang tepat sasaran, mampu menyampaikan pesan secara akurat dan pada konteks yang sesuai, yang menimbulkan efek positif dan menggerakkan. Berita buruk pun jika dikomunikasikan secara efektif dan konstruktif, akan berefek positif, dimana orang menjadi terlecut atau setidaknya menjadi pribadi yang lebih kuat. Pernah mendengar rohaniwan mengabarkan berita duka ? Caranya menyampaikan lah yang membuat perbedaan, memang tidak akan menghidupkan yang sudah mati, tapi mampu menjaga yang masih hidup untuk lebih kuat dan tegar. Atau pemimpin bisnis yang tetap tersenyum saat mengucapkan selamat bekerja di suatu kantor yang sedang terpuruk. Tidak akan merubah kondisi ekonomi memang, namun mampu menyampaikan pesan positif secara tepat ke sasaran, dan menggerakkan semangat positif dari pasukannya. Mau coba sendiri ?

Kepemimpinan. Ini adalah suatu masalah utama di negara kita. Demikian sulit mencari genuine leader. Bahkan presiden kita sendiri baru-baru ini dikritik seorang anggota TNI (yang haram mengkritik atasan secara terbuka) saking gemasnya dengan performa si presiden yang dianggap lemes. Strong leadership draws the difference. Itu benar. Coba padukan empat hal di atas, lalu rangkum dalam satu kata. Tidakkah anda akan berakhir dengan satu kata : kepemimpinan ? Kepemimpinan adalah suatu kualias nyata, yang tidak terlihat tapi terasa, tidak berbentuk tapi menggerakkan, dan tidak tergambar namun mudah dimengerti. Tidak ada pemimpin sukses yang kepemimpinannya tidak terasa di bawah, tidak menggerakkan pasukan secara konsisten, dan sulit dimengerti kemauan dan arahannya. Keempat hal di atas dirangkai dan dikunci oleh satu kualitas lain yang tidak tercantum di daftar ini : keteladanan. Berapa lama seorang pemimpin yang baik bisa bertahan dengan keteladanan yang buruk dan reputasi yang kacau ?

Anda tidak perlu kecil hati jika tidak memiliki semuanya. Untuk langkah awal, mulailah dengan dua atau tiga poin dulu. Asah dan pertajam kedua atau ketiga poin tersebut sebelum anda melangkah maju untuk meraih poin berikutnya. Kuncinya konsistensi dan integritas. Untuk itu, ada baiknya, anda mulai dengan meyakinkan diri anda, bahwa poin pertama, etika dan etos, sudah anda miliki. Begitu terjal jalan yang harus anda daki sekiranya kedua hal tersebut belum anda miliki.

[katjoengkampret@aol.com]

Wednesday, September 8, 2010

Studi Kasus Ekonomi di balik kebijakan 3-in-1 di Ibukota


Menjelang lebaran, libur panjang dan aneka gegap gempitanya, apa kabar ? Sedikit berbagi cerita yang diperoleh dari para saudara sebangsa yang menyambung napas kehidupan menjadi joki 3-in-1 di ibukota. Banyak cerita menarik dari mereka. Satu per satu (kalau saya sabar dan sanggup kumpulkan ceritanya ya) akan saya tuliskan di forum ini. Kali ini, saya dapat cerita menarik mengenai perputaran siklus ekonomi di balik kebijakan tersebut, yang tentunya lebih dari sekedar uang jasa joki dari para pengemudi kendaraan di ibukota.

Seorang joki bertutur, "sekarang mau kerja gak bener aja susah, apalagi mau kerja bener. Jangankan kerja kantoran, jadi joki yang gak tercatat dimana-mana aja perlu pelicin". Aneh juga saya dengarnya. Di pemahaman saya, joki-joki ini sekedar mengisi waktu luang dengan aktivitas yang bermanfaat secara ekonomi, menawarkan jasa menjadi pelengkap jumlah penumpang yang melintas di zona tertentu agar ada 3 orang di dalam mobil dan tidak ditilang polisi. Saya tidak pernah melihat ini sebagai kriminalitas atau pelanggaran ketertiban, sekalipun aparat dan pemerintah daerah selalu memberi label demikian. Justru saya melihat ini sekedar orang tolol tunjuk hidung orang yang lebih lemah. Kebijakan ini kebijakan asal-asalan, lalu aparat dimobilisasi dengan nurani dimatikan dan logika ditinggal di gudang. Rupanya saya salah. Tidak sesederhana itu masalahnya. Lebih buruk dari itu semua.

Rupanya, di sejumlah zona "panas" alias dekat dengan pengawasan polisi dan aparat Satpol PP, justru banyak orang berdiri mengacungkan tangan sebagai joki. Aneh bukan ? Tidak juga, karena memang ada unsur simbiosis. Ada yang tidak terlihat. Itulah para "koordinator". Di zona-zona panas ini, tentu tempat dimana para pengendara mobil merasa kuatir dan butuh jasa joki. Mau memutar ? Mana bisa semudah itu di jalan protokol di Ibukota. Selain macet juga jarak yang amat jauh untuk berputar menyulitkan pengendara untuk menghindar dari hadangan polisi.

Para koordinator ini "membina" antara 20 hingga 100 joki. Jangan salah, atau menyalahkan mata anda. Anda tidak salah baca, seratus ! Ada yang datang dan "menyerahkan" diri ke para koordinator ini, ada pula yang memang direkrut. Tidak jelas mekanisme rekrutmennya. Para joki ini diharuskan setor Rp 10.000,- menurut penuturan joki yang menumpang mobil saya. Ia sendiri saya naikkan di Jalan Senopati, sekitar 100 meter dari mulut Jalan Jenderal Sudirman, dan dari tempat saya menaikkannya saya bisa melihat pak polisi nan ganteng berdiri mematung tiada kerjaan di bundaran senayan.... ironis kan ?

Dari setoran itu, akan ada tiga kontrapretasi yang diberikan oleh koordinator ke para joki, pastinya tanpa kontrak tertulis lah... Satu, mereka diperkenankan menjajakan jasa mereka di zona yang dikuasai para koordinator. Dua, mereka tidak akan disentuh oleh polisi maupun Satpol PP yang ada di daerah tersebut atau melintas di daerah tersebut. Tiga, kalaupun ada razia dadakan yang tidak sempat bocor, dan mereka tertangkap, maka mereka akan ditebus oleh sang koordinator. Gratis ? Tentu tidak. Si joki tetap berhutang separuh dari nilai tebusan yang berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu.

Tapi daripada tidak ikut "paguyuban", resiko lebih besar. Bukan cuma finansial. Pelecehan seksual adalah resiko yang mengerikan, terutama di kalangan Satpol PP. Menurut joki saya ini, dan dibenarkan oleh joki lain yang pernah saya pakai jasanya, perempuan hampir pasti mengalami yang namanya digerayangi, bahkan menurutnya ada yang diperkosa atau dipaksa melakukan hal-hal yang tidak pantas dengan imbalan perlakuan baik. Sementara di kalangan aparat ini rupanya banyak juga para penggemar sejenis yang gemar menggerayangi sesama laki-laki apalagi anak kecil. Pukulan, tamparan dan tendangan menjadi menu standar para aparat ini menurut mereka, terutama di dua hari pertama di panti sosial yang menjadi tempat penahanan mereka. Itu tidak termasuk perlakuan kasar dari tahanan lain yang lebih dulu masuk atau lebih dewasa.

Pertanyaan saya, kalau ada 50 joki seperti koordinator joki saya tersebut, berarti sehari ia bisa kumpulkan Rp 500 ribu ? Dikatakannya memang benar. Uang itu cuma bisa dikantonginya sepertiga. "Sepertiga lagi menjadi setoran pak polisi dan sepertiga sisanya untuk pak komandan satpol, saya suka disuruh setor", katanya. Lebih seru lagi, si koordinator hanya duduk manis di rumah kecuali ada yang ditangkap atau ada masalah dengan para aparat, seperti menjelang Lebaran ini, "polisinya minta THR, sejuta. Kalau yang dari Satpol udah dibayar, pada minta saweran dua ratus ribu per orang", kata si joki. Amit-amit... belum tentu benar memang, tapi entah kenapa saya percaya ucapannya.

Sebelum turun, si joki bilang, jadi koordinator juga tidak kaya-kaya amat, karena waktu mau jadi koordinator, "sampai harus jual motor bebek untuk kasih duit panjer ke aparat" urai si joki. Oooh rupanya pak polisi dan pak satpol jualan kavling..... Dan kalau setoran terlambat atau keinginan tidak diberi, maka kavling akan dilego ke koordinator lain.

Di tikungan berikutnya, si joki turun dan saya bayarkan uang jasanya. Saya semakin tidak merasa bersalah dan memang menurut saya tidak ada hal salah yang saya lakukan atas ketentuan 3-in-1 ini. Di putaran berikutnya saya melihat seorang polisi, dengan pose bodoh yang sama seperti saya lihat sebelumnya, dan saya mual melihat seragam tersebut. Satu kilometer kemudian, sudah amat dekat dengan kantor saya, saya melihat kendaraan pick up milik Satpol PP dan beberapa personil bermain HP sambil mengawasi para joki di seberang jalan di depan gedung Sampoerna. Benar-benar mual rasanya saya melihat sekumpulan anak muda berseragam gelap ini.

Saya 90% percaya kebenaran uraian-uraian di atas. Bagaimana dengan anda ?

[katjoengkampret@aol.com]

Friday, September 3, 2010

Kearifan dan Kegagalan


Di awal karir saya, perusahaan pertama saya tersebut (dan juga cinta pertama saya di dunia profesional) berbaik hati menyelenggarakan suatu sesi motivasional dengan memanggil seorang tokoh kondang. Tokoh ini dengan anehnya meminta kami untuk tidak quote namanya jika ada yang dia sampaikan menjadi sesuatu yang bermanfaat. "Saya sudah cukup sukses dan terkenal, dan saya pun sudah tua, anda masih muda, perlu punya kharisma agar bisa berbuat banyak, jika ada kata-kata saya yang bermanfaat bagi anda dan orang lain, sampaikanlah sebagai kata-kata anda, semoga sukses dalam merubah dunia menjadi lebih baik". Demikian tuturnya.

Rupanya beliau itu merasa banyak sekali kegagalan yang terjadi di dunia ini, baik karena kecelakaan, sebab yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kegagalan baginya bukan cuma sukses yang tertunda, namun juga pembelajaran yang ampuh dan cemeti kesuksesan yang tajam. Siapa yang bersedia gagal untuk kesekian kali, bukan ? Cara untuk mengurangi "ongkos belajar" (demikian istilahnya untuk menyebutkan kegagalan pada konteks ini) adalah membekali generasi muda dengan tiga hal : otoritas yang lebih besar namun dilandasi rasa tanggung jawab ; moral dan etika yang sejalan dengan intelektualitas dan materialitas ; serta kecintaan akan sejarah sebagai cermin pembelajaran.

Menurutnya, sumber aneka kegagalan di kepemimpinan dalam dunia bisnis (termasuk pemerintahan menurutnya sebagai suatu bisnis), ada pada tiga sumber : ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakarifan. Sekilas kita tentu paham maksud dua yang pertama. Bagaimana berbisnis atau memimpin orang lain jika kita tidak tahu banyak hal yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas kita ? Atau bagaimana hendak berhasil jika kita tidak memiliki kemampuan atau keahlian dasar yang dibutuhkan untuk tugas tersebut ? Namun bagaimana halnya dengan "kearifan" ?

Ia mendefinisikannya sebagai perimbangan empat hal : benar-salah, sesuai-tidak sesuai, menguntungkan-merugikan, dan baik-buruk. Itulah prioritasnya, menurut beliau. Lakukan segala sesuatunya dengan benar, lalu pastikan bahwa yang dilakukan dan hasilnya telah sesuai dengan yang diminta atau diperlukan, kemudian apakah tindakan dan hasilnya tersebut mendatangkan keuntungan ataukah kerugian, dan terakhir apakah dampaknya menjadikan segala sesuatunya lebih baik ataukah lebih buruk ?

Berpegang teguh pada adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama sekalipun tidak melanggar hukum positif, menurutnya adalah contoh terbaik dari perimbangan tersebut. Menjalankan adat istiadat itu berarti kita telah melanggar ajaran agama. Maka tindakan tersebut sekalipun dampaknya baik (karena setidaknya kita selaras dengan lingkungan kita), dan juga tidak merugikan (walaupun belum tentu menguntungkan), namun tidak sesuai dengan yang disyaratkan ke kita sebagai pemeluk agama yang kita anut, dan pastinya kita berada di situasi yang salah. Hasil akhirnya : jangan dilakukan. Selalu ada resiko dari menegakkan kearifan berdasarkan pada keseimbangan tersebut.

Kearifan menurutnya adalah suatu konsep, suatu ide, suatu produk. Tidak akan menjadi sempurna tanpa proses delivery ke dunia nyata dalam bentuk aksi nyata. Kesempurnaan itu menurutnya pula, hanya akan tercapai melalui tiga media : kesantunan, konsistensi dan kerendahhatian. Penyampaian yang tegas dan konsisten namun dilakukan dengan lembut, santun, jelas dan rendah hati, tidak akan mampu dilawan dengan apapun, karena manusia tidak dibuat dari batu. Jika masih ada yang berusaha dan berhasil untuk melawannya, maka itulah yang disebutnya sebagai tirani, pemaksaan kehendak. Dan pada titik itu, segala sesuatunya menuju ke kegagalan.

Di akhir perjalanan dari pengambilan sikap serta penyampaiannya, kearifan hanya mungkin pula terbentuk dari penggalian pengetahuan serta pengasahan kemampuan. Tidak akan ada kearifan tanpa pengetahuan dan kemampuan. Dan kemampuan terbesar yang dikaruniai Sang Pencipta pada diri kita menurut ajaran agama adalah hal paling sederhana : mengendalikan diri sendiri. Seperti loop yang berputar-putar saja bukan ? Tampaknya demikian. Menunjukkan bahwa sebenarnya kita sebagai manusia, memang kecil adanya.

Bicara soal pemaksaan kehendak serta kearifan, kemarin sore ada sebuah contoh sederhana yang cukup memprihatinkan. Cerita sederhana mengenai sekelompok anak muda yang ingin "merayakan" berbuka puasa bersama di suatu tempat X untuk menikmati hidangan Y dengan rentang harga Z.

Rumus X+Y+Z ini menjadi sedemikian formula sakti yang seolah tak tergoyahkan. Kearifan mereka sebagai individu dan kelompok tengah diuji sebenarnya. Dengan uang yang mereka miliki secara kolektif, bukan hal yang sulit untuk merealisasikan X+Y+Z tersebut. Masalahnya, hanya mereka kah di dunia ini yang mampu berkeinginan sesuai formula X+Y+Z tersebut ? Jika itu formula sakti, dengan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan), perlukah suatu kecerdasan khusus bagi orang lain untuk bisa ikut berkeinginan melaksanakannya ?

Lalu timbul masalah lain, Tempat X memiliki kapasitas terbatas, hidangan Y tersedia hanya dalam jumlah yang tentunya terbatas, dan rentang harga Z hanya dapat diperoleh di tempat yang tertentu pula. Sementara, berbuka puasa adalah suatu variable baru, misalkan A, karena waktunya tertentu. Dan ketersediaan waktu untuk mencapainya juga suatu variable lain, misalkan B, karena mereka harus bekerja. Sementara jumlah mereka pun cukup banyak, yaitu C. Tampaknya terjadi knowledge gap, mereka tidak menghitung A, B dan C sebagai komponen yang ikut bermain. Tanpa pengetahuan, satu sumber kearifan hilang. Lalu, ada ketidakmampuan mengelola persamaan tersebut secara lengkap, termasuk mendefinisikan kebutuhannya sendiri, apakah harus terlaksana saat bulan ramadhan dengan judul "berbuka puasa bersama" ?

Mengapa harus dipaksakan ? Tidakkkah jika sekedar ingin merealisasikan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan) mengapa tidak dilakukan di lain waktu, sehingga variable A, B dan C tidak menjadi penghalang ? Ketidakmampuan mendefinisikan keinginan sendiri serta mengendalikan keinginan dari diri sendiri, telah sempurna menghapus kearifan kelompok itu.

Hasil akhir, tidak dapat tempat, dan akhirnya tidak bisa berbuka puasa, membeli makanan atau minuman sekedar membatalkan puasa pun sulit karena semua tempat penuh dan antrian panjang, hendak pulang pun sudah sulit karena macet, pekerjaan di kantor pun terbengkalai karena kepulangan yang lebih cepat dari biasa, dan tetap hingga malam mereka tidak kunjung mendapatkan tempat sehingga beralih ke tempat lain. Tidak satupun dari komponen X, Y dan Z yang akhirnya terkabul.

Bagaimana jika ini terjadi di dunia kerja, di arena bisnis bahkan di pemerintahan ? Sementara ada sebagian dari kumpulan anak muda ini yang memiliki posisi dan otoritas yang cukup signifikan di organisasi mereka ? Ini menunjukkan kematangan situasional mereka yang masih perlu diasah. Tentu kita sepakat, tidak ada kerugian, pelanggaran etika, pelanggaran hukum dan keburukan yang akan muncul jika acara itu ditunda, bukan ? Hanya satu hal saja yang dilanggar : keinginan mereka. Dan hasil akhirnya tetap keinginan itu tidak terlaksana.

Seandainya mereka membaca tulisan ini lebih awal dan mendengarkan saran dari penulisnya kemarin sore....

[katjoengkampret@aol.com]