Thursday, September 16, 2010

Kembali Ke Kampus


Libur lebaran kemarin menjadi hari yang kurang sip bagi saya, bukan hanya karena saya merasa demikian lelah harus menjadi 'supir taksi' di lima hari tersebut namun juga saya terkena musibah. Entah bagaimana gigi geraham saya pecah, konsultasi cepat dengan adik saya, seorang dokter gigi, menunjukkan ada hal serius dan dia minta saya datang ke prakteknya di RSCM untuk bertemu rekannya yang punya spesialisasi soal masalah saya. Singkat kata, setelah setahun, saya kembali ke kampus tercinta. Sebagai alumni Universitas Indonesia di Depok, memang kampus Salemba tidak begitu akrab, namun saya habiskan dua tahun yang menarik untuk menempuh program magister saya bersama istri. Apa hubungannya ? Ya saya terpaksa parkir di UI karena parkir di RSCM menyulitkan, dan memang kampus UI Salemba terhubung dengan RSCM.

Di kesempatan ini, ada dua pengalaman menarik. Pertama, pertemuan saya dengan seorang senior saya, yang kemudian setelah relasi kami di kampus UI Depok terhenti karena kelulusannya beliau dipertemukan dengan saya kembali di kampus UI Salemba saat saya melanjutkan kuliah. Beliau telah menjadi doktor saat itu dan mengajar di sana. Relasi kami bukan hanya sebagai sahabat dan rekan diskusi, namun juga sebagai mentor dan bahkan dosen. Beliau luar biasa cerdas, berani, lugas dan yang paling mengesankan saya, amat bersahaja. Sulit bagi saya melepaskan diri dari ingatan tubuh tinggi ramping dengan kemeja lengan panjang tergulung dan celana docker serta sepatu kulit casual menyandang ransel. Berjalan cepat sembari membawa buku dan mendengar musik via earphone. Sosok yang saya sudah kenal dan akrabi sejak awal tahun 1990an.

Beliau memeluk saya dan terlihat amat bahagia, singkat cerita kami saling bertukar berita dan nomor telepon. Kami berencana untuk bertemu kembali di tempat lain. Beliau mensyukuri dan mengapresiasi langkah saya ke kampus untuk meminjam buku ke perpustakaan. Padahal awalnya saya hanya hendak parkir gratis dan nyaman, lalu karena janji dengan adik saya masih satu jam lagi saya hendak duduk santai di ruangan ber-AC, dan pilihan terbaik adalah perpustakaan program magister saya, tempat beliau mengajar. Beliau sampaikan, "kau hebat, anak kota, berhasil, masih kau berhasrat untuk tau banyak dan belajar, biasanya anak kota sok tau dan remehkan pendidikan". Saya hanya sampaikan "Abang itu lah sok tau, baru pula kuliah hidup di Jakarta lalu semua orang kota jadi buruk di mata Abang". Beliau tertawa, kemudian menjadi serius dan menanyakan sesuatu ke saya.

"Kau masih zakat Dik ? Boleh aku tawarkan kau kesempatan beramal serta berbagi rejeki dan kebahagiaan?". Beliau tawarkan saya menjadi donatur tetap di suatu lembaga pendidikan yang rupanya beliau dirikan di kampung halamannya, di Sumatra. Saya terharu. Saya tau sahabat saya ini belum menikah, beliau ingin entaskan adik-adiknya, ada tujuh orang, dan ambil alih tanggung jawab orang tuanya yang memang pas-pasan di kampung. Saya ingat, di rumah kecil yang disewanya di dekat kampus dulu, beliau tinggali bersama empat adiknya yang juga kuliah di UI. Dan di rumah itu pula beliau menerima murid-muridnya, pelajar SMA dan mahasiswa dari kampus lain untuk belajar matematika, fisika dan kimia. Sekarang, si Abang yang sudah melampaui 40 tahun, hidup sendiri karena ketujuh adiknya sudah menikah dan punya anak, kedua orang tua sudah wafat. Dan beliau memilih untuk membesarkan "anak-anak"nya sendiri di kampung halamannya. "Biar cepat lunas hutang abang sama bangsa, udah dibolehkan sekolah di kampus bagus dibayari rakyat".

Sebelum kami berpisah karena beliau hendak mengajar, terucap suatu ajakan, "masih ada waktu Dik untuk bantu aku ? Jika minat, datanglah kesini di sore hari selepas kerja, temui para mahasiswa untuk kuliah umum dengan praktisi, sampaikan apa saja yang kau mau untuk para anak orang kaya yang masih hijau itu, biar mereka menjadi eksekutif yang bermoral saat kembali ke perusahaan orang tuanya kelak". Saya tidak perlu berpikir untuk mengiyakan. Dalam hati, saya malu, akhir-akhir ini saya merasa terlalu sibuk dengan diri saya sendiri dan lupa untuk berbagi dengan orang lain. Saya rasa Allah kirim saya untuk bertemu si Abang untuk sambung silaturahmi dan ingatkan saya kembali mengenai hal tersebut.

Sejam kemudian, hal kedua saya alami. DI RSCM, dunia nyata terus bergerak tanpa terganggu dengan hari raya atau libur panjangnya. Betapa remuk hati saya menyaksikan antrian rakyat yang menanti layanan kesehatan. Sembari berdoa semoga kesusahan mereka tidak bertambah dengan perlakuan buruk atau orang yang berniat kurang baik, saya temui adik saya untuk proses masalah gigi saya. Realita itu berlanjut. Di deretan klinik yang ada, tampak antrian pasien demikian banyak. Tak lama kemudian, saat itu sudah sekitar pukul 10 pagi, di suatu ruangan yang terbuka pintunya, tampak seorang dokter, wanita, duduk dan dipijat seorang pramubakti, ia tampak demikian lelah.. Tidak lama seorang dokter muda masih dengan jasnya, terlihat mendudukkan dirinya dan sudah lelah. Adik saya menjelaskan, "inilah jika dokter menganggap dirinya manusia biasa yang butuh cuti panjang". Rupanya, banyak dokter yang cuti sehingga dokter yang ada bebannya berlipat ganda. Baru dua jam mereka bekerja mereka sudah lelah seperti halnya bekerja setengah hari.

Saya teringat pesan ayah saya saat melepas adik untuk memulai pendidikannya, pesan yang sama diulang saat adik saya hendak diambil sumpah sebagai seorang dokter gigi. Ayah ingatkan bahwa itu adalah pilihannya untuk menjadi manusia yang spesial, spesial karena bekerja dengan cara membaktikan dirinya bagi manusia lain, bagi orang banyak. Ayah minta, sesuai dengan sumpah yang akan diucapkannya, agar adik saya mendahulukan baktinya di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Mengesampingkan imbalan dan materi untuk fokus pada bakti pekerjaannya dan mendahulukan mereka yang membutuhkan pertolongan. Saya ingat, adik saya tidak pernah ambil cuti hari raya di sekian tahun karirnya.

Tiba-tiba pula saya teringat ucapan seorang tokoh yang sudah almarhum saat menjadi pembicara di kampus beberapa tahun lalu, beliau mengatakan bahwa sebenarnya bangsa ini sedang sakit dan pengobatannya perlu waktu lama. Walaupun sulit, tapi masih mungkin diobati dan harus dimulai sesegera mungkin. Lalu siapa yang mengobatinya ? "Kaum Muda" jawab beliau. Syaratnya ? Masukkan tiga hal ke semua kurikulum : Etika, Kewirausahaan, Manajemen Modal Manusia (Human Capital Management). Etika menjadi cermin diri saat jalan kita menjadi limbung, agar tidak salah arah, jatuh dan terjerembab. Kewirausahaan memperluas wawasan dalam menjalani hidup dan merangsang kreativitas dalam menyiasati hidup. Manajemen Modal Manusia, menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam setiap keputusan hidup yang diambil dan menjadikan manusia sebagai agen perubahan di semua lini. Manusia adalah modal (capital) bukan alat usaha apalagi beban.

Dokter yang masih self centric, menjadikan dunia medis sebagai ladang uang bukan pengabdian, dan melihat pasien sebagai kumpulan obyek pekerjaan bagaikan pegawai kelurahan melihat aplikasi perpanjangan KTP di meja pelayanan, sudah pasti kekurangan asupan intelektual dan asupan moral berupa etika, kewirausahaan dan Manajemen Modal Manusia. Jika ketiga hal itu telah mengalir di dirinya, ia akan melihat bahwa tentu tidaklah etis sebagai manusia istimewa dengan keahlian khusus yang dibutuhkan banyak orang yang kesusahan dan menderita, dirinya masih bersikap seperti pegawai biasa dengan hak sebagai manusia normal di masa pelayanan yang tengah kritikal. Juga, dengan semangat kewirausahaan yang baik, ia akan melihat, pelayanan yang lebih baik akan mengedepankan institusi tersebut sebagai pelayan publik sejati yang bisa memiliki inisiatif untuk membuka diri bagi bisnis yang lebih besar berdampingan dengan pelayanan yang sudah ada. Dan, dengan pemahaman akan manusia yang lebih baik, saya yakini, kemaslahatan orang banyak dan kesembuhan orang lain, akan selalu menjadi hantu bagi dirinya untuk melayani dan mengabdi dengan lebih baik dan lebih baik lagi.

Ah, jadi ingat sergahan si Abang tentang kami berdua : binatang idealis di kebun binatang oportunistis...

[katjoengkampret@aol.com]

No comments:

Post a Comment