Thursday, August 5, 2010
Meletakkan Dasar Kecerdasan Finansial Pada Anak
Pagi ini saya membaca suatu artikel di internet mengenai peletakan dasar kecerdasan finansial pada anak. Ini bukan cuma sebatas retorika, atau pendidikan saja. Tapi ini merupakan suatu pelatihan dan pengajaran melalui contoh dan teladan (learning by doing & learning through example) secara konsisten. Orang tua yang boros, yang konsumtif, yang senang bergaya dengan barang mahal dan ikut mode terbaru, hampir nihil harapannya untuk memperoleh anak-anak yang cerdas secara finansial.
Disebutkan bahwa seorang peneliti di Stanford (AS), Walter Mischel, melakukan pengujian jangka panjang atas perilaku sejumlah anak di tahun '60-an. Masing-masing anak diberikan sepiring gula-gula marshmallow dan diminta untuk menunggu orang dewasa datang 15 menit kemudian untuk memperoleh ijin mengambil dan memakannya. Sejumlah anak langsung memungut dan menyantapnya. Sejumlah anak menunggu sekian menit atau setelah pemberi instruksi pergi untuk mengambil dan memakan gula-gulanya. Dan ada sedikit yang tersisa, yang benar-benar menunggu 15 menit hingga ada orang dewasa datang untuk meminta gula-gula itu dan memakannya. Dua puluh tahun kemudian, ditemui bahwa yang sedikit dan mampu menunggu tersebut (disebutnya "delayed gratification" atau imbalan yang tertunda) memperoleh score masuk ke Universitas yang jauh lebih tinggi dari yang tidak mampu menunggu, memiliki kehidupan finansial yang lebih mapan, perkawinan yang tenang, karir yang sukses dan kehidupan sosial yang lebih baik. Sementara pada kadar yang berbeda, mereka yang tidak mampu menunggu ditemui rata-rata mengalami masalah di pendidikan, karir, perkawinan dan kehidupan sosial. Tercatat sejumlah diantaranya yang bahkan tidak mampu menunggu sama sekali, setelah dewasa memiliki masalah dengan perilaku dan kontrol diri.
Cerita dari penelitian di atas menjadikan suatu statement, bahwa kesuksesan seorang anak tidak ditentukan dari tinggi-rendahnya nilai IQ mereka tapi dari kemampuannya untuk menahan diri dan menerima "delayed gratification". Dan kedua hal tersebut adalah suatu bentuk kecerdasan tersendiri yang menentukan sukses tidaknya seseorang dalam hidup mereka kelak. Bertentangan dengan banyak anggapan umum yang beredar, bahwa kecerdasan finansial pada anak diletakkan pada pengajaran dan pelatihan menabung. Ini tidak sepenuhnya salah, namun tidak bisa dianggap benar pula. Menabung adalah menunda pembelanjaan semata, dan menabung hanya memiliki satu objektif : ada uang tunai yang bisa digunakan sewaktu-waktu karena tidak habis dibelanjakan, melainkan disimpan. Menabung hanya mengajarkan sedikit dari kecerdasan finansial : bersabar dan menyimpan. Sementara kecerdasan finansial yang harus dimiliki setiap orang dan dipupuk sejak kecil cukup luas cakupannya, yaitu bukan cuma bersabar dan menyimpan, namun juga mengembangkan hasil simpanannya, melakukan pembelanjaan yang efektif dan efisien, menentukan prioritas dan melakukan aktivitas finansial yang produktif.
Secara umum, kecerdasan finansial bagi anak dapat dirumuskan dalamlima kemampuan berikut : 1) Menunggu ; 2) Membuat Daftar Keinginan ; 3) Menentukan Prioritas ; 4) Berinvestasi ; 5) Berhitung. Apa maksudnya ?
Menunggu. Menunggu memang membosankan, apalagi bagi anak kecil yang umumnya eksplosif dan ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya. Justru ini adalah jebakan dan tantangannya. Menanamkan kesabaran dan makna dari menunggu ini yang akan menentukan perjalanan hidup finansialnya kelak. Berapa banyak kita melihat orang dewasa di sekitar kita yang tidak mampu mengelola kesabaran dan menemukan makna dari penantian, untuk kemudian merusak hidupnya sendiri ? Dengan mengajarkan bersabar, menggali manfaat dari penantiannya, dan secara tekun melakukan pengamatan akan buah dari kesabarannya menunggu, akan mengarahkan anak pada karakter hati-hati, penuh perhitungan dan mampu menghargai waktu dengan baik. Ketiga hal itu, ternyata pernah saya temui di suatu pelatihan investasi saham dan valas. Menarik bukan ?
Daftar Keinginan. Berapa banyak dari kita yang sudah dewasa ini mampu membuat, apalagi mengelola dengan baik, suatu daftar keinginan ? Wish List, begitu istilah asingnya, menjadi momok saat kita diminta membuat daftar keinginan namun yang masuk akal, proporsional dan memiliki nilai tambah. Membuat daftar keinginan itu mudah, tinggal tancap gas di imajinasi dan hawa nafsu kita, satu detik pun jadilah. Namun membuat daftar keinginan secara rutin dan berkala, yang memiliki nilai tambah dan proporsional, untuk kemudian mampu dikelola, dimonitor dan dievaluasi, itu amat sulit. Bayangkan jika kemampuan ini diajarkan dan dilatih sejak kecil, bukan tidak mungkin diperoleh seorang anak usia 10 tahun yang lebih layak didudukkan di kursi eksekutif dibandingkan manajer berpengalaman belasan tahun. Saya pernah tertegun mendengar cerita seorang anak kawan saya berusia 8 tahun yang di wish list saat tahun barunya mencantumkan "ingin punya mainan playstation terbaru dan CD permainannya yang paling baru, supaya bisa saya mainkan dan saya sewakan ke rekan-rekan saya yang ingin bermain bersama-sama". Ini bukan cuma mencantumkan kejujuran dan kepolosan seorang anak, namun juga menampilkan kedewasaan finansialnya : membuat wish list yang wajar (proporsional), namun memiliki nilai tambah, dan dapat dimonitor dan dikelolanya.
Prioritas. Yang diinginkan banyak, yang dibutuhkan pun juga banyak. Lalu yang mana yang harus dilakukan atau diperoleh terlebih dahulu ? Itulah dilema yang ditemui semua manusia dalam semua tahapan hidupnya. Sekaya apapun atau semampu apapun seseorang, dilema itu akan selalu ada. Kecerdasan dalam menentukan prioritas dan disiplin dalam memelihara prioritas tersebut, adalah salah satu kunci sukses utama seseorang. Dalam prioritas, terkandung tiga hal : mendahulukan sesuatu yang memiliki tingkat urgensi lebih tinggi, mendahulukan sesuatu yang memiliki dampak langsung dan manfaat lebih besar, serta mendahulukan sesuatu yang menghabiskan upaya atau pengorbanan lebih rendah. Dalam bisnis, kehidupan finansial, pengambilan keputusan di bidang apapun, ketiga prinsip tersebut adalah prinsip dasarnya. Anak saya baru masuk SD dan saat memilih kegiatan ekstrakurikuler dia mengatakan "Jika ikut kegiatan seni musik atau menggambar, bukan cuma aku senang tapi nanti aku bisa dapat uang karena bermain musik untuk orang lain atau jual gambar saya, uangku juga utuh karena tidak perlu beli sepatu bola". Sederhana, tapi terkandung pengambilan keputusan yang baik berdasarkan penetapan prioritas dan kalkulasi cost/benefit secara sederhana ala anak usia 6 tahun.
Berinvestasi. Seperti disampaikan, menabung saja tidaklah cukup. Apa yang berhasil disisihkan harus dikelola agar nilainya bertambah. Added Value atau Nilai Tambah adalah konsep yang harus ditanamkan sejak dini sehingga menjadi karakter dan perilaku yang melekat dalam setiap tahapan hidup. Karakter dan perilaku berbasis nilai tambah ini akan membentuk etika, etos dan attitude yang mumpuni di dunia kerja dan aktivitas sosial seseorang. Investasi secara sederhana tidak semata soal uang, tapi juga pergaulan, waktu dan keahlian. Dalam konteks uang, mengajarkan anak-anak dengan membeli reksadana atau membuka deposito adalah suatu pengajaran yang luar biasa besar manfaatnya. Ajari juga mereka untuk berinvestasi dalam bentuk pergaulan dan keahlian. Seorang taipan nasional mengatakan bahwa kunci suksesnya hanya tiga : berdoa, berusaha, dan berkawan. Di setiap hal, di setiap waktu, di setiap tempat. Saya rasa beliau benar, dan kebajikan ini rasanya harus kita terapkan di hidup kita untuk kita ajarkan kepada anak-anak kita.
Berhitung. Pada akhirnya, menurut ayah saya "di dunia ini yang paling benar setelah agama dan kitab suci adalah matematika". Tidak ada gunanya punya etika, etos dan attitude tanpa mampu berkalkulasi dengan baik. Contoh dalam aktivitas belajar berinvestasi, ajari anak-anak untuk membagi dua uangnya di jumlah yang sama : di tabungan dan di reksadana. Lalu ajak mereka secara rutin memantau hasil investasinya dan bandingkan dengan apa yang terjadi di tabungannya. Namun berikan pemahaman pula bahwa menabung juga penting karena kita perlu dana darurat. Dengan demikian akan diperoleh juga konsep prioritas dan pengelolaan keinginan (wish list). Menggunakan teknis perbandingan adalah pelajaran kalkulasi sederhana untuk mengukur kinerja investasi dan manfaat dari pilihan yang diambil. Kemampuan berhitung ini harus terus dilatih dan dikembangkan. Bahkan perlu dirangsang terus dengan aneka opsi dan alternatif lain setelah menjadi semakin mahir, misalkan beberapa alternatif investasi untuk anak-anak.
Selamat bermain dan berlatih untuk menjadi Cerdas Finansial bersama putra-putri anda !
[masdewo@aol.com]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment