Thursday, January 26, 2012

Panen Rekomendasi di LinkedIn = Tanda Sinking Ship ?


Titanic masih enak didengarkan theme song-nya serta dilihat lagi film-nya, si cantik Kate Winslet dan si ganteng Leo di Caprio, sudah ada berita baru lagi : Costa Concordia. Cerita tidak persis sama, yang terakhir ini karena keteledoran navigasi yang amit-amit akhirnya kapal pesiar mewah raksasa dari Italia ini menabrak batu karang besar (yang sudah ada di tempatnya itu sejak lama sekali pastinya kan ?) dan karam, menyisakan cerita pedih saat evakuasi dan belasan korban yang hilang dan belasan lain yang tewas. Sedihnya lagi, kapal modern ini karam hanya karena si kapten berlayar keluar jalur sekedar untuk "menyapa" orang di pantai....

Sambil makan siang di meja kerja, sebuah pesan masuk di telepon saya. Pesan di blackberry messenger dari rekan kerja, seorang eksekutif yang duduk di ruang kerjanya sejarak empat ruang saja dari ruangan saya. Isinya : sebuah pertanyaan yang lucu, "Apa benar company kita sudah termasuk sinking boat?"

Sambil tertawa, dan bikin saya tersedak makanan, saya reply "kenapa nih koq nanya begitu ?".

Dijawab lebih lucu lagi olehnya : "banyak yang update profile di LinkedIn, banyak juga yang hunting rekomendasi via LinkedIn".

Sampai di sini sudah tidak lucu lagi menurut saya. Saya memang sempat membuat analisa ringkas soal kondisi perusahaan dan uraikan what's wrong and what's right, serta buat kesimpulan akhir bagaimana harusnya kami melangkah ke depan supaya jadi lebih baik. Namanya juga komentator, selalu saja merasa dia lebih benar dan paling tahu situasi di lapangan... namun tidak urung pertanyaan kawan saya tersebut mengingatkan kembali pemikiran saya sembilan bulan yang lalu tersebut.

Perusahaan kami memang sedang ada masalah, dan itu wajar-wajar saja. Sekilas pun tidak tampak sebagai masalah besar, setidaknya itu yang tertangkap dari sisi eksternal. Tentu sejumlah informasi internal yang kami miliki (dan confidential tentunya) tidak sesederhana itu, tetapi juga bisa jadi tidak parah-parah amat. Namun saat kita bicara mengenai manusia-manusia di dalamnya, dengan aneka watak, latar belakang serta ambang aman (security level) yang berbeda, maka tidak ada lagi hal yang sederhana dan harus 100% logis.

Saya sepakat dengan penilaian kawan saya bahwa apa yang terjadi dengan kolega-kolega kami yang melalui situs media sosial bagi profesional, LinkedIn, mencari rekomendasi profesional serta memperbaharui profilnya, menjadi suatu penanda adanya krisis dan sesuatu yang mungkin mencederai security level mereka. Sayangnya, seringkali manajemen puncak dan apalagi pemegang saham, lebih banyak gagal menangkap gejala ini sehingga terlambat atau bahkan tidak bereaksi sama sekali untuk melakukan langkah kuratif dan preventif.

Saya mengharapkan opini dan komentar rekan-rekan sekalian. Silakan kontribusi dan buah pikirannya dibagi di sini.

On twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Tuesday, January 17, 2012

Unit Pelayanan Nasabah Sebagai Unit Tempur Garis Depan


Selamat pagi rekan-rekan, sudah dua hari ini cuaca cerah, semoga tidak terlalu sering hujan karena susah juga bukan memastikan baju-baju kita kering tepat pada waktunya ?

Bicara hari yang cerah, kemarin kecerahan itu diwarnai berita gembira mengenai seorang kolega kami, profesional di unit layanan nasabah, yang mengundurkan diri, menjelang masa baktinya yang akan segera mencapai 2 digit tahun. Luar biasa bukan ? Pasti sesuatu tantangan dan stimulus yang luar biasa menggoda di luar sana yang membuat ia merasa rela-rela saja korbankan masa kerjanya dan rutinitas yang jadi bagian dari hidupnya selama hampir sepuluh tahun. Benarkah demikian ?

Seringkali kita terlalu cepat mengambil keputusan. Begitu pula dalam hal ini, seolah kita lupa bahwa saat seseorang meninggalkan organisasi, ada "pull" dan "push" factor. Dari sisi yang kita lihat, secara refleks kita menyimpulkan "pull" factor yang dominan : tawaran kerja menggiurkan di luar, gaji lebih besar, fasilitas lebih berlimpah dan bisnis lebih moncer.. Rupanya tidak selalu demikian. Kawan kita ini merasakan "push" factor sebagai hal yang membuatnya mengambil keputusan, sekalipun sesungguhnya ia sudah digoda oleh "pull" factor sejak lama. Ada apa ?


Kawan ini mempersoalkan tiga hal yang menjadi penyebab olengnya rasa percaya dirinya sebagai karyawan terhadap perusahaan dan sistem yang diterapkan. Pertama, komitmen perusahaan akan pengembangan karyawan, baik dari aspek pendanaan, dukungan dan insentif pengembangan diri, serta kesempatan yang dibuka untuk pengembangan diri. Kedua, masalah kepemimpinan, dimana pola kepemimpinan berubah secara evolutif, perlahan dan tahu-tahu ia merasa segala sesuatunya sudah berubah banyak, karyawan tidak lagi dianggap aset tapi sebatas pekerja, alat produksi semata. Ketiga, arahan bisnis yang tidak menentu arah, terlalu sering berubah sehingga sebagai pihak yang melayani nasabah, ia merasa kesulitan dan tidak memperoleh kepastian atau kesinambungan akan proses yang harus dijalani dalam melayani nasabah dengan baik.

Saya sering menganalogikan bahwa unit sales dan customer service, sesungguhnya adalah satu. Customer Service, pelayanan nasabah, seyogyanya mencakup layanan kebutuhan nasabah, baik berupa penjualan, penanganan transaksi maupun penanganan keluhan dan kebutuhan informasi. Dua hal yang menjadi faktor deterministik adalah keberadaan unit ini di garis depan, lebih depan dari unit manapun yang ada di perusahaan, serta keberadaan unit ini dalam menentukan aspek finansial perusahaan, langsung maupun tidak.

Dalam menangani orang-orang "tempur" yang ada di garis depan, kita hanya harus memastikan tersedianya empat hal berikut ini :
  1. Ketersediaan program pelatihan yang cukup dan terus menerus
  2. Ketersediaan sarana dan peralatan kerja yang memadai
  3. Ketersediaan pasokan motivasi dan reward
  4. Ketersediaan informasi dan korelasi kerja dengan tujuan perusahaan

Unit sales maupun pelayanan nasabah harus terus menerus diasah, dilatih dan dipersiapkan tanpa mengenal lelah, mereka adalah pasukan tempur. Mereka ada di garis depan, dan seringkali mereka diharuskan berhadapan dengan situasi yang bahkan berada di luar jangkauan nalar CEO sekalipun. Maka, persiapan yang matang adalah kunci awal kesuksesan. Menahan atau membatasi peluang pelatihan sama saja dengan bunuh diri bagi unit tersebut dan perusahaan. Di samping itu, pelatihan bisa berfungsi sebagai mekanisme reward.

Apakah staff sales dan pelayanan nasabah kita adalah Rambo yang bermodal golok dan panah api bisa membunuh puluhan musuh ? Buang jauh-jauh anggapan itu. Mereka orang biasa, dan perlu dilengkapi dengan sarana dan peralatan kerja yang memadai. SIstem yang canggih dan akurat, down time yang minimal, screen yang mudah dibaca dan diakses, serta prosedur kerja yang jelas, aksesibel dan memiliki jejak perubahan yang mudah ditelusuri, adalah sedikit dari kebutuhan peralatan kerja yang wajib tersedia di garis depan.

Berurusan dengan manusia adalah bagian tersulit dari suatu pekerjaan. Apalagi jika diposisikan kita sebagai provider dengan segala keterbatasan ruang gerak. Itulah posisi yang dimiliki dan dijalani petugas layanan nasabah. Motivasi tiada henti, yang tulus dan bersifat mendukung, adalah kunci kesediaan para manusia biasa-biasa untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Demikian pula program reward yang positif dan konstruktif, harus menjadi faktor komplemen dari program pengembangan karyawan dan program motivasional. Reward tidak harus selalu berupa materi. Recognition atau "perlakuan khusus" secara temporer sudah menjadi suatu hal yang berarti : bagaimana misalkan seorang karyawan terbaik bulan lalu diperkenankan untuk berbusana casual selama satu minggu ? Tidak mahal dan tidak sulit, tetapi bisa memberikan dampak psikologis yang berarti bagi staff.

Hal yang paling membingungkan adalah saat kita tidak tahu apakah kita sudah bekerja dengan baik atau belum, dan apakah hasil kerja yang baik itu akan berarti bagi kemajuan perusahaan ? Bagi unit kritikal seperti sales atau customer service, harus ada penetapan Key Performance Indicator yang tegas, yang stimulatif performa terbaik dan relevan dengan kemajuan yang diperoleh perusahaan. Indikator sukses seperti pangsa pasar, rasio retensi nasabah, peningkatan pangsa penjualan melalui customer service atau rasio loyalitas pelanggan, adalah sedikit dari contoh yang dapat diberikan.

Mari kita menangkan "pertempuran" dengan pertajam unit tempur di garis depan perusahaan kita ! Penuhi hak-hak mereka dan lihatlah perbedaan pada hasil kerjanya.
Silakan mencoba

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Monday, January 16, 2012

Big Difference : Be a Leader, Not a Boss


BIG DIFFERENCE

The boss drives his men
The leader inspires them

The boss depends on authority
The leader depends on good will

The boss evokes fear
The leader radiates love

The boss says "I"
The leader says "we"

The boss shows who is wrong
The leader shows what is wrong

The boss knows how it is done
The leader knows how to do it

The boss demands respect
The leader commands respect

So be a leader, Not a boss

from "African Laughter"
(Doris Lessing)