Wednesday, December 29, 2010

"Are You Indonesian ?"


Saya menulis ini dari sudut ruangan saya di lantai 9 suatu gedung perkantoran di tepi Jalan Jenderal Sudirman yang terlihat berbeda dari biasanya. Saat saya memulai tulisan ini adalah pukul 16:02, dan tampak dari atas jalan itu sudah lebih padat dari biasanya dengan aksesoris yang tambak berbeda, sekumpulan noktah merah bergerak seirama ke satu arah : ke arah selatan, ke arah Gelora Bung Karno di Senayan. Ijinkan saya ceritakan pengalaman yang baru saya lalui sejak dua jam lalu.

Dua jam lalu, saya bergegas menuju Pacific Place, mall megah di seberang Gelora, untuk dua tujuan : membetulkan Blackberry saya yang hang, dan memarkir titip mobil saya. Beberapa menit sebelumnya saya peroleh informasi bahwa aparat akan mengosongkan area di sekitar Gelora sebagai antisipasi kerusuhan sebagai akibat pertandingan sepakbola final AFF Cup antara Tim Nasional Indonesia melawan Malaysia. Dan memang jika melihat apa yang ada di dunia maya, aura permusuhan dan kebencian yang amat sangat sudah tercium dengan begitu jelasnya. Saya rasa tindakan aparat sudah tepat dan amat patut diberi apresiasi. Ketimbang pusing tidak bisa pulang, saya titipkan mobil saya sehingga nanti cukup dengan bus Transjakarta atau ojek saya bisa ke Pacific Place dan kabur lewat jalan Senopati. Itu plan saya. Semoga berhasil, kita buktikan dua jam lagi.

Sewaktu tulisan ini saya buat, kita semua, dua ratus juta lebih insan berkebangsaan Indonesia, belum tahu apa yang Allah rencanakan untuk simbol kebanggaan bangsa ini : Tim Nasional Sepakbola Republik Indonesia, atau kita singkat saja "Timnas". Semoga perjuangan mereka diganjar dengan kemenangan dan kejayaan atas Malaysia. Namun yang ingin saya ceritakan adalah betapa saya merasa dada saya seperti ingin meledak melihat aneka pemandangan dalam dua jam terakhir.

Seselesainya memarkir kendaraan di basement, saya bergegas ke service center yang dimaksud, di lantai 3 mall tersebut. Sepanjang jalan, eh sepanjang eskalator juga, dengan mudah saya menemui ratusan wajah, umumnya kalangan berpunya, yang sedang berfoto, cuci mata, berbelanja dan bercengkrama. Tampak mereka berasal dari aneka kelompok etnis, namun tampak dominan adalah pengunjung dengan corak oriental khas etnis keturunan Tionghoa. Satu hal yang menyamakan ratusan manusia tersebut : mereka mengenakan aneka atribut dan busana berwarna merah. Pemandangan ini tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya, seorang WNI asli yang lahir dan besar di Indonesia.

Tiga puluh menit kemudian, urusan saya selesai. Saya putuskan untuk sedikit abaikan urusan di kantor yang memang sudah sepi karena akhir tahun. Saya putuskan tidak naik taksi dan pilih kendaraan umum sembari melihat-lihat situasi. Saya memilih pintu keluar yang berhadapan dengan gedung Bursa Efek Jakarta. Tampak pemandangan baru lagi yang di luar nalar saya selama ini : belasan, bahkan puluhan karyawan dan karyawati berebutan pesanan kaos Timnas berwarna merah menyala itu dan mengenakannya. Yang perempuan tentu saja mendobelnya dengan pakaian kerja mereka setelah melepaskan vest atau busana luar mereka. Sementara yang pria ada yang mendobelnya dan ada pula yang dengan cuek melepas dasi dan kemejanya, lalu mengenakan kaos yang baru saja dibeli secara kolektif oleh seorang kawan mereka. Di latar belakang, tampak ratusan orang berjalan dari arah SCBD menuju Senayan sambil terus mengepalkan tangan, menyanyi dan berteriak seirama "Indonesia", atau "Menang", atau "Garuda Di Dadaku".

Saya begitu kehausan sehingga setelah menyeberang saya duduk di trotoar di sisi gedung Bursa Efek dan membeli minuman botol dingin. Tampak dua anak muda dekat saya yang juga mengenakan kaos replika Timnas (tanpa logo swoosh Nike dan kualitasnya begitu ketara palsunya) yang memandang ingin. Saya tawarkan untuk mengambil, dan mereka mendatangi saya, mengambil sebotol air mineral dingin. Di luar dugaan saya, ada lima orang lain seumuran yang datang dan bergantian meminum air mineral tersebut. Mereka setelahnya mengucapkan terima kasih dan tidak lupa berteriak "Indonesia!". Juga tidak lupa seseorang berkata, "doakan Timnas Bang, kami haus kemenangan". Saya hanya tersenyum dan mereka pun menghilang di sisi jalan yang lain.

Rupanya saya tidak sendiri. Sekumpulan anak muda karyawan itu duduk segaris dengan saya dan juga tampak sedang minum sembari bergantian berfoto dengan busana canggung : atasan kaos sepakbola dan bawahan busana kerja yang tampak amat resmi. Tapi mereka tampak tidak peduli dan juga tidak ada seorang pun yang peduli. Sebelah saya ada seorang bule berusia lima puluhan, tinggi besar dan berewokan ala Hell Angels mengenakan jaket kulit. Dia mengambil air mineral dan bertanya ke saya "Are You Indonesian friend ?". Saya hanya tersenyum dan menjawab "Sure, I am", segera dia menyergah, "why don't you just jump in with us all to that arena?" sambil menunjuk arah Gelora yang kubahnya jelas tampak dari tempat kami. "Sorry, I will watch from TV, I need to go back to my office", sahut saya. Dia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan "I am Craig, one hundred percent Scottish inside (menunjuk ke dadanya), but I feel I am Indonesian, twelve years already live in Indonesia, eat and drink Indonesian food and teach Indonesian kids English" serunya sambil terkekeh. Lalu ia membuka jaket kulitnya dan tampak kaos Timnas berwarna merah (ini yang asli... ). I never feel like this in my home town, it is crazy friend, look at them, it is crazy, Indonesia is a great country, great people". Dia terus mengoceh....

Saya berjalan ke arah halte busway di seberang Gelora. Tampak jalanan dan jembatan penyeberangan sudah penuh dengan manusia berbusana serba merah. Dari aneka golongan, tua muda bahkan anak-anak, lelaki perempuan, kaya dan miskin, tampak jelas dari potongan mereka namun semua menuju arah yang sama. Polisi tampak mulai kerepotan mengatur lalu lintas yang memadat dengan cepat. Dan tidak ada hentinya saya melihat belasan taksi serta kendaraan, termasuk kendaraan mewah yang berhenti untuk menurunkan beberapa orang, lelaki dan perempuan muda, dengan busana Timnas dipadukan dengan riasan dan aksesoris yang menunjukkan kelas sosial mereka. Lalu mereka menyeberang dan berjalan ke arah Gelora pula...

Di halte busway, tampak begitu padat aliran manusia yang datang dari bus yang tiba dari arah Blok M maupun Kota. Nyaris semuanya mengenakan atribut dan kaos replika Timnas. Suara terompet, teriakan dan nyanyian mereka tampak tidak ada putusnya. Seorang dari mereka saya sapa dan berceloteh, "Gue gak peduli mau nanti kalah sepuluh kosong, itu kebanggaan kita, harus didukung, biar mampus Malaysia, Nurdin turun, bubar PSSI" umpatnya. Tampak jelas kecintaan akan Timnas-nya dan kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Dari tempat saya menunggu, tampak satu keluarga, bule, bapak ibu dengan tiga anak tanggung, kelimanya mengenakan kaos Timnas, berjalan dari arah Hotel Sultan menuju pintu Gelora, salah seorang anaknya meniup terompet sekeras-kerasnya dan terdengar oleh saya di seberang jalan yang sedemikian berisiknya.

Tiba-tiba saya sadar, saya menyesal tidak bisa memutuskan untuk bersama mereka. Saya ingin jadi bagian dari mereka. Bukan karena sepakbolanya. Sudah lama bangsa ini tidak sedemikian bersatunya untuk satu hal. Ijinkan saya tunaikan shalat Ashar, dan Insya Allah saya akan doakan tiga hal : semoga Timnas Indonesia menang di dalam dan di luar lapangan (tidak ada penodaan dan kerusuhan oleh pendukung), semoga bangsa Indonesia tercinta terus dapat bersatu seperti ini terus, dan semoga bangsa Indonesia dikaruniai kejayaan yang tak terputus bukan hanya di arena sepakbola tetapi di arena apapun. Amiin.

Are you Indonesian ?
Yes, I am Indonesian. And I am very proud to be Indonesian.

-Jakarta, 29 Desember 2010, 16:40 WIB

Friday, September 17, 2010

Karir Macet (3) : 10 Tanda Karir Anda Macet (Total)


Bagian terakhir biasanya diharapkan happy ending. Sayang sering juga ada cerita atau tulisan yang sad ending. Mungkin ini satu diantaranya. Bagian terakhir ini coba kasih info mengenai 5 tanda-tanda lain bahwa karir anda ada masalah kemacetan yang akut dan kronis. Artinya perlu segera dilakukan langkah penyelamatan. Apa saja ? Langsung aja yuk..

Enam : 8 dari 10 rekan gaul anda saat ditunjukkan struktur organisasi anda memberikan komentar yang "aneh". Tidak harus rekan gaul saja, bisa pula berarti istri atau suami anda, saudara anda, orang tua anda, pada saat mereka anda tunjukkan (baik sengaja maupun tidak) posisi anda di perusahaan melalui organization chart, memberikan komentar yang aneh atau tidak anda diharapkan.
"Wah jauh amat kamu dari posisi boss". Atau "Walah, kamu ada dimana nih ?". Atau "Wah rupanya si X sekantor ya sama kamu ? Hebat ya dia sudah jadi Manager". Atau "Sudah berapa lama sih kamu di company ini ?". Paling parah kalau sampai dapat komentar "Apa sih yang kamu tunggu atau kamu harapkan disini ?".
Semua komentar itu tidak bisa dianggap sepele. Secara sadar atau tidak, mereka tengah memberikan penilaian jujur tentang kemacetan total di karir anda. Anda sedang dilihat sebagai seseorang yang cuma membuang waktu dan kesempatan di tempat yang tidak memungkinkan anda berhasil. Anda harus segera pergi menurut saya jika alami komentar yang demikian dari orang yang tidak bermaksud menjatuhkan anda. Percayalah, sesungguhnya mereka secara tidak sadar sedang menyelamatkan karir anda dari kehancuran lebih parah.

Tujuh : Semakin sulit dan berbelit-belit respon yang anda terima saat meminta penggantian staff atau tambahan staff. Masih ingat di bagian kedua saat perusahaan bergerak dengan lebih cepat, lebih gesit dan lebih lincah sehingga semua harus ikut bergerak seirama menuju tujuan yang diharapkan ? Tiba-tiba staff anda cuti panjang melahirkan. Atau mengundurkan diri karena ikut suaminya ke kota lain. Atau keluar karena mendapat tawaran yang luar biasa di kompetitor. Atau habis masa kontraknya. Atau diterima untuk bekerja di unit lain dalam perusahaan yang sesuai bidang studinya.
Bagaimana dengan anda ? Minta penggantian dong... atau malah bisa jadi anda minta tambahan karena memang volume transaksi yang anda kendalikan bertambah. Sayang, anda ditolak. Parahnya, anda merasa penolakan itu tidak tulus dan berbelit-belit. Kinerja anda pun mulai terganggu karena terjadi down capacity. Nobody cares... anda sendirian.
Itulah sinyal keras bahwa anda harus pergi. Anda tidak lagi penting. Unit anda mungkin masih penting, itulah sebabnya tidak dilikuidasi. Tapi anda dianggap sebagai beban bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan meminta kompensasi ke anda berupa penghematan yang bisa jadi tidak rasional lagi menurut anda : pengurangan headcount secara halus. Yang pergi tidak lagi diganti. Percayalah, begitu anda keluar, dan cash flow perusahaan berarti berkurang bebannya, jumlah staff baru yang disuntikkan ke unit anda akan ditambah bahkan melampaui jumlah yang anda minta sebelumnya. Masalahnya bagi perusahaan memang cuma satu : Anda. Anda pergi, masalah selesai. Habis cerita.

Delapan : Semakin mudah untuk kabur dari kantor, semakin tidak dicari-cari, dan semakin tidak menumpuk pekerjaan yang anda tinggalkan. Betapa nikmatnyaaaa, pilek sedikit dan malas ke kantor, tidak ada yang menelpon anda dari kantor. Esok hari anda masuk sambil bertanya-tanya "ditanyain apa ya gue nanti di kantor" dan siapkan aneka jawaban (yang pastinya ngibul). Tapi sampai sore dan pulang, tidak ada yang bertanya. Semua terasa normal dan seperti tidak ada apa-apa.
Itulah pertanda Anda sedang menjadi orang yang spesial ! Spesial bukan karena dibutuhkan. Tetapi spesial karena kepergiannya diharapkan, disadari ataupun tidak. Itulah pertanda bahwa "ada atau tidak ada anda, perusahaan jalan terus tanpa gangguan". Menyedihkan ya ?
Lebih hati-hati lagi jika ada sinyal tambahan : tumpukan pekerjaan di meja justru tidak tampak setelah anda kabur. Artinya, benar-benar keberadaan anda memang tidak penting.

Sembilan : Hidup anda relatif damai dan tenteram di kantor, tetapi tiap ada masalah, anda lah biang keroknya. Masih soal hidup bahagia, nyaman tenteram, duduk manis atasi rutinitas hidup di kantor dengan target rendah dan tanpa gangguan dari atasan yang rewel. Tetapi, tiba-tiba produk baru yang diluncurkan minggu lalu dihentikan karena bermasalah. Dan dalam sekejap sejumlah pihak mulai bicara ke anda "Kamu sebaiknya mulai cari cara untuk atasi masalah tersebut", atau "Kalau semua kerja lebih keras dan tidak terpaku ke hal rutin, semua ini bisa dihindarkan dan diantisipasi". Selamat ! Anda telah ditahbiskan sebagai Kambing Hitam Tahun Ini (The Scapegoat Of The Year).
Mengapa anda ? Karena sejak awal, tanpa anda sadari, semua sudah sepakat anda adalah beban dan tidak seharusnya anda ada disitu. Jadi tinggal tunggu golden moment untuk timpakan semua ke anda. Toh kalau anda pergi tidak ada pengaruhnya bagi produk tersebut, lha wong memang anda tidak ada kaitannya dengan produk itu sebenarnya.

Sepuluh : Anda semakin jarang diundang ke acara kantor, atau business dinner, atau management round table meeting. Di posisi tertentu, jamak dilakukan pengelolaan bisnis secara internal melalui aneka gathering, business dinner, breakfast meeting, management round table meeting hingga teleconference atau webmeeting. Dan anda cuma menyaksikan saja seperti halnya anda menyaksikan e-Business World channel di TV Kabel. Sebatas peragaan kecanggihan teknologi dan unjuk kebolehan berbicara manusia lain.
Selamat ! Sekali lagi anda terpilih menjadi penonton di era kemajuan pesat perusahaan. Artinya, segera setelah masa berlaku tiket anda habis, anda harus enyah. Mengapa tidak sebaiknya anda pergi sebelum diusir ? Cepat atau lambat, halus atau kasar, jika anda tidak lagi diikutkan di momen-momen tersebut, anda sudah berada di luar pusaran kekuasaan (circle of power) perusahaan. Pusaran itu tempat mengalirnya aneka update dan informasi bisnis untuk diolah menjadi suatu keputusan bisnis. Dan anda tidak dilibatkan di dalamnya. Anda kering kerontang sementara semua orang hanyut di pusaran. Time to move out. Cari tempat lain yang bisa memberi anda pusaran yang bisa anda nikmati.

Semakin jelas ya ? Semoga anda semua (dan juga saya) mampu membaca tanda-tanda karir macet ini dengan seksama dan bijaksana. Semoga sukses dan selamat berakhir minggu !

[katjoengkampret@aol.com]



Karir Macet (2) : 10 Tanda Karir Anda (Memang) Macet !


Banyak amat sampai ada 10 tanda ? Ya tidak perlu ada semuanya sih untuk simpulkan karir anda (memang) macet, tapi kalau ada empat atau lima, itu sudah hampir pasti anda memang terjebak di kemacetan karir. Kalau lebih dari lima ? Wah kemacetan yang anda alami setara dengan macet karena banjir di jalan tol Bintaro. Nyaris no way out... !

Apa saja kesepuluh tanda kiamat kecil di perkembangan karir anda tersebut ? Lima yang pertama saya coba sajikan, kelimanya terkait dengan apa yang anda peroleh selama ini dari perusahaan. Lima lainnya akan saya sajikan kemudian karena saya coba kelompokkan secara berbeda. Mari kita lihat lima yang pertama yang mungkin sudah akrab dengan anda.

Satu : Tiga Tahun Berturut-turut Kenaikan Gaji Anda Sebatas Pemenuhan COLA atau Kompensasi Inflasi. Ini gejala akut loh... Ekonomi mulai bergulir dan Indonesia relatif sudah lebih teruji saat ini. Tidak ada lagi alasan manajemen sampaikan ke karyawan "Perusahaan Lagi Krisis". Jadi, kalau sampai tiga tahun berturut-turut salary increase anda cuma berkisar 5-8% per tahun (yang mana inflasi kita akhir-akhir ini konstan di 6-7% per tahun), maka sesungguhnya itu bukanlah "The Real Salary Increase". Itu adalah sekedar kompensasi atas turunnya daya beli anda karena terkena inflasi, alias sebenarnya tidak ada kenaikan gaji. Penyesuaian ini sering disebut COLA (cost of living adjustment).
Jika anda alami ini secara konstan, percayalah, anda dibohongi jika dikatakan perusahaan sedang krisis. Anda lah yang sedang dalam krisis. Kemungkinannya cuma dua : anda memang tidak perform, atau anda sudah ketinggalan "kereta". Intinya, anda sudah tidak masuk ke rencana jangka panjang perusahaan. Anda sebaiknya pikirkan untuk ambil tindakan yang tepat sesegera mungkin.

Dua : Tiga Tahun Berturut-turut Tidak Ada Perubahan Berarti Dalam Exposure atau Scope of Responsibility Anda. Ini nyaris sama persis dengan tanda-tanda di atas, anda sudah tidak lagi masuk sebagai bagian dari rencana strategis perusahan. Untuk itu, bagi perusahaan anda akan dipandang sebatas "sudah bagus kamu ada pekerjaan dan dapat gaji". Seringkali orang merasa jumawa, nyaman dan aman jika tidak ada perubahan berarti dalam job descriptionnya, dalam scope of responsibility atau dalam work exposure yang dibebankan perusahaan ke dirinya. Sebenarnya itu adalah pesan perusahaan secara halus : Anda tidak kami perhitungkan lagi. Tentu jika anda orang yang potensial, aset penting perusahaan dan dipandang sebagai motor penggerak pertumbuhan perusahaan, tiada hentinya tambahan exposure baru diberikan ke anda, juga tambahan job description serta scope of responsibility yang meluas. Bayangkan selama tiga tahun pekerjaan anda itu-itu saja, KPI tidak kunjung dikembangkan atau dielaborasi padahal sudah tercapai sejak lama, artinya secara profesional anda dianggap sudah tidak eksis atau sekedar pelengkap penderita. Time to think and to go !

Tiga : Tiga Tahun Berturut-turut Nama Anda Tidak Tercantum Dalam Promotion List Atau Nominasi Proyek Penting. Perusahaan bergerak cepat, perusahaan bergerak gesit menangkap aneka peluang bisnis baru, perusahaan bergerak lincah menyesuaikan diri dengan dinamika pasar dan industri yang digeluti. Berhenti sampai disini ? Pastinya tidak. Orang-orang di dalamnya akan dipaksa dan terbawa untuk ikut bergerak cepat, bergerak gesit, dan bergerak lincah. Wadah yang bergoyang maka air di dalamnya ikut bergetar bukan ? Sayang, di aneka proyek itu nama anda tidak kunjung muncul. Semua orang silih berganti keluar masuk di project member dan mengantungi rekognisi atas pencapaian di proyek-proyek tersebut, sementara anda masih berkutat dengan daily work anda yang itu-itu saja sejak beberapa tahun lalu. Pesannya cukup jelas dan lugas : anda bukan bagian dari segala strategi penting dan jangka panjang perusahaan. Anda terjebak di kemacetan karir ! Dan sudah bisa dipastikan, anda akan diam di tempat.
Berhasil atau tidak, kesempatan terlibat di proyek strategis adalah assessment maha manjur untuk mengetahui potensi seseorang. Jika berhasil maka diperoleh pengujian yang sahih akan kemampuan orang tersebut. Dan jika pun gagal maka bisa diketahui bahwa orang tersebut tidak sesuai untuk job itu dan harus dicarikan job lain yang lebih memungkinkan dirinya berhasil. Lalu bagaimana jika tidak kunjung diujicoba di proyek strategis ? Artinya tidak ada gunanya menguji anda atau mengetahui kelebihan-kekurangan dan potensi anda. You are dead !

Empat : Dua Tahun Terakhir Nama Anda Tidak Didaftarkan Di Pelatihan Atau Program Pengembangan Yang Strategik. Sama seperti uraian di atas, saat perusahaan bergerak cepat, bergerak gesit, dan bergerak lincah, semua di dalamnya diharapkan ikut bergerak seirama bersinergi menuju arah perubahan yang dituju. Pelatihan dan Pengembangan menjadi salah satu kunci untuk memberikan pembekalan, kesiapan dan keahlian yang dibutuhkan dalam merealisasikan tujuan baru tersebut. Aneka nama training yang belum atau jarang anda dengar dalam dua atau tiga tahun terakhir, tiba-tiba menjadi hot topic di kantor terutama di kolega-kolega peers anda. Lalu dimana anda ? Oooow, anda rupanya ada di sudut duduk manis mengerjakan pekerjaan rutin anda. Atau, satu dua kali anda dikirimkan ke pelatihan namun pelatihan internal dengan topik yang usang atau sudah anda hafal semata karena anda harus memperoleh "penyegaran", demikian pesan suci dari bagian SDM anda. Sadarilah, anda sedang disuruh menjadi penonton dari segala hiruk pikuk pergerakan yang terjadi di kantor. Jika pun anda hendak melangkah keluar, anda tidak memiliki kualifikasi ekstra sebagaimana orang-orang yang anda tonton tersebut, kualifikasi anda sebatas kualifikasi kerja rutin anda selama ini. Tapi tetap, di luar bisa jadi lebih menjanjikan ketimbang anda terus duduk manis tanpa harapan di dalam.

Lima : Dua Tahun Terakhir Target Kerja Anda Tidak Meningkat Secara Signifikan, Bahkan Di Bawah Target Umum Perusahaan. Saat perusahaan berkembang dan bergerak cepat, target meningkat drastis dan produktivitas seolah menjadi mantra suci. Target tahun lalu seribu maka tahun ini menjadi dua ribu. Bagaimana dengan anda ? Anda hanya ditarget seribu. Atau misalkan ada pertumbuhan, hanya sedikit, anda hanya ditarget seribu dua ratus. Tahun berikut, semua bertumbuh dua ratus persen targetnya, dan semua teriak-teriak mau mati karena target yang agresif, eeh anda seolah menjadi orang suci yang kebal masalah, karena target anda masih sama dengan tahun sebelumnya.
Anda benar orang suci kebal masalah ? Salah besar. Anda sesungguhnya tengah menjadi orang sial kebal promosi. Anda terabaikan dan sebenarnya terusir secara halus.

Tanda-tanda di atas sudah cukup ? Belum... masih ada lima tanda lain yang akan anda temui di bagian ketiga tulisan ini. Silakan renungkan lima tanda di atas dan sabarlah saya menyiapkan bagian pamungkas rangkaian tulisan ini untuk anda.

[katjoengkampret@aol.com]

Karir Macet (1) : Grade, Package dan Exposure


Sering kita bertemu dengan rekan, atau malah kita alami sendiri, keluhan "wah karir gue macet".. Seperti halnya naik mobil dan kena macet di jalan protokol, situasi ini sebenarnya sama persis : bikin frustrasi, tidak mengenakkan tapi harus dijalani, dan sebenarnya situasi yang bisa diantisipasi atau diidentifikasi gejalanya.

Nah, saya terpikirkan situasi ini dan bagaimana cara mengidentifikasinya, terutama mengingat bahwa saat ini saya mungkin ada di situasi ini, dan sebelumnya pun pernah alami situasi ini, alhamdulillah saya berhasil lolos. Saya coba berbagi sedikit kiat yang mungkin bisa bantu teman-teman semua yang ada di situasi ini untuk ambil tindakan cepat.

Pertama, saya sangat ingin sampaikan bahwa ada kemungkinan mayoritas kita semua tidak tahu cara mengukur keberhasilan karir menurut ukuran yang umum digunakan. Saya berpendapat career is not just about money or title. Motivator Rene Suhardono malah mengatakan dalam bukunya "Your Job Is Not Your Career". Secara ringkas, ukuran kemajuan karir dapat disimpulkan dari tiga ukuran : Grade, Package, Exposure.

Grade adalah cara termudah mengukur kemajuan karir kita, disini terkandung unsur title, posisi, otoritas, job description, dan tentunya gengsi atau pride. Mudah bukan untuk menilai seseorang yang berposisi sebagai manajer sebagai orang yang karirnya lebih maju dibanding teman sekelasnya yang saat ini masih berposisi sebagai koordinator ? Package, adalah apa yang kita peroleh secara nyata, mudahnya ini menyangkut gaji, tunjangan, fasilitas-fasilitas, dan tentunya social recognition seperti halnya business dinner, club membership dan sebagainya. Exposure, ini yang sulit diukur dan memang orang pun tidak banyak tahu tentang exposure kita, tapi ini adalah ukuran yang amat manjur untuk menilai situasi karir kita. Exposure menyangkut expertise, specific skills, generic skills, reputasi, pengalaman, dan professional qualifications.

Pernah mendengar kan calon gubernur misalnya dari ex anggota TNI, disebutkan bahwa bapak X adalah purnawirawan jenderal bintang 2, dan pernah bertugas sebagai Panglima Kodam di daerah Y, lalu pernah bertugas tempur di (misalnya) Papua, Timor Timur, dan menjadi anggota pasukan penjaga perdamaian. Jenderal itu posisi penting, itu grade, semua juga tahu. Berapa gajinya (dan juga selepetannya) itu juga bisa menjadi rahasia umum. Tapi exposure-nya ? Belum tentu orang tahu. Dari uraian di atas setidaknya saya bisa simpulkan bahwa Bapak X berpengalaman jadi komandan, ahli memimpin pasukan, pengalaman tempur di daerah hutan rimba, tempur di daerah panas kering dan terbuka, serta ahli diplomasi dan setidaknya ahli berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Itulah exposure beliau. Dari mana saya tahu ? Coba anda cari tahu dari mana saya bisa tahu.

Jika saya beranggapan Bapak X bisa dipertimbangkan jadi seorang Gubernur, pertimbangan itu bukan berasal dari Grade apalagi Package beliau. Tapi dari exposure yang dimiliki. Bahwa beliau berpengalaman bertugas di daerah dan berinteraksi dengan berbagai kalangan, punya pengalaman manajerial lapangan maupun administrasi yang teruji, punya keahlian diplomasi dan komunikasi yang baik, itulah kelebihan beliau.

Tugas anda sebelum menilai karir anda macet atau tidak adalah menentukan apa-apa saja exposure yang sudah anda miliki, yang belum anda miliki dan yang harus anda miliki.

Jika sudah anda lakukan, baru anda bisa menentukan assessment berikutnya dan melangkah lebih jauh dengan mengambil tindakan yang penting bagi karir anda. Tunggu saya di lanjutan dari tulisan saya ini : 10 tanda-tanda karir anda (memang) macet.

Have a nice day !

[katjoengkampret@aol.com]

Thursday, September 16, 2010

Kembali Ke Kampus


Libur lebaran kemarin menjadi hari yang kurang sip bagi saya, bukan hanya karena saya merasa demikian lelah harus menjadi 'supir taksi' di lima hari tersebut namun juga saya terkena musibah. Entah bagaimana gigi geraham saya pecah, konsultasi cepat dengan adik saya, seorang dokter gigi, menunjukkan ada hal serius dan dia minta saya datang ke prakteknya di RSCM untuk bertemu rekannya yang punya spesialisasi soal masalah saya. Singkat kata, setelah setahun, saya kembali ke kampus tercinta. Sebagai alumni Universitas Indonesia di Depok, memang kampus Salemba tidak begitu akrab, namun saya habiskan dua tahun yang menarik untuk menempuh program magister saya bersama istri. Apa hubungannya ? Ya saya terpaksa parkir di UI karena parkir di RSCM menyulitkan, dan memang kampus UI Salemba terhubung dengan RSCM.

Di kesempatan ini, ada dua pengalaman menarik. Pertama, pertemuan saya dengan seorang senior saya, yang kemudian setelah relasi kami di kampus UI Depok terhenti karena kelulusannya beliau dipertemukan dengan saya kembali di kampus UI Salemba saat saya melanjutkan kuliah. Beliau telah menjadi doktor saat itu dan mengajar di sana. Relasi kami bukan hanya sebagai sahabat dan rekan diskusi, namun juga sebagai mentor dan bahkan dosen. Beliau luar biasa cerdas, berani, lugas dan yang paling mengesankan saya, amat bersahaja. Sulit bagi saya melepaskan diri dari ingatan tubuh tinggi ramping dengan kemeja lengan panjang tergulung dan celana docker serta sepatu kulit casual menyandang ransel. Berjalan cepat sembari membawa buku dan mendengar musik via earphone. Sosok yang saya sudah kenal dan akrabi sejak awal tahun 1990an.

Beliau memeluk saya dan terlihat amat bahagia, singkat cerita kami saling bertukar berita dan nomor telepon. Kami berencana untuk bertemu kembali di tempat lain. Beliau mensyukuri dan mengapresiasi langkah saya ke kampus untuk meminjam buku ke perpustakaan. Padahal awalnya saya hanya hendak parkir gratis dan nyaman, lalu karena janji dengan adik saya masih satu jam lagi saya hendak duduk santai di ruangan ber-AC, dan pilihan terbaik adalah perpustakaan program magister saya, tempat beliau mengajar. Beliau sampaikan, "kau hebat, anak kota, berhasil, masih kau berhasrat untuk tau banyak dan belajar, biasanya anak kota sok tau dan remehkan pendidikan". Saya hanya sampaikan "Abang itu lah sok tau, baru pula kuliah hidup di Jakarta lalu semua orang kota jadi buruk di mata Abang". Beliau tertawa, kemudian menjadi serius dan menanyakan sesuatu ke saya.

"Kau masih zakat Dik ? Boleh aku tawarkan kau kesempatan beramal serta berbagi rejeki dan kebahagiaan?". Beliau tawarkan saya menjadi donatur tetap di suatu lembaga pendidikan yang rupanya beliau dirikan di kampung halamannya, di Sumatra. Saya terharu. Saya tau sahabat saya ini belum menikah, beliau ingin entaskan adik-adiknya, ada tujuh orang, dan ambil alih tanggung jawab orang tuanya yang memang pas-pasan di kampung. Saya ingat, di rumah kecil yang disewanya di dekat kampus dulu, beliau tinggali bersama empat adiknya yang juga kuliah di UI. Dan di rumah itu pula beliau menerima murid-muridnya, pelajar SMA dan mahasiswa dari kampus lain untuk belajar matematika, fisika dan kimia. Sekarang, si Abang yang sudah melampaui 40 tahun, hidup sendiri karena ketujuh adiknya sudah menikah dan punya anak, kedua orang tua sudah wafat. Dan beliau memilih untuk membesarkan "anak-anak"nya sendiri di kampung halamannya. "Biar cepat lunas hutang abang sama bangsa, udah dibolehkan sekolah di kampus bagus dibayari rakyat".

Sebelum kami berpisah karena beliau hendak mengajar, terucap suatu ajakan, "masih ada waktu Dik untuk bantu aku ? Jika minat, datanglah kesini di sore hari selepas kerja, temui para mahasiswa untuk kuliah umum dengan praktisi, sampaikan apa saja yang kau mau untuk para anak orang kaya yang masih hijau itu, biar mereka menjadi eksekutif yang bermoral saat kembali ke perusahaan orang tuanya kelak". Saya tidak perlu berpikir untuk mengiyakan. Dalam hati, saya malu, akhir-akhir ini saya merasa terlalu sibuk dengan diri saya sendiri dan lupa untuk berbagi dengan orang lain. Saya rasa Allah kirim saya untuk bertemu si Abang untuk sambung silaturahmi dan ingatkan saya kembali mengenai hal tersebut.

Sejam kemudian, hal kedua saya alami. DI RSCM, dunia nyata terus bergerak tanpa terganggu dengan hari raya atau libur panjangnya. Betapa remuk hati saya menyaksikan antrian rakyat yang menanti layanan kesehatan. Sembari berdoa semoga kesusahan mereka tidak bertambah dengan perlakuan buruk atau orang yang berniat kurang baik, saya temui adik saya untuk proses masalah gigi saya. Realita itu berlanjut. Di deretan klinik yang ada, tampak antrian pasien demikian banyak. Tak lama kemudian, saat itu sudah sekitar pukul 10 pagi, di suatu ruangan yang terbuka pintunya, tampak seorang dokter, wanita, duduk dan dipijat seorang pramubakti, ia tampak demikian lelah.. Tidak lama seorang dokter muda masih dengan jasnya, terlihat mendudukkan dirinya dan sudah lelah. Adik saya menjelaskan, "inilah jika dokter menganggap dirinya manusia biasa yang butuh cuti panjang". Rupanya, banyak dokter yang cuti sehingga dokter yang ada bebannya berlipat ganda. Baru dua jam mereka bekerja mereka sudah lelah seperti halnya bekerja setengah hari.

Saya teringat pesan ayah saya saat melepas adik untuk memulai pendidikannya, pesan yang sama diulang saat adik saya hendak diambil sumpah sebagai seorang dokter gigi. Ayah ingatkan bahwa itu adalah pilihannya untuk menjadi manusia yang spesial, spesial karena bekerja dengan cara membaktikan dirinya bagi manusia lain, bagi orang banyak. Ayah minta, sesuai dengan sumpah yang akan diucapkannya, agar adik saya mendahulukan baktinya di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Mengesampingkan imbalan dan materi untuk fokus pada bakti pekerjaannya dan mendahulukan mereka yang membutuhkan pertolongan. Saya ingat, adik saya tidak pernah ambil cuti hari raya di sekian tahun karirnya.

Tiba-tiba pula saya teringat ucapan seorang tokoh yang sudah almarhum saat menjadi pembicara di kampus beberapa tahun lalu, beliau mengatakan bahwa sebenarnya bangsa ini sedang sakit dan pengobatannya perlu waktu lama. Walaupun sulit, tapi masih mungkin diobati dan harus dimulai sesegera mungkin. Lalu siapa yang mengobatinya ? "Kaum Muda" jawab beliau. Syaratnya ? Masukkan tiga hal ke semua kurikulum : Etika, Kewirausahaan, Manajemen Modal Manusia (Human Capital Management). Etika menjadi cermin diri saat jalan kita menjadi limbung, agar tidak salah arah, jatuh dan terjerembab. Kewirausahaan memperluas wawasan dalam menjalani hidup dan merangsang kreativitas dalam menyiasati hidup. Manajemen Modal Manusia, menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam setiap keputusan hidup yang diambil dan menjadikan manusia sebagai agen perubahan di semua lini. Manusia adalah modal (capital) bukan alat usaha apalagi beban.

Dokter yang masih self centric, menjadikan dunia medis sebagai ladang uang bukan pengabdian, dan melihat pasien sebagai kumpulan obyek pekerjaan bagaikan pegawai kelurahan melihat aplikasi perpanjangan KTP di meja pelayanan, sudah pasti kekurangan asupan intelektual dan asupan moral berupa etika, kewirausahaan dan Manajemen Modal Manusia. Jika ketiga hal itu telah mengalir di dirinya, ia akan melihat bahwa tentu tidaklah etis sebagai manusia istimewa dengan keahlian khusus yang dibutuhkan banyak orang yang kesusahan dan menderita, dirinya masih bersikap seperti pegawai biasa dengan hak sebagai manusia normal di masa pelayanan yang tengah kritikal. Juga, dengan semangat kewirausahaan yang baik, ia akan melihat, pelayanan yang lebih baik akan mengedepankan institusi tersebut sebagai pelayan publik sejati yang bisa memiliki inisiatif untuk membuka diri bagi bisnis yang lebih besar berdampingan dengan pelayanan yang sudah ada. Dan, dengan pemahaman akan manusia yang lebih baik, saya yakini, kemaslahatan orang banyak dan kesembuhan orang lain, akan selalu menjadi hantu bagi dirinya untuk melayani dan mengabdi dengan lebih baik dan lebih baik lagi.

Ah, jadi ingat sergahan si Abang tentang kami berdua : binatang idealis di kebun binatang oportunistis...

[katjoengkampret@aol.com]

Wednesday, September 15, 2010

Lima Matra Sukses Dalam Karir

Sulit memang merumuskan apa yang akan membuat karir kita melesat, namun memang banyak pihak menunjuk pada attitude sebagai kunci sukses utama kita dalam berkarir. Pengalaman saya sendiri berkarir selama empat belas tahun di enam perusahaan dan di sebelas penugasan menunjukkan hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Nah sekarang apa gak kurang orang yang ber-attitude bagus namun tersebar di rentang yang luas di jenjang karir ?

Dulu, waktu saya masih kecil dan bersekolah di SD, orang tua saya amat berseberangan. Ibu saya yang lulusan sekolah katholik mewarisi kedisiplinan yang menjadi ciri khasnya. Lakukan yang terbaik di semua bidang yang kau jalani, itu petuahnya. Sebenarnya sejak kecil saya sudah tidak sepakat dengan hal ini, mana mungkin saya Cuma manusia biasa, koq bisa jadi jawara di semua arena ? Jawaban muncul dari celetukan ayah saya, si jenius yang efisien dan smart. Beliau mengatakan pada saya "cukuplah kamu ahli di matematika dan bahasa Inggris, dengan modal dua itu kamu akan sukses". Sesederhana itu, beliau menjelaskan bahwa Bahasa Inggris adalah lingua franca, tiket untuk masuk ke pintu sukses di belahan dunia manapun melalui komunikasi yang baik, dan Matematika adalah tiket untuk memenangkan seleksi di jenjang manapun. Bener juga, mau masuk jurusan Teknik, Sastra, Arsitektur, Kedokteran bahkan Ilmu Agama sekalipun, maka kita akan harus melalui tes matematika…

Makin lama tentu makin gak relevan anjuran bapak saya tersebut, tidak sepenuhnya salah, namun tentu tidak mencukupi untuk bersaing di era sekarang. Maklum bapak saya udah berumur 67 tahun, ada kesenjangan tiga puluh hingga empat puluh tahun membentang dari eranya dengan era kita sekarang. Dari refleksi dan observasi, saya berpendapat, kesuksesan kita dalam berkarir ditentukan dari lima matra berikut ini :

Etika dan Etos. Sulit membayangkan ada orang sukses (di area apapun) tanpa adanya Etika dan Etos. Seorang kawan saya yang nyeleneh bilang "jangankan di dunia halal, di dunia haram aja ada etikanya, coba aja para waria dan PSK yang 'mejeng' di jalan, mereka tidak akan menyerobot 'klien' rekannya". Etika menjadi panji atau bendera yang berkibar untuk kapal reputasi kita. Motornya adalah etos kerja. Kawan saya itu nyeletuk lagi dan gak jauh dari dunia prostitusi, aneh ya ?) "tanpa etos yang bagus ya gak makan mereka, coba aja kalau gerimis dikit gak mau mejeng, ya nggak makan dan orang lain yang dapat langganan". Jangan sampai kita antipati dulu dengan ucapannya, tapi rasakan kebenaran dari celetukannya yang menyebalkan itu. Etos kerja adalah motor penggerak kapal reputasi profesional kita, yang siap digerakkan kemana saja. Etika dipadu dengan etos menjadikan suatu individu memiliki konsistensi dan integritas. Sulit menaklukkan seseorang yang memiliki kedua kualias itu dalam dirinya. Anda mau coba ? Silakan, anda akan kesulitan. Karena sesorang yang memiliki konsistensi dan integritas amat sulit digoyang. Dirinya amat fokus. Juga dirinya amat rendah hati dan terus mengasah diri demi mencapai apa yang dituju.

Kewirausahaan. Semangat kewirausahaan (dan tentunya kemandirian) menjadi komponen utama yang merintis deviasi antara seseorang yang sukses dengan kawanan besar yang tidak sukses. Menjadi pembeda antara "follower" dengan "leader", dan menjadi penggerak "si mandiri" dengan "si parasit". Isu satu ini amat sensitif terutama bagi pemilik badan usaha dan orang-orang dari bagian SDM, mereka cenderung antipati dan curiga "kalau semua orang jadi mandiri dan punya kemampuan wirausaha (entrepreneurship) gak ada yang mau kerja di kantor lagi dong?". Ini sungguh ironis dan fatal. Sulit memperoleh pemimpin yang mumpuni, businessman yang tangguh dan inisiator yang kreatif melihat peluang, jika semangat kewirausahaan dimatikan di suatu entitas. Visi kewirausahaan ini juga penting, mendorong seorang profesional ke batas dirinya untuk berpindah ke kuadran finansial lain, sehingga dengan sendirinya menjadikan dirinya sebagai lokomotif penggerak perusahaan, sebelum ia berpindah ke jalur lain. Sayang bukan jika ditiadakan atau tidak dipupuk ?

Manajemen Sumber Daya Manusia. Bapak saya pernah kasih nasehat di awal karir saya di suatu bank : "hidupmu akan lebih mudah jika yang kamu pimpin itu kambing, kamu cukup ikat mereka dan kasih rumput yang cukup, urusan selesai, tapi sayangnya anak buahmu manusia, dibuat kenyang pun tidak menjadikan masalahmu selesai, mereka punya ambisi, dahaga, keinginan dan kebutuhan". Celakanya, orang-orang yang berada di area SDM ini cenderung dipersepsikan (ataukah memang?) sebagai tiran, antek, gerecok dan perusak pesta. Seharusnya unit SDM menjadi agen perubahan, yang mentransformasikan sumber daya menjadi kapital. Itu konsep idealnya. Bagaimana jika sudah terlanjur memble ? Kunci ada di tangan anda, mau ikut memble atau mau maju ? Saya sih memilih maju. Maka dalam kepemimpinan saya, saya mentahbiskan diri saya sendiri sebagai boss, konsultan, mandor, trainer dan coach. Anak buah dan team saya harus terus menerus ditekan untuk naik ke tingkat berikutnya, terpenuhi kebutuhannya dan tersalurkan ambisinya. Tentu di koridor yang positif dan konstruktif. Saya berkeyakinan, orang-orang bertipe 'people manager' adalah mereka yang punya kans paling besar untuk sukses dan naik ke puncak ketimbang para technical savvy.

Komunikasi Efektif. Manusia diciptakan untuk berkomunikasi. Demikian salah satu peribahasa Yunani kuno yang pernah saya baca. Bisa jadi benar. Aneh ya rasanya membayangkan adanya manusia yang tidak berkomunikasi? Masalahnya, komunikasi ada ribuan atau bahkan jutaan variasi. Dan yang dibutuhkan untuk sukses hanya satu : komunikasi efektif ! Komunikasi efektif saya coba formulasikan sebagai komunikasi yang tepat sasaran, mampu menyampaikan pesan secara akurat dan pada konteks yang sesuai, yang menimbulkan efek positif dan menggerakkan. Berita buruk pun jika dikomunikasikan secara efektif dan konstruktif, akan berefek positif, dimana orang menjadi terlecut atau setidaknya menjadi pribadi yang lebih kuat. Pernah mendengar rohaniwan mengabarkan berita duka ? Caranya menyampaikan lah yang membuat perbedaan, memang tidak akan menghidupkan yang sudah mati, tapi mampu menjaga yang masih hidup untuk lebih kuat dan tegar. Atau pemimpin bisnis yang tetap tersenyum saat mengucapkan selamat bekerja di suatu kantor yang sedang terpuruk. Tidak akan merubah kondisi ekonomi memang, namun mampu menyampaikan pesan positif secara tepat ke sasaran, dan menggerakkan semangat positif dari pasukannya. Mau coba sendiri ?

Kepemimpinan. Ini adalah suatu masalah utama di negara kita. Demikian sulit mencari genuine leader. Bahkan presiden kita sendiri baru-baru ini dikritik seorang anggota TNI (yang haram mengkritik atasan secara terbuka) saking gemasnya dengan performa si presiden yang dianggap lemes. Strong leadership draws the difference. Itu benar. Coba padukan empat hal di atas, lalu rangkum dalam satu kata. Tidakkah anda akan berakhir dengan satu kata : kepemimpinan ? Kepemimpinan adalah suatu kualias nyata, yang tidak terlihat tapi terasa, tidak berbentuk tapi menggerakkan, dan tidak tergambar namun mudah dimengerti. Tidak ada pemimpin sukses yang kepemimpinannya tidak terasa di bawah, tidak menggerakkan pasukan secara konsisten, dan sulit dimengerti kemauan dan arahannya. Keempat hal di atas dirangkai dan dikunci oleh satu kualitas lain yang tidak tercantum di daftar ini : keteladanan. Berapa lama seorang pemimpin yang baik bisa bertahan dengan keteladanan yang buruk dan reputasi yang kacau ?

Anda tidak perlu kecil hati jika tidak memiliki semuanya. Untuk langkah awal, mulailah dengan dua atau tiga poin dulu. Asah dan pertajam kedua atau ketiga poin tersebut sebelum anda melangkah maju untuk meraih poin berikutnya. Kuncinya konsistensi dan integritas. Untuk itu, ada baiknya, anda mulai dengan meyakinkan diri anda, bahwa poin pertama, etika dan etos, sudah anda miliki. Begitu terjal jalan yang harus anda daki sekiranya kedua hal tersebut belum anda miliki.

[katjoengkampret@aol.com]

Wednesday, September 8, 2010

Studi Kasus Ekonomi di balik kebijakan 3-in-1 di Ibukota


Menjelang lebaran, libur panjang dan aneka gegap gempitanya, apa kabar ? Sedikit berbagi cerita yang diperoleh dari para saudara sebangsa yang menyambung napas kehidupan menjadi joki 3-in-1 di ibukota. Banyak cerita menarik dari mereka. Satu per satu (kalau saya sabar dan sanggup kumpulkan ceritanya ya) akan saya tuliskan di forum ini. Kali ini, saya dapat cerita menarik mengenai perputaran siklus ekonomi di balik kebijakan tersebut, yang tentunya lebih dari sekedar uang jasa joki dari para pengemudi kendaraan di ibukota.

Seorang joki bertutur, "sekarang mau kerja gak bener aja susah, apalagi mau kerja bener. Jangankan kerja kantoran, jadi joki yang gak tercatat dimana-mana aja perlu pelicin". Aneh juga saya dengarnya. Di pemahaman saya, joki-joki ini sekedar mengisi waktu luang dengan aktivitas yang bermanfaat secara ekonomi, menawarkan jasa menjadi pelengkap jumlah penumpang yang melintas di zona tertentu agar ada 3 orang di dalam mobil dan tidak ditilang polisi. Saya tidak pernah melihat ini sebagai kriminalitas atau pelanggaran ketertiban, sekalipun aparat dan pemerintah daerah selalu memberi label demikian. Justru saya melihat ini sekedar orang tolol tunjuk hidung orang yang lebih lemah. Kebijakan ini kebijakan asal-asalan, lalu aparat dimobilisasi dengan nurani dimatikan dan logika ditinggal di gudang. Rupanya saya salah. Tidak sesederhana itu masalahnya. Lebih buruk dari itu semua.

Rupanya, di sejumlah zona "panas" alias dekat dengan pengawasan polisi dan aparat Satpol PP, justru banyak orang berdiri mengacungkan tangan sebagai joki. Aneh bukan ? Tidak juga, karena memang ada unsur simbiosis. Ada yang tidak terlihat. Itulah para "koordinator". Di zona-zona panas ini, tentu tempat dimana para pengendara mobil merasa kuatir dan butuh jasa joki. Mau memutar ? Mana bisa semudah itu di jalan protokol di Ibukota. Selain macet juga jarak yang amat jauh untuk berputar menyulitkan pengendara untuk menghindar dari hadangan polisi.

Para koordinator ini "membina" antara 20 hingga 100 joki. Jangan salah, atau menyalahkan mata anda. Anda tidak salah baca, seratus ! Ada yang datang dan "menyerahkan" diri ke para koordinator ini, ada pula yang memang direkrut. Tidak jelas mekanisme rekrutmennya. Para joki ini diharuskan setor Rp 10.000,- menurut penuturan joki yang menumpang mobil saya. Ia sendiri saya naikkan di Jalan Senopati, sekitar 100 meter dari mulut Jalan Jenderal Sudirman, dan dari tempat saya menaikkannya saya bisa melihat pak polisi nan ganteng berdiri mematung tiada kerjaan di bundaran senayan.... ironis kan ?

Dari setoran itu, akan ada tiga kontrapretasi yang diberikan oleh koordinator ke para joki, pastinya tanpa kontrak tertulis lah... Satu, mereka diperkenankan menjajakan jasa mereka di zona yang dikuasai para koordinator. Dua, mereka tidak akan disentuh oleh polisi maupun Satpol PP yang ada di daerah tersebut atau melintas di daerah tersebut. Tiga, kalaupun ada razia dadakan yang tidak sempat bocor, dan mereka tertangkap, maka mereka akan ditebus oleh sang koordinator. Gratis ? Tentu tidak. Si joki tetap berhutang separuh dari nilai tebusan yang berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu.

Tapi daripada tidak ikut "paguyuban", resiko lebih besar. Bukan cuma finansial. Pelecehan seksual adalah resiko yang mengerikan, terutama di kalangan Satpol PP. Menurut joki saya ini, dan dibenarkan oleh joki lain yang pernah saya pakai jasanya, perempuan hampir pasti mengalami yang namanya digerayangi, bahkan menurutnya ada yang diperkosa atau dipaksa melakukan hal-hal yang tidak pantas dengan imbalan perlakuan baik. Sementara di kalangan aparat ini rupanya banyak juga para penggemar sejenis yang gemar menggerayangi sesama laki-laki apalagi anak kecil. Pukulan, tamparan dan tendangan menjadi menu standar para aparat ini menurut mereka, terutama di dua hari pertama di panti sosial yang menjadi tempat penahanan mereka. Itu tidak termasuk perlakuan kasar dari tahanan lain yang lebih dulu masuk atau lebih dewasa.

Pertanyaan saya, kalau ada 50 joki seperti koordinator joki saya tersebut, berarti sehari ia bisa kumpulkan Rp 500 ribu ? Dikatakannya memang benar. Uang itu cuma bisa dikantonginya sepertiga. "Sepertiga lagi menjadi setoran pak polisi dan sepertiga sisanya untuk pak komandan satpol, saya suka disuruh setor", katanya. Lebih seru lagi, si koordinator hanya duduk manis di rumah kecuali ada yang ditangkap atau ada masalah dengan para aparat, seperti menjelang Lebaran ini, "polisinya minta THR, sejuta. Kalau yang dari Satpol udah dibayar, pada minta saweran dua ratus ribu per orang", kata si joki. Amit-amit... belum tentu benar memang, tapi entah kenapa saya percaya ucapannya.

Sebelum turun, si joki bilang, jadi koordinator juga tidak kaya-kaya amat, karena waktu mau jadi koordinator, "sampai harus jual motor bebek untuk kasih duit panjer ke aparat" urai si joki. Oooh rupanya pak polisi dan pak satpol jualan kavling..... Dan kalau setoran terlambat atau keinginan tidak diberi, maka kavling akan dilego ke koordinator lain.

Di tikungan berikutnya, si joki turun dan saya bayarkan uang jasanya. Saya semakin tidak merasa bersalah dan memang menurut saya tidak ada hal salah yang saya lakukan atas ketentuan 3-in-1 ini. Di putaran berikutnya saya melihat seorang polisi, dengan pose bodoh yang sama seperti saya lihat sebelumnya, dan saya mual melihat seragam tersebut. Satu kilometer kemudian, sudah amat dekat dengan kantor saya, saya melihat kendaraan pick up milik Satpol PP dan beberapa personil bermain HP sambil mengawasi para joki di seberang jalan di depan gedung Sampoerna. Benar-benar mual rasanya saya melihat sekumpulan anak muda berseragam gelap ini.

Saya 90% percaya kebenaran uraian-uraian di atas. Bagaimana dengan anda ?

[katjoengkampret@aol.com]

Friday, September 3, 2010

Kearifan dan Kegagalan


Di awal karir saya, perusahaan pertama saya tersebut (dan juga cinta pertama saya di dunia profesional) berbaik hati menyelenggarakan suatu sesi motivasional dengan memanggil seorang tokoh kondang. Tokoh ini dengan anehnya meminta kami untuk tidak quote namanya jika ada yang dia sampaikan menjadi sesuatu yang bermanfaat. "Saya sudah cukup sukses dan terkenal, dan saya pun sudah tua, anda masih muda, perlu punya kharisma agar bisa berbuat banyak, jika ada kata-kata saya yang bermanfaat bagi anda dan orang lain, sampaikanlah sebagai kata-kata anda, semoga sukses dalam merubah dunia menjadi lebih baik". Demikian tuturnya.

Rupanya beliau itu merasa banyak sekali kegagalan yang terjadi di dunia ini, baik karena kecelakaan, sebab yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kegagalan baginya bukan cuma sukses yang tertunda, namun juga pembelajaran yang ampuh dan cemeti kesuksesan yang tajam. Siapa yang bersedia gagal untuk kesekian kali, bukan ? Cara untuk mengurangi "ongkos belajar" (demikian istilahnya untuk menyebutkan kegagalan pada konteks ini) adalah membekali generasi muda dengan tiga hal : otoritas yang lebih besar namun dilandasi rasa tanggung jawab ; moral dan etika yang sejalan dengan intelektualitas dan materialitas ; serta kecintaan akan sejarah sebagai cermin pembelajaran.

Menurutnya, sumber aneka kegagalan di kepemimpinan dalam dunia bisnis (termasuk pemerintahan menurutnya sebagai suatu bisnis), ada pada tiga sumber : ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakarifan. Sekilas kita tentu paham maksud dua yang pertama. Bagaimana berbisnis atau memimpin orang lain jika kita tidak tahu banyak hal yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas kita ? Atau bagaimana hendak berhasil jika kita tidak memiliki kemampuan atau keahlian dasar yang dibutuhkan untuk tugas tersebut ? Namun bagaimana halnya dengan "kearifan" ?

Ia mendefinisikannya sebagai perimbangan empat hal : benar-salah, sesuai-tidak sesuai, menguntungkan-merugikan, dan baik-buruk. Itulah prioritasnya, menurut beliau. Lakukan segala sesuatunya dengan benar, lalu pastikan bahwa yang dilakukan dan hasilnya telah sesuai dengan yang diminta atau diperlukan, kemudian apakah tindakan dan hasilnya tersebut mendatangkan keuntungan ataukah kerugian, dan terakhir apakah dampaknya menjadikan segala sesuatunya lebih baik ataukah lebih buruk ?

Berpegang teguh pada adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama sekalipun tidak melanggar hukum positif, menurutnya adalah contoh terbaik dari perimbangan tersebut. Menjalankan adat istiadat itu berarti kita telah melanggar ajaran agama. Maka tindakan tersebut sekalipun dampaknya baik (karena setidaknya kita selaras dengan lingkungan kita), dan juga tidak merugikan (walaupun belum tentu menguntungkan), namun tidak sesuai dengan yang disyaratkan ke kita sebagai pemeluk agama yang kita anut, dan pastinya kita berada di situasi yang salah. Hasil akhirnya : jangan dilakukan. Selalu ada resiko dari menegakkan kearifan berdasarkan pada keseimbangan tersebut.

Kearifan menurutnya adalah suatu konsep, suatu ide, suatu produk. Tidak akan menjadi sempurna tanpa proses delivery ke dunia nyata dalam bentuk aksi nyata. Kesempurnaan itu menurutnya pula, hanya akan tercapai melalui tiga media : kesantunan, konsistensi dan kerendahhatian. Penyampaian yang tegas dan konsisten namun dilakukan dengan lembut, santun, jelas dan rendah hati, tidak akan mampu dilawan dengan apapun, karena manusia tidak dibuat dari batu. Jika masih ada yang berusaha dan berhasil untuk melawannya, maka itulah yang disebutnya sebagai tirani, pemaksaan kehendak. Dan pada titik itu, segala sesuatunya menuju ke kegagalan.

Di akhir perjalanan dari pengambilan sikap serta penyampaiannya, kearifan hanya mungkin pula terbentuk dari penggalian pengetahuan serta pengasahan kemampuan. Tidak akan ada kearifan tanpa pengetahuan dan kemampuan. Dan kemampuan terbesar yang dikaruniai Sang Pencipta pada diri kita menurut ajaran agama adalah hal paling sederhana : mengendalikan diri sendiri. Seperti loop yang berputar-putar saja bukan ? Tampaknya demikian. Menunjukkan bahwa sebenarnya kita sebagai manusia, memang kecil adanya.

Bicara soal pemaksaan kehendak serta kearifan, kemarin sore ada sebuah contoh sederhana yang cukup memprihatinkan. Cerita sederhana mengenai sekelompok anak muda yang ingin "merayakan" berbuka puasa bersama di suatu tempat X untuk menikmati hidangan Y dengan rentang harga Z.

Rumus X+Y+Z ini menjadi sedemikian formula sakti yang seolah tak tergoyahkan. Kearifan mereka sebagai individu dan kelompok tengah diuji sebenarnya. Dengan uang yang mereka miliki secara kolektif, bukan hal yang sulit untuk merealisasikan X+Y+Z tersebut. Masalahnya, hanya mereka kah di dunia ini yang mampu berkeinginan sesuai formula X+Y+Z tersebut ? Jika itu formula sakti, dengan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan), perlukah suatu kecerdasan khusus bagi orang lain untuk bisa ikut berkeinginan melaksanakannya ?

Lalu timbul masalah lain, Tempat X memiliki kapasitas terbatas, hidangan Y tersedia hanya dalam jumlah yang tentunya terbatas, dan rentang harga Z hanya dapat diperoleh di tempat yang tertentu pula. Sementara, berbuka puasa adalah suatu variable baru, misalkan A, karena waktunya tertentu. Dan ketersediaan waktu untuk mencapainya juga suatu variable lain, misalkan B, karena mereka harus bekerja. Sementara jumlah mereka pun cukup banyak, yaitu C. Tampaknya terjadi knowledge gap, mereka tidak menghitung A, B dan C sebagai komponen yang ikut bermain. Tanpa pengetahuan, satu sumber kearifan hilang. Lalu, ada ketidakmampuan mengelola persamaan tersebut secara lengkap, termasuk mendefinisikan kebutuhannya sendiri, apakah harus terlaksana saat bulan ramadhan dengan judul "berbuka puasa bersama" ?

Mengapa harus dipaksakan ? Tidakkkah jika sekedar ingin merealisasikan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan) mengapa tidak dilakukan di lain waktu, sehingga variable A, B dan C tidak menjadi penghalang ? Ketidakmampuan mendefinisikan keinginan sendiri serta mengendalikan keinginan dari diri sendiri, telah sempurna menghapus kearifan kelompok itu.

Hasil akhir, tidak dapat tempat, dan akhirnya tidak bisa berbuka puasa, membeli makanan atau minuman sekedar membatalkan puasa pun sulit karena semua tempat penuh dan antrian panjang, hendak pulang pun sudah sulit karena macet, pekerjaan di kantor pun terbengkalai karena kepulangan yang lebih cepat dari biasa, dan tetap hingga malam mereka tidak kunjung mendapatkan tempat sehingga beralih ke tempat lain. Tidak satupun dari komponen X, Y dan Z yang akhirnya terkabul.

Bagaimana jika ini terjadi di dunia kerja, di arena bisnis bahkan di pemerintahan ? Sementara ada sebagian dari kumpulan anak muda ini yang memiliki posisi dan otoritas yang cukup signifikan di organisasi mereka ? Ini menunjukkan kematangan situasional mereka yang masih perlu diasah. Tentu kita sepakat, tidak ada kerugian, pelanggaran etika, pelanggaran hukum dan keburukan yang akan muncul jika acara itu ditunda, bukan ? Hanya satu hal saja yang dilanggar : keinginan mereka. Dan hasil akhirnya tetap keinginan itu tidak terlaksana.

Seandainya mereka membaca tulisan ini lebih awal dan mendengarkan saran dari penulisnya kemarin sore....

[katjoengkampret@aol.com]


Tuesday, August 31, 2010

James Bond dan kita



Pasti kenal dooong sama logo itu ? Logo agen rahasia Inggris dengan kode 007 alias James Bond. Sejak tahun 1960 melalui episode perdana "Dr. No", karakter James Bond merasuki banyak orang dengan kelebihan-kelebihannya yang bisa jadi 90% fictious, tapi tetap enak dinikmati. "Enak, gak usah mikir, pokoknya menang terus dan tricky, kocak juga", demikian komentar bapak saya yang juga sama-sama penggemar James Bond. Seluruh episode kami punya salinannya dan masih setia isi hari-hari libur kami hingga sekarang.

Namun, bagi saya pribadi, sosok James Bond bukan cuma sekedar sosok hero fiktif yang serba menang, ganteng dan serba jago : jago brantem, jago akal-akalan, jago judi dan jago cewek. Sosok ini sebenarnya inspirasi positif untuk karir dan diterapkan di dunia kerja. Oooops jangan salah, saya nggak anjurkan orang jadi tukang main cewek di tempat kerja ya !

Saya mencoba untuk menterjemahkan etos kerja dan kualitas pribadi seorang profesional yang melekat pada karakter agen rahasia ini, Setidaknya, saya melihat ada tujuh item yang menjadi suatu kualitas yang seharusnya kita miliki jika kita memang hidup dari bidang profesional, yaitu :

1. Disiplin pada tugas dan berorientasi hasil. Karakter ini digambarkan santai namun amat disiplin pada tugasnya, bahkan cenderung berdarah dingin. Kita tidak perlu berdarah dingin lah, karena kita memang bukan agen rahasia, namun apa salahnya menjadi orang yang disiplin pada visi dan misi tugas kita ? Lihatlah aneka iklan lowongan pekerjaan di koran akhir minggu, tujuh puluh persen mensyaratkan kualitas "berorientasi hasil". Jadi kualitas ini bukan monopoli James Bond bukan ?

2. Pemahaman budaya dan organisasi yang baik. Perhatikanlah di setiap episode James Bond, anda akan menemui situasi dimana karakter ini mampu membaurkan dirinya dengan aneka budaya dan ragam kehidupan dimanapun ia ditempatkan. Kita bisa saja bilang "aaah itu kan di felem...", tapi kenyataannya bukanlah hal yang sulit dan buruk untuk menjadi seseorang yang supel, fleksibel dan mampu berbaur. Hal ini ditambahkan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan organisasi yang mengelilinginya. Tidak bisa dipungkiri, sebagai makhluk sosial, manusia dalam aneka problematikanya akan berhadapan dengan eksistensi organisasi sebagai wadah. Dan karakter spy ini selalu terlihat piawai memainkan dirinya untuk beradaptasi dan memanfaatkan organisasi yang di sekelilingnya untuk mencapai tujuannya.

3. "Can do" attitude. Ini terdengar indah dan mudah tapi sulit dan berat diimplementasikan. Budaya diri yang mandiri, bersemangat dan optimis sepertinya memang belum menjadi bagian dari karakter bangsa kita secara luas, tapi tidak ada kata terlambat untuk mengimplementasikannya pada diri kita. Inilah yang akan membedakan diri kita dengan "crowd" atau kerumunan manusia di sekitar kita. Lihatlah James Bond dan aneka petualangannya, selalu menonjolkan can do attitude. Memang ada sutradara dan penulis naskah yang membantunya untuk berhasil, tapi tidak perlu kecil hati. Kita juga punya sutradara sekaligus penulis naskah maha hebat yang selalu siap membantu kita : Tuhan. Masalahnya, seringkali kita memang menolak peran ini, tidak memiliki can do attitude, sehingga sutradara kita tidak sempat menempatkan diri kita sebagai hero di lakon kita sendiri.

4. Broad based networking. Anda pernah melihat James Bond beraksi seorang diri dari awal sampai akhir ? Jawabnya adalah Tidak. Setidaknya kolega-koleganya seperti sekretaris Miss Moneypenny atau Analis Nenek M dan Kepala Teknisi Kakek Q selalu siap membantunya. Jika anda perhatikan, kaitkan dengan poin ke dua di atas, James Bond selalu memanfaatkan kemampuannya berbaur dan memahami orang lain untuk meningkatkan jaringannya demi mencapai tujuannya. Dan, itu pula yang harus kita terapkan dalam hidup kita. Tidak perlu harus menjadi spy yang bertugas di misi hidup mati, untuk menjual produk atau mendesain suatu program, anda pasti butuh jaringan, dan itu menjadi kewajiban anda sendiri untuk mengembangkannya. James Bond tidak sehebat yang anda kira bukan ? Anda bahkan bisa lebih hebat dari James Bond karena anda adalah hero dunia nyata.

5. Skillful. Salah satu kunci penting dari lakon James Bond adalah kemampuannya untuk mengembangkan diri dan menguasai beraneka ragam keahlian. Dan itu bukanlah hal yang tabu atau mustahil. Seorang kawan saya yang sudah eksekutif, menguasai sejumlah keahlian aneh : pijat refleksi, membaca tulisan tangan, membaca bahasa tubuh, menulis steno dan mencongak hitungan matematika. Sampai hari ini, saya belum pernah melihat ia bisa mencapai keberhasilan tanpa keahlian-keahlian tersebut. Bagaimana kita bisa mendahului dirinya mengambil keputusan jika ia mampu mengantisipasi perundingan lebih awal dengan keahliannya membaca bahasa tubuh dan kecepatannya mengolah data di kepalanya dengan cara mencongak ? Dan bagaimana hendak kalahkan kebugarannya jika ia bisa segarkan dirinya sendiri dengan lakukan sejumlah pijatan ringan di tempat yang tepat ?

6. Easy Going. Pernah anda temui James Bond menjadi patah arang, culun dan bloon karena hambatan dalam melaksanakan pekerjaannya ? Anda akan temui bagaimana dalam perannya ia gagal atau meleset, tapi ia akan bangkit. Dengan 3S (semangat, senyum dan santai) plus bumbu humor, bahkan ia bisa menyemangati teamnya. Ini bukan yang memang harus kita lakukan dalam kehidupan nyata ? Keberhasilan memang hanya masalah waktu, sebelumnya aneka kegagalan akan menghantui dan menghampiri kita, itu pasti. Sikap kita lah yang akan menentukan apakah kita menjadi hero atau zero. Target sudah tidak bisa anda geser, tapi anda bisa ubah sikap dan diri anda untuk jawab tantangan dan penuhi target tersebut. Easy Going bukan berarti menggampangkan atau menganggap enteng, sebaliknya justru bersikap calculated, sekalipun berat tetapi tantangan tersebut dapat kita ukur.

7. Perhitungan Yang Matang. Memang di dalam film tentu ada sutradara dan penulis naskah yang telah mengatur semuanya sehingga si jagoan pasti akan menang. Masalahnya, apa yang dilakukannya bukan hal yang mustahil. Mengkoleksi data yang dibutuhkan selengkap mungkin, membuat analisa awal yang seksama, mendiskusikannya dengan kolega yang lebih paham dan ahli, kemudia membuat rencana aksi yang rinci dan rapi, serta terakhir melakukan mitigasi resiko yang komprehensif. Saya rasa tidak perlu menjadi karakter James Bond di film untuk memiliki kualitas demikian. Kita semua mampu memiliki kualitas tersebut dan mengaplikasikannya di pekerjaan kita sehari-hari.

Anda tidak perlu jadi lakon James Bond. Kehidupan anda adalah episode film spionase anda sendiri dimana anda menjadi pemeran utamanya. Andalah yang menentukan siapa anda dan pencapaian anda. Kita semua bisa menjadi James Bond di dunia nyata.

[katjoengkampret@aol.com]

Monday, August 16, 2010

Salah satu potret negara terbelakang

Negara terbelakang, umumnya tidak hanya ditandai dari miskinnya rakyatnya (namun umumnya pejabatnya kaya-kaya), tetapi juga mudah dilihat dari tingkat pencapaian dan pemanfaatan teknologinya. Lebih jauh lagi, ciri-ciri manusia terbelakang adalah fokus pada masalah kecil tetapi gagal melihat (apalagi memecahkan...) masalah yang lebih esensial. Silakan baca artikel berikut dan nilai sendiri...


16 Agustus 2010 | 00.24 WIBRegional
Nelayan Malaysia Tahu Kelemahan Kita

KARIMUN, KOMPAS.com - Penembakan dan penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepulauaun Riau oleh polisi Malaysia di wilayah republik, adalah buntut dari serangkaian kejadian sebelumnya. Yakni, petugas DKP maupun nelayan Indonesia sering memergoki nelayan Malaysia mencari ikan di Tanjung Berakit dan sekitarnya yang masih wilayah Indonesia.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan (KTNA) Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, Amirullah, menyatakan, nelayan asing itu bukan saja dari Malaysia, tetapi juga Thailand dan Vietnam. Mereka mencuri di perairan Indonesia, terutama pada akhir dan awal tahun. Pada Desember hingga Maret setiap tahunnya merupakan pergantian musim barat dengan awal musim utara. Saat itulah jumlah ikan tangkapan sangat banyak.

"Musim itu juga ombak cukup besar. Tapi pada saat ombak besar itulah ikan banyak. Tapi di satu sisi, hal ini sering kali menjadi kendala bagi petugas kita untuk melakukan pengawasan karena sarana dan prasarana yang kurang memadai," ujar Amirullah, Minggu (15/8/2010).

Dikatakan, nelayan-nelayan asing itu memiliki sarana yang lebih
canggih. Misalnya kapalnya modern sehingga ombak besar bukan jadi halangan lagi.

"Dengan kata lain para nelayan asing itu seakan sudah bisa mengukur kekuatan kita dan seolah-olah memanfaatkan kelemahan kita dalam pengawasan," ujar Amirullah.

Tidak hanya itu, lanjut Amirullah, nelayan asing juga tidak segan-segan menggunakan perangkat terlarang, seperti pukat harimau, bubu, rawai atau pancing dan sesekali bom ikan. Kapal mereka pun dari segi ukuran cukup besar, yakni antara 20-50 Grasse Tonase (GT) bahkan ada yang sampai 200 GT.

"Nelayan kita sering memergoki mereka tapi tidak bisa apa-apa. Selain teknologi mereka sudah canggih kemungkinan besar kecepatan kapal mereka juga sudah melebihi 100 knot per jam," ucapnya lagi.
Wilayah Kepulauan Riau Kepri yang lebih dari 90 persen lautan, sering kali jadi sasaran illegal fishing. Mulai dari perairan Pulau Pisang di
sekitar Pulau Tokong Hiu, Karimun dan perairan antara Selat Malaka dan Bengkalis. Demikian juga di perairan Natuna -sekitar Pulau Bone dan Kijang, serta Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan yang terakhir kali menjadi lahan
jarahan tujuh nelayan Malaysia. Peristiwa itu sempat memanaskan lagi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia.

Untuk itu Amirullah meminta pemerintah, baik di daerah maupun pusat untuk lebih perhatian terkait masalah kelautan dan nelayan kita ke depan.

"Masalah ini sebenarnya sudah lama, dan anehnya hal ini cukup
terabaikan. Sekarang sudah kejadian seperti ini, repot kita kan.
Malaysia saja bisa memberikan proteksi lebih kepada nelayan. mereka walaupun itu jelas-jelas mereka salah tapi mereka seakan-akan tidak peduli lagi," keluhnya.

Meet me in twitter @katjoengkampret or visit katjoengkampret.blogspot.com

Wednesday, August 11, 2010

Mengenang Kesederhanaan Ayah


Tiga minggu lalu, ayah saya berulang tahun ke-67. Sungguh bukan usia yang muda sekalipun banyak yang tetap hidup sehat hingga usia jauh di atas usia beliau. Alhamdulillah beliau tetap sehat dan saat kami bermain berkunjung untuk menyelamati beliau, hanya satu keinginan yang disampaikan : ingin bisa bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Saya mengingatnya dalam hati dan Alhamdulillah pula beliau telah bertemu bulan suci Ramadhan hari ini dan saat ditelepon, terdengar antusiasmenya berjumpa dengan bulan suci.

Saya mengenang beliau, bukan hanya sebagai ayah, namun juga sebagai guru dan kawan. Dengan karakter beliau yang halus dan tenang, terasa sulit bagi beliau untuk menjadi nakhoda keluarga, karena ada Ibu yang berkarakter keras, meledak-ledak dan ekspresif. Naluri dan karakter sebagai pengajar, dimana beliau sejak masa kuliah telah menjadi guru, begitu menonjol. Beliau cenderung tidak suka tampil, sebatas menjalankan peran di belakang layar dan mengusung prinsip Tut Wuri Handayani. Jika kami menegurnya karena terlalu pasif di hadapan Ibu yang demikian perkasa, beliau hanya terkekeh "kalau dua-duanya nge-gas dan gak ada yang nge-rem, nabrak nanti kita semua". Beliau juga seseorang yang amat religius dan teratur. Sampai hari ini saya susah mencerna mengapa ada manusia yang harus tidur jam 9 malam dan harus bangun jam 5 pagi, mencukupkan makan (yang menurut saya amat sedikit) dan begitu senang berjalan kaki kemana-mana. Saya hanya diam saja karena mendapati fakta, beliau sehat dan belum pernah dirawat di Rumah Sakit.

Sebagai guru, ratusan atau ribuan sudah pujian disampaikan oleh kolega, staff dan mahasiswa beliau akan dedikasi dan komitmen yang telah diberikan pada kegiatan transfer ilmu dan pengetahuan. Beliau selalu sampaikan pada kami putra-putranya, "sempatkan menjadi guru, tidak dalam konteks formal, namun sebagai orang yang membagikan ilmu, pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dimiliki kepada orang lain, nikmatnya langsung terasa di dunia, lihatlah wajah dan ekspresi dari orang yang kau bagi ilmu dan pengetahuan tersebut, langsung berbinar dan akan menjadikan kenikmatan batin luar biasa". Beliau benar, bahkan jika kita bagikan makanan pada orang yang kelaparan, umumnya ucapan terima kasih dan santapan giat nan rakus yang akan kita lihat, niscaya bukan rasa bahagia yang muncul namun rasa trenyuh, iba dan miris melihat pemandangan tersebut.

Kini, beliau masih mengajar, beliau masih menjadi guru. Bukan cuma dalam arti harfiah berdiri di depan kelas mengajar mahasiswa-mahasiswanya, namun juga secara online melalui teleconference dan webchat. Untuk seseorang seusianya, ketajaman beliau dan rasa haus akan ilmu pengetahuan begitu nyata, diiringi dengan semangat dan stamina fisik yang prima. Beliau tidak hanya mengajar di dua universitas swasta terkenal, namun secara rutin masih melakukan sesi mentoring dan coaching di institusi pemerintahan tempatnya dulu aktif berdinas. Tidak terasa, kami bertiga putra-putrinya, mengikuti jejak beliau. Saya terkadang menjadi pengajar di suatu program di suatu universitas swasta dan di almamater saya sendiri. Kedua adik saya, bahkan resmi menjadi dosen dan peneliti di bidangnya. Uniknya, sebagai dosen karir, adik saya saat ini berstatus atasan dari ayah saya di universitas tersebut.... Dan dia cukup sering mengeluh karena dokumen yang dibuatnya dikritik habis Ayah saya di rumah...

Ayah saya tidak punya ambisi. Itu yang saya ingat juga darinya. Dulu, kalaupun itu bisa disebut ambisi - saya lebih senang menyebutnya pengharapan, ia hanya ingin kami bertiga sekolah setinggi mungkin, bekerja dengan baik dan bersih, menjalani hidup dengan baik dan menjadi orang yang shaleh. Saat ini, keinginan itu diucapkan lagi dengan cucu-cucunya sebagai obyek, tapi dengan pengharapan yang persis sama. Plus, keinginannya untuk tetap diberi kemampuan berguna bagi sesama dan beramal shaleh agar bisa mati dalam keadaan terbaik, khusnul khatimah, urainya. Sebagai peneliti, praktis kata karir jauh dari isi kepalanya. Ibu saya pernah mengkritiknya sebagai orang yang "berpacu melawan dirinya sendiri". Namun, saya mengingat betul satu pesan beliau, "jika kamu harus ditakdirkan hancur, hancurlah dalam keadaan bersih, jangan pernah hancur dalam keadaan kotor".

Beliau nyata-nyata bersih, sederhana, jika tidak boleh dikatakan miskin. Tidak banyak yang diperolehnya sebagai pegawai negeri peneliti sekalipun tingkat kepegawaiannya sudah mentok. Gaji yang diperoleh plus tunjangan, hanya cukup untuk hidup. Tidak bisa menabung. Rumah kami dari instansi yang dicicil selama 20 tahun, begitupula kendaraan beliau, setelah 10 tahun bisa kami beli dengan nilai yang amat rendah. Sekolah kami praktis dibayar dari fasilitas kantor yang memberikan tunjangan pendidikan bagi anak-anak yang berprestasi. Kami ingat, intimidasi untuk beliau tidak jarang "mampir" ke rumah kami, dalam bentuk surat kaleng, telepon gelap maupun batu yang dilempar pengendara motor. Dan sebabnya itu-itu saja : Ayah mengembalikan dana sisa operasional proyek yang tidak terpakai, Ayah menolak melakukan pembelian inventaris laboratorium kantor yang berkualitas rendah dengan harga mahal sekalipun ditawari "pelicin", dan Ayah tidak pernah bersedia memilih Golkar di era Pemilihan Umum ala Orde Baru yang menurutnya "era Setan".

Kami bertiga diminta berjanji padanya, untuk tidak menjadi pegawai negeri, "karena kalian pasti korupsi, jika tidak mencuri uang, kalian akan mencuri waktu karena pendapatan kalian tidak mencukupi". Beliau luluh akhirnya mengijinkan adik terkecil menjadi PNS, karena sebagai dokter, pengabdiannya akan lebih maksimal sebagai PNS. Tiga belas tahun lalu beliau nyaris melempar gelas saat tahu saya yang baru lulus kuliah ditawari paman sebagai asistennya, di suatu departemen yang terkenal "basah" dan amat korup. Untuk karakter yang tenang dan santun, kata-kata beliau amat keras "Kalau kamu mau jadi pencuri, bilang dari dulu supaya kami tidak susah payah sekolahkan kamu". Beliau merujuk pada paman kami yang masih muda dan tergolong amat yunior dibanding beliau, namun sudah memiliki apartemen di luar negeri. Benar juga, uang dari mana ? Sebagai asisten maka cepat atau lambat saya akan mencuri atau setidaknya tahu adanya hal buruk tapi tidak mampu berbuat apapun. Saya berhutang budi pada Ayah saya karena mencegah saya di hari itu.

Tergerak saya menulis memoir ini, karena menerima SMS darinya "Mas, belikan aku asinan ya untuk berbuka, pakai uangmu dulu, uangku habis...".

Monday, August 9, 2010

Mensyukuri Nilai Ekonomis dari kata "Bekerja"


Ada banyak hal yang patut disyukuri tapi terlewat begitu saja karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. Lalu terjadi sesuatu, terlepas itu baik atau buruk, kenikmatan-kenikmatan itu tidak lagi kita temui dan kita merasa kehilangan. Muncul lah di titik itu rasa syukur yang terlambat. Sounds familiar bukan ?

Saya pun tidak luput dari gejala itu, dan mencoba melakukan refleksi khusus mengenai hal ini karena didorong oleh seorang sahabat yang tinggal di kota lain. Dengan aneka kesulitannya sebagai single but double parent, menikah dan pasangannya masih ada namun bisa dikatakan tidak berfungsi karena memble luar dalam, saya mendapatkan banyak pencerahan darinya tiap kali saya mengeluh.

Pagi ini saya keluhkan kondisi kantor saya yang tidak jelas, tapi dia ingatkan saya akan banyak hal. Tanpa maksud menjadi "matre", memang paling mudah adalah mengukur manfaat dari hal-hal yang dapat dikuantifikasi. Mari saya ajak anda melakukan "office tour" sebagai hasil ber-refleksi sepagian ini yang menjadikan saya tidak efektif bekerja....

Minum air putih (sering disebut 'Aqua" padahal belum tentu merek Aqua ya ?). Saya menghabiskan dua liter air setiap hari, ditampung dalam suatu watercan agar tidak bolak balik. Kapasitasnya 2 liter dan saya mentargetkan harus habis dalam sehari demi alasan kesehatan. Katakan saya bekerja 22 hari sebulan maka konsumsi air minum saya adalah 44 liter atau merujuk pada kapasitas 1 galon setara dengan 16 liter nett maka saya mengkonsumsi 2,75 galon sebulan atau dikali Rp 10.000/galon maka saya sudah memperoleh benefit senilai Rp 27.500/bulan.

Kopi, Teh dan Gula. Saya menyempatkan diri untuk membuat teh manis atau kopi berupa coffeemix tiap pagi. Katakan 11 hari saya membuat teh dan 11 hari saya membuat coffeemix. 11 hari saya membuat teh celup itu setara dengan hampir separo box teabags, atau estimasi saya sekitar Rp 10.000/bulan. Sementara coffeemix sebanyak 11 sachet per bulan setara dengan hampir selusin atau satu plastik, dirupiahkan sekitar Rp 10.000/bulan. Keduanya sudah senilai Rp 20.000, dan jika ditambahkan gula pasir saya coba bulatkan menjadi Rp 25.000/bulan.

Akses Internet. Saya menikmati akses internet gratis bagaikan broadband dengan quota free, dan melakukan komparasi dengan apa yang diiklankan di media massa, maka fasilitas saya ini jika saya cari dan bayar sendiri, akan membebani saya sekitar Rp 500.000/bulan.

Akses Telepon. Dengan jatah "free usage" sebesar Rp 75.000/bulan, kemanapun saya menelepon tidak menjadi soal, selama tidak melampaui nilai tersebut.

Parkir Gratis. Biaya parkir yang dibayar kantor sebesar Rp 400.000/bulan terasa sedikit lebih murah dibandingkan ongkos parkir saya "ngeteng" sebesar 22 hari x 10 jam (estimasi rata-rata durasi kendaraan saya diparkirkan di halaman kantor) x Rp 2.000 = Rp 440.000/bulan.

Numpang Keren. Wah ini priceless... tidak bisa dipungkiri bahwa nama baik dan reputasi kantor membantu saya dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Mau apply kartu kredit saja susah kan kalau tidak bekerja atau wiraswasta ? Biaya cetak kartu nama saja jadi mahal, di kantor sudah tinggal teriak ke bagian umum. Karena priceless ya kita abaikan dulu ya.

Sewa ruangan. Ruang kerja dengan luasan 3x3 meter, berkarpet, ber-AC dan berfurniture mutakhir, silakan dihitung berapa biaya sewanya ? Per meter persegi per bulan saya memperoleh info kantor saya dikenai biaya US$16.00 atau Rp 144.000, atau total luasan akan membebani sebesar Rp 1.296.000/bulan. Saya tidak lagi menghitung aneka perlengkapan kerja, karpet, furniture dan peralatan kerja ya ? Ribet dan pastinya akan menjadikan hitung-hitungan makin mahal.

Daya Listrik. Ini dia, untuk PC, printer, AC... saya estimasikan setidaknya Rp 200.000/bulan menjadi beban kantor.

Mari kita hitung nilai subsidi kantor setidaknya yang saya terima : Rp 27.500 + Rp 25.000 + Rp 500.000 + Rp 440.000 + Rp 1.296.000 + Rp 200.000 = Rp 2.488.500 per bulan ! Ini setara dengan dua setengah kali UMR di kota-kota besar di Indonesia!!!!

Disini tentu saya tidak kalkulasikan benefit lain yang tidak terbaca disini namun terbaca di slip gaji saya. Namun saya mempercayai, sahabat saya tadi lebih dari benar untuk meminta saya berpikir ulang mengenai keluh kesah saya. Dan ada satu kartu AS disini (bukan dari Telkomsel yah....), begitu anda tidak bekerja, bukan cuma gaji dan aneka benefit di atas itu yang melayang, harga diri anda, aneka kenikmatan yang gagal saya kuantifikasi di tulisan ini dan banyak hal lainnya, akan ikut melayang. Sudah anda coba kalkulasikan hal-hal tersebut ?

Saya berharap anda semua lebih baik dari saya dan sudah mencoba untuk kalkulasikan nilai ekonomis dari status "bekerja" anda dan nikmat secara finansial yang anda terima tanpa terasa dari kantor anda ? Jika belum, Please do it. Segerakan. Jika sudah, lakukan lagi, agar kita bisa sama-sama bersyukur.

Tiba-tiba saya juga ingat, ada beberapa rekan di kantor yang saking bersyukurnya jadi lupa daratan.... kertas HVS dibawa pulang, bolpen dari kantor hilaaaang terus dan minta ganti terus, sehari bikin kopi tubruk kental pakai gula pasir yang munjung bisa dua-tiga kali, watercan besar dibawa pulang tiap hari, anehnya berangkat kosong (karena suka ketemu di pantry jadi saya tau kalo kosong) dan pulangnya bener-bener membebani dia karena penuh dan dibawa pulang, plus jatah bedinde gratis karena Office Boy di kantor sering disuruh-suruh bikin minum atau bersihkan meja dia....

Kalau gitu kita sepakati saja ya, perintahnya bukan cuma bersyukur, tapi juga agar tidak lupa daratan. Setuju ?

[katjoengkampret@aol.com]

Thursday, August 5, 2010

Kerusakan Fuel Pump dan Wacana Pembatasan BBM Bersubsidi ?


Akhir-akhir ini beredar keresahan mengenai kerusakan komponen 'fuel pump' di sejumlah kendaraan bermotor roda empat yang mengkonsumsi bahan bakar premium. Saya tidak tau persis penyebabnya, proses terjadinya kerusakan, apalagi cara memperbaikinya. Di sisi lain, saya pun juga tidak tau persis apa benar jumlah sekian ratus atau sekian ribu kendaraan yang rusak itu benar adanya dan apakah penyebabnya benar-benar terkait dengan bahan bakar yang dikonsumsi.

Saat ini ramai wacana rencana pemerintah melakukan pembatasan penggunaan premium (yang merupakan bahan bakar bersubsidi) dan mendorong masyarakat pengguna mobil pribadi (yang dipersepsikan sebagai masyarakat kelas menengah atas di Indonesia) mempergunakan bahan bakar non subsidi. Ada fakta lain bahwa pemerintah melalui Pertamina, memegang monopoli penjualan dan peredaran bahan bakar bersubsidi bernama Premium. Sementara, selain pemerintah (juga melalui Pertamina, dengan merek dagang Pertamax), asing juga memegang hak peredaran bahan bakar non subsidi. Sering terjadi diberitakan kelangkaan Pertamax, lah Premium saja suka seret pasokannya. Artinya ada pertanyaan soal kesiapan Pemerintah sediakan Pertamax bukan ?

Saya hanya mengkhawatirkan dua hal. Semoga saya salah dan teman-teman, baik sepakat atau tidak, bisa memberikan pencerahan disini.

Pertama, saya khawatir soal ada kaitan antara insiden-insiden tersebut dengan rencana pemerintah di atas. Pemerintah sering kali gagal melakukan conditioning dan akhirnya melakukan politik paksa atau politik bumi hangus. Sekarang pun masih belum beres soal Ledakan Elpiji. Dulu banyak pihak sampaikan, wacana pemassalan gas elpiji itu belum waktunya karena masalah daya beli, edukasi masyarakat dan kesanggupan pemerintah mengontrol masalah safety. Benar kan ? Menjelma bagaikan teroris dengan bom. Bedanya teroris hanya di spot-spot tertentu, ledakan elpiji bagaikan menyebar bom ke seluruh penjuru negara ke rumah-rumah rakyat yang umumnya rakyat kecil. Dan saya tidak melihat pemerintah bisa lakukan hal yang signifikan sejauh ini untuk kurangi kekhawatiran rakyat.

Atau memang psikologis rakyat yang sudah hidup susah tidak lagi penting bagi pemerintah ? Saya khawatir ada yang mengail di air keruh, dan menteror rakyat untuk memudahkan proses konversi ke BBM non subsidi tersebut. Sejujurnya kasus Ledakan Elpiji menjadi pijakan saya soal kemampuan pemerintah mengelola kebijakannya sendiri. Kita tahu dari aneka pengalaman selama ini betapa pemerintah Indonesia amat sulit untuk berpihak ke bangsa dan rakyatnya sendiri, dan amat mudah mengikuti kehendak pemodal asing sekalipun berpotensi menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan, memang amat sulit menemukan pemimpin yang lurus dan amanah di negara ini, sehingga wajar saya khawatir akan terlindunginya kebijakan yang memihak rakyat.

Kedua, saya pribadi juga khawatir, amat khawatir malah, bahwa insiden tersebut terjadi dengan sengaja, siapapun pembuatnya, untuk memastikan orang menjadi takut mempergunakan Premium dan beralih dengan segera ke bahan bakar non subsidi yang dipasok perusahaan asing. Mengapa ? Karena pasokan Pertamax sendiri bisa dibilang terbatas.... Bayangkan keuntungan di depan mata saat memperoleh durian runtuh berupa "monopoli tidak sengaja". Orang takut pakai Premium, Pemerintah melalui Pertamina kewalahan melayani pasokan BBM non Subsidi, orang akan otomatis beralih ke pasokan asing. Kalau demikian, wajar Indonesia menjadi surga bagi pemodal asing.....

Sekali lagi, dengan semangat mencintai Indonesia negara kita tercinta, semoga kekhawatiran saya di atas salah dan tidak beralasan.

[masdewo@aol.com]

Meletakkan Dasar Kecerdasan Finansial Pada Anak


Pagi ini saya membaca suatu artikel di internet mengenai peletakan dasar kecerdasan finansial pada anak. Ini bukan cuma sebatas retorika, atau pendidikan saja. Tapi ini merupakan suatu pelatihan dan pengajaran melalui contoh dan teladan (learning by doing & learning through example) secara konsisten. Orang tua yang boros, yang konsumtif, yang senang bergaya dengan barang mahal dan ikut mode terbaru, hampir nihil harapannya untuk memperoleh anak-anak yang cerdas secara finansial.

Disebutkan bahwa seorang peneliti di Stanford (AS), Walter Mischel, melakukan pengujian jangka panjang atas perilaku sejumlah anak di tahun '60-an. Masing-masing anak diberikan sepiring gula-gula marshmallow dan diminta untuk menunggu orang dewasa datang 15 menit kemudian untuk memperoleh ijin mengambil dan memakannya. Sejumlah anak langsung memungut dan menyantapnya. Sejumlah anak menunggu sekian menit atau setelah pemberi instruksi pergi untuk mengambil dan memakan gula-gulanya. Dan ada sedikit yang tersisa, yang benar-benar menunggu 15 menit hingga ada orang dewasa datang untuk meminta gula-gula itu dan memakannya. Dua puluh tahun kemudian, ditemui bahwa yang sedikit dan mampu menunggu tersebut (disebutnya "delayed gratification" atau imbalan yang tertunda) memperoleh score masuk ke Universitas yang jauh lebih tinggi dari yang tidak mampu menunggu, memiliki kehidupan finansial yang lebih mapan, perkawinan yang tenang, karir yang sukses dan kehidupan sosial yang lebih baik. Sementara pada kadar yang berbeda, mereka yang tidak mampu menunggu ditemui rata-rata mengalami masalah di pendidikan, karir, perkawinan dan kehidupan sosial. Tercatat sejumlah diantaranya yang bahkan tidak mampu menunggu sama sekali, setelah dewasa memiliki masalah dengan perilaku dan kontrol diri.

Cerita dari penelitian di atas menjadikan suatu statement, bahwa kesuksesan seorang anak tidak ditentukan dari tinggi-rendahnya nilai IQ mereka tapi dari kemampuannya untuk menahan diri dan menerima "delayed gratification". Dan kedua hal tersebut adalah suatu bentuk kecerdasan tersendiri yang menentukan sukses tidaknya seseorang dalam hidup mereka kelak. Bertentangan dengan banyak anggapan umum yang beredar, bahwa kecerdasan finansial pada anak diletakkan pada pengajaran dan pelatihan menabung. Ini tidak sepenuhnya salah, namun tidak bisa dianggap benar pula. Menabung adalah menunda pembelanjaan semata, dan menabung hanya memiliki satu objektif : ada uang tunai yang bisa digunakan sewaktu-waktu karena tidak habis dibelanjakan, melainkan disimpan. Menabung hanya mengajarkan sedikit dari kecerdasan finansial : bersabar dan menyimpan. Sementara kecerdasan finansial yang harus dimiliki setiap orang dan dipupuk sejak kecil cukup luas cakupannya, yaitu bukan cuma bersabar dan menyimpan, namun juga mengembangkan hasil simpanannya, melakukan pembelanjaan yang efektif dan efisien, menentukan prioritas dan melakukan aktivitas finansial yang produktif.

Secara umum, kecerdasan finansial bagi anak dapat dirumuskan dalamlima kemampuan berikut : 1) Menunggu ; 2) Membuat Daftar Keinginan ; 3) Menentukan Prioritas ; 4) Berinvestasi ; 5) Berhitung. Apa maksudnya ?

Menunggu. Menunggu memang membosankan, apalagi bagi anak kecil yang umumnya eksplosif dan ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya. Justru ini adalah jebakan dan tantangannya. Menanamkan kesabaran dan makna dari menunggu ini yang akan menentukan perjalanan hidup finansialnya kelak. Berapa banyak kita melihat orang dewasa di sekitar kita yang tidak mampu mengelola kesabaran dan menemukan makna dari penantian, untuk kemudian merusak hidupnya sendiri ? Dengan mengajarkan bersabar, menggali manfaat dari penantiannya, dan secara tekun melakukan pengamatan akan buah dari kesabarannya menunggu, akan mengarahkan anak pada karakter hati-hati, penuh perhitungan dan mampu menghargai waktu dengan baik. Ketiga hal itu, ternyata pernah saya temui di suatu pelatihan investasi saham dan valas. Menarik bukan ?

Daftar Keinginan. Berapa banyak dari kita yang sudah dewasa ini mampu membuat, apalagi mengelola dengan baik, suatu daftar keinginan ? Wish List, begitu istilah asingnya, menjadi momok saat kita diminta membuat daftar keinginan namun yang masuk akal, proporsional dan memiliki nilai tambah. Membuat daftar keinginan itu mudah, tinggal tancap gas di imajinasi dan hawa nafsu kita, satu detik pun jadilah. Namun membuat daftar keinginan secara rutin dan berkala, yang memiliki nilai tambah dan proporsional, untuk kemudian mampu dikelola, dimonitor dan dievaluasi, itu amat sulit. Bayangkan jika kemampuan ini diajarkan dan dilatih sejak kecil, bukan tidak mungkin diperoleh seorang anak usia 10 tahun yang lebih layak didudukkan di kursi eksekutif dibandingkan manajer berpengalaman belasan tahun. Saya pernah tertegun mendengar cerita seorang anak kawan saya berusia 8 tahun yang di wish list saat tahun barunya mencantumkan "ingin punya mainan playstation terbaru dan CD permainannya yang paling baru, supaya bisa saya mainkan dan saya sewakan ke rekan-rekan saya yang ingin bermain bersama-sama". Ini bukan cuma mencantumkan kejujuran dan kepolosan seorang anak, namun juga menampilkan kedewasaan finansialnya : membuat wish list yang wajar (proporsional), namun memiliki nilai tambah, dan dapat dimonitor dan dikelolanya.

Prioritas. Yang diinginkan banyak, yang dibutuhkan pun juga banyak. Lalu yang mana yang harus dilakukan atau diperoleh terlebih dahulu ? Itulah dilema yang ditemui semua manusia dalam semua tahapan hidupnya. Sekaya apapun atau semampu apapun seseorang, dilema itu akan selalu ada. Kecerdasan dalam menentukan prioritas dan disiplin dalam memelihara prioritas tersebut, adalah salah satu kunci sukses utama seseorang. Dalam prioritas, terkandung tiga hal : mendahulukan sesuatu yang memiliki tingkat urgensi lebih tinggi, mendahulukan sesuatu yang memiliki dampak langsung dan manfaat lebih besar, serta mendahulukan sesuatu yang menghabiskan upaya atau pengorbanan lebih rendah. Dalam bisnis, kehidupan finansial, pengambilan keputusan di bidang apapun, ketiga prinsip tersebut adalah prinsip dasarnya. Anak saya baru masuk SD dan saat memilih kegiatan ekstrakurikuler dia mengatakan "Jika ikut kegiatan seni musik atau menggambar, bukan cuma aku senang tapi nanti aku bisa dapat uang karena bermain musik untuk orang lain atau jual gambar saya, uangku juga utuh karena tidak perlu beli sepatu bola". Sederhana, tapi terkandung pengambilan keputusan yang baik berdasarkan penetapan prioritas dan kalkulasi cost/benefit secara sederhana ala anak usia 6 tahun.

Berinvestasi. Seperti disampaikan, menabung saja tidaklah cukup. Apa yang berhasil disisihkan harus dikelola agar nilainya bertambah. Added Value atau Nilai Tambah adalah konsep yang harus ditanamkan sejak dini sehingga menjadi karakter dan perilaku yang melekat dalam setiap tahapan hidup. Karakter dan perilaku berbasis nilai tambah ini akan membentuk etika, etos dan attitude yang mumpuni di dunia kerja dan aktivitas sosial seseorang. Investasi secara sederhana tidak semata soal uang, tapi juga pergaulan, waktu dan keahlian. Dalam konteks uang, mengajarkan anak-anak dengan membeli reksadana atau membuka deposito adalah suatu pengajaran yang luar biasa besar manfaatnya. Ajari juga mereka untuk berinvestasi dalam bentuk pergaulan dan keahlian. Seorang taipan nasional mengatakan bahwa kunci suksesnya hanya tiga : berdoa, berusaha, dan berkawan. Di setiap hal, di setiap waktu, di setiap tempat. Saya rasa beliau benar, dan kebajikan ini rasanya harus kita terapkan di hidup kita untuk kita ajarkan kepada anak-anak kita.

Berhitung. Pada akhirnya, menurut ayah saya "di dunia ini yang paling benar setelah agama dan kitab suci adalah matematika". Tidak ada gunanya punya etika, etos dan attitude tanpa mampu berkalkulasi dengan baik. Contoh dalam aktivitas belajar berinvestasi, ajari anak-anak untuk membagi dua uangnya di jumlah yang sama : di tabungan dan di reksadana. Lalu ajak mereka secara rutin memantau hasil investasinya dan bandingkan dengan apa yang terjadi di tabungannya. Namun berikan pemahaman pula bahwa menabung juga penting karena kita perlu dana darurat. Dengan demikian akan diperoleh juga konsep prioritas dan pengelolaan keinginan (wish list). Menggunakan teknis perbandingan adalah pelajaran kalkulasi sederhana untuk mengukur kinerja investasi dan manfaat dari pilihan yang diambil. Kemampuan berhitung ini harus terus dilatih dan dikembangkan. Bahkan perlu dirangsang terus dengan aneka opsi dan alternatif lain setelah menjadi semakin mahir, misalkan beberapa alternatif investasi untuk anak-anak.

Selamat bermain dan berlatih untuk menjadi Cerdas Finansial bersama putra-putri anda !

[masdewo@aol.com]

Sunday, August 1, 2010

Pak Satpam...

Saya berbagi peran, tugas dan tanggung jawab mengenai anak-anak kami dengan istri saya. Pengasuhan, pengajaran, dan hal-hal lain kami kerjakan berdua tanpa bantuan tenaga "outsource" karena memang kami meyakini, kami lah yang terbaik bagi mereka. Sayang, prinsip ini tidak diamini oleh semua orang. Ijinkan saya berbagi kisah..

Setiap Senin, Rabu dan Jumat, saya lah yang antarkan putra-putra kami bersekolah, karena ibunya harus mengajar dan berangkat lebih pagi agar bisa jemput mereka di siang harinya. Dua hari lalu, Jumat pagi, saya bersua dengan ayah dari salah seorang kawan sekelas putra bungsu saya. Kami bertegur sapa, dan ia bertutur "kami dipanggil oleh ibu guru".. Ada apa?

Rupanya ibu guru hendak berbagi kisah dan berkonsultasi dengan kedua orang tua, karena beberapa hari sebelumnya ada materi di kelas dimana semua anak diminta membuat karangan "saya ingin menjadi apa, dan kenapa saya ingin menjadi demikian". Di luar dugaan, dengan aneka imajinasi kreatif dan cita-cita yang polos dari anak-anak tersebut, seorang anak lelaki menuliskan "saya ingin menjadi Satpam" dan "supaya saya disayang anak-anak dan bisa menemani anak-anak kesepian"...

Pasangan ini tampak jelas, jauh lebih kaya dan makmur jika dibandingkan dengan kami. Keduanya bekerja dan sudah memiliki posisi yang tinggi. Dalam usia relatif muda, tampak sudah mapan kehidupannya, dan dikaruniai dua putra. Si anak lelaki tersebut yang berusia lima tahun lebih, dan adik perempuannya, sekitar dua tahun. Si ayah bercerita, ia dan istrinya amat terpukul membaca karangan putranya, dan mendengar penuturan ibu guru. Terlebih melihat sosok pak Satpam yang diidolakan putra mereka.

Pak Satpam sekolah, di usianya yang mungkin baru empatpuluhan, tampak lebih tua, mungkin bagian dari jejak penderitaannya. Kami sudah lama tahu, ia hidup sebatang kara, ditinggalkan istri dan anak-anaknya karena dianggap tidak mampu hidupi keluarganya. Satpam ini bukan hanya tua, tapi juga cacat, karena kecelakaan, yang menjadikannya sulit bekerja di bidang lain. Namun kami bisa melihat kecintaannya yang amat besar pada anak-anak. Sejujurnya, dari interaksi dengannya, saya mempelajari sejumlah trik untuk menangani anak-anak.

Setiap hari, pak Satpam lah yang membukakan pintu bagi sang putra, menemaninya minum susu sebelum masuk kelas, dan menanyakan kabar anak tersebut. Sama persis dengan yang dilakukannya pada semua anak, termasuk putra-putra kami. Siang hari, mulai tampak bedanya. Pak Satpam lah yang menemani si bocah bercerita dan bermain hingga si anak dijemput, sekitar satu jam dari waktu kepulangannya, karena sopir dan mobilnya harus menempuh macet dari kantor orang tuanya.

Yang tidak banyak orang tau, kecuali ibu guru dan beberapa penjemput termasuk kami, adalah bagaimana pak Satpam memberikan apa yang tidak pernah diberikan oleh orang tua anak tersebut. Tiap siang, bapak tua itu menanyakan apa yang dipelajari hari ini, meminta si anak untuk menunjukkan hasil karyanya, memuji hasil karya anak tersebut, dan memberikan buah tangan ala kadarnya. Satu dua kali kami pun pernah melihat si bapak tua ini membelikan roti karena si bocah sudah terlalu lapar, dan menyuapi, membelai atau memangku saat menemani si bocah.

Bapak ini sebenarnya cukup terampil dalam seni melipat dan menggunting kertas. Sekolah pun banyak dibantu untuk aneka hiasan kertas. Namun tampaknya orang tua yang malang dan bodoh itu terlalu sibuk atau merasa waktunya terlalu penting untuk memperhatikan dari mana asal aneka origami hewan dan ornamen dari kertas yang ada di kamar anaknya.

Singkat kata, si ayah telah menjadi sapi perah untuk mencukupi nafkah fisik keluarga, demikian pula si ibu. Dan perlahan tapi pasti, si anak sudah mantap mengidolakan pak satpam sekolah yang sudah tua dan sederhana.

Sebagaimana pasangan ini tahu mengenai putra pertama kami yang sudah mendahului kami, maka menutup pertemuan pagi itu saya hanya mampu ucapkan "mas, kasihan putranya, dibagi waktu dan perhatiannya, jangan sampai terlambat, apapun yang kita punya tidak akan pernah cukup untuk gantikan putra kita". Ia hanya berterima kasih lirih dan sampaikan "putra njenengan bolak balik juara quiz di kelas dan bilang ditemani bapak ibunya belajar. Kami perlu belajar banyak mas".

Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kantor yang amat macet karena saya sudah terlambat, tidak hentinya saya mengingat isi halaman terakhir buku penghubung putra saya, ibu guru menulis "bapak/ibu yth. ijinkan kami untuk meminta sedikit waktu bapak/ibu di parent gathering mendatang untuk berbagi kiat pengasuhan. putra bapak/ibu amat bangga akan orang tuanya dan sampaikan ke semua orang bahwa ia selalu semangat ke sekolah karena ia selalu merasa ditemani orang tuanya baik saat ia sedang berhasil maupun gagal".

Tiba-tiba saya merasa, rapat di kantor, aneka report, kartu nama dengan corporate title mentereng, ruang kerja nan mewah serta aneka pernak pernik dunia profesional yang saya sudah capai selama ini, menjadi tidak seindah dulu. Saya punya yang jauh, amat jauh, lebih indah dari itu semua. Di rumah kami.

[masdewo@aol.com]

"love the country, just hate the leaders and the politicians"