Wednesday, August 11, 2010

Mengenang Kesederhanaan Ayah


Tiga minggu lalu, ayah saya berulang tahun ke-67. Sungguh bukan usia yang muda sekalipun banyak yang tetap hidup sehat hingga usia jauh di atas usia beliau. Alhamdulillah beliau tetap sehat dan saat kami bermain berkunjung untuk menyelamati beliau, hanya satu keinginan yang disampaikan : ingin bisa bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Saya mengingatnya dalam hati dan Alhamdulillah pula beliau telah bertemu bulan suci Ramadhan hari ini dan saat ditelepon, terdengar antusiasmenya berjumpa dengan bulan suci.

Saya mengenang beliau, bukan hanya sebagai ayah, namun juga sebagai guru dan kawan. Dengan karakter beliau yang halus dan tenang, terasa sulit bagi beliau untuk menjadi nakhoda keluarga, karena ada Ibu yang berkarakter keras, meledak-ledak dan ekspresif. Naluri dan karakter sebagai pengajar, dimana beliau sejak masa kuliah telah menjadi guru, begitu menonjol. Beliau cenderung tidak suka tampil, sebatas menjalankan peran di belakang layar dan mengusung prinsip Tut Wuri Handayani. Jika kami menegurnya karena terlalu pasif di hadapan Ibu yang demikian perkasa, beliau hanya terkekeh "kalau dua-duanya nge-gas dan gak ada yang nge-rem, nabrak nanti kita semua". Beliau juga seseorang yang amat religius dan teratur. Sampai hari ini saya susah mencerna mengapa ada manusia yang harus tidur jam 9 malam dan harus bangun jam 5 pagi, mencukupkan makan (yang menurut saya amat sedikit) dan begitu senang berjalan kaki kemana-mana. Saya hanya diam saja karena mendapati fakta, beliau sehat dan belum pernah dirawat di Rumah Sakit.

Sebagai guru, ratusan atau ribuan sudah pujian disampaikan oleh kolega, staff dan mahasiswa beliau akan dedikasi dan komitmen yang telah diberikan pada kegiatan transfer ilmu dan pengetahuan. Beliau selalu sampaikan pada kami putra-putranya, "sempatkan menjadi guru, tidak dalam konteks formal, namun sebagai orang yang membagikan ilmu, pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dimiliki kepada orang lain, nikmatnya langsung terasa di dunia, lihatlah wajah dan ekspresi dari orang yang kau bagi ilmu dan pengetahuan tersebut, langsung berbinar dan akan menjadikan kenikmatan batin luar biasa". Beliau benar, bahkan jika kita bagikan makanan pada orang yang kelaparan, umumnya ucapan terima kasih dan santapan giat nan rakus yang akan kita lihat, niscaya bukan rasa bahagia yang muncul namun rasa trenyuh, iba dan miris melihat pemandangan tersebut.

Kini, beliau masih mengajar, beliau masih menjadi guru. Bukan cuma dalam arti harfiah berdiri di depan kelas mengajar mahasiswa-mahasiswanya, namun juga secara online melalui teleconference dan webchat. Untuk seseorang seusianya, ketajaman beliau dan rasa haus akan ilmu pengetahuan begitu nyata, diiringi dengan semangat dan stamina fisik yang prima. Beliau tidak hanya mengajar di dua universitas swasta terkenal, namun secara rutin masih melakukan sesi mentoring dan coaching di institusi pemerintahan tempatnya dulu aktif berdinas. Tidak terasa, kami bertiga putra-putrinya, mengikuti jejak beliau. Saya terkadang menjadi pengajar di suatu program di suatu universitas swasta dan di almamater saya sendiri. Kedua adik saya, bahkan resmi menjadi dosen dan peneliti di bidangnya. Uniknya, sebagai dosen karir, adik saya saat ini berstatus atasan dari ayah saya di universitas tersebut.... Dan dia cukup sering mengeluh karena dokumen yang dibuatnya dikritik habis Ayah saya di rumah...

Ayah saya tidak punya ambisi. Itu yang saya ingat juga darinya. Dulu, kalaupun itu bisa disebut ambisi - saya lebih senang menyebutnya pengharapan, ia hanya ingin kami bertiga sekolah setinggi mungkin, bekerja dengan baik dan bersih, menjalani hidup dengan baik dan menjadi orang yang shaleh. Saat ini, keinginan itu diucapkan lagi dengan cucu-cucunya sebagai obyek, tapi dengan pengharapan yang persis sama. Plus, keinginannya untuk tetap diberi kemampuan berguna bagi sesama dan beramal shaleh agar bisa mati dalam keadaan terbaik, khusnul khatimah, urainya. Sebagai peneliti, praktis kata karir jauh dari isi kepalanya. Ibu saya pernah mengkritiknya sebagai orang yang "berpacu melawan dirinya sendiri". Namun, saya mengingat betul satu pesan beliau, "jika kamu harus ditakdirkan hancur, hancurlah dalam keadaan bersih, jangan pernah hancur dalam keadaan kotor".

Beliau nyata-nyata bersih, sederhana, jika tidak boleh dikatakan miskin. Tidak banyak yang diperolehnya sebagai pegawai negeri peneliti sekalipun tingkat kepegawaiannya sudah mentok. Gaji yang diperoleh plus tunjangan, hanya cukup untuk hidup. Tidak bisa menabung. Rumah kami dari instansi yang dicicil selama 20 tahun, begitupula kendaraan beliau, setelah 10 tahun bisa kami beli dengan nilai yang amat rendah. Sekolah kami praktis dibayar dari fasilitas kantor yang memberikan tunjangan pendidikan bagi anak-anak yang berprestasi. Kami ingat, intimidasi untuk beliau tidak jarang "mampir" ke rumah kami, dalam bentuk surat kaleng, telepon gelap maupun batu yang dilempar pengendara motor. Dan sebabnya itu-itu saja : Ayah mengembalikan dana sisa operasional proyek yang tidak terpakai, Ayah menolak melakukan pembelian inventaris laboratorium kantor yang berkualitas rendah dengan harga mahal sekalipun ditawari "pelicin", dan Ayah tidak pernah bersedia memilih Golkar di era Pemilihan Umum ala Orde Baru yang menurutnya "era Setan".

Kami bertiga diminta berjanji padanya, untuk tidak menjadi pegawai negeri, "karena kalian pasti korupsi, jika tidak mencuri uang, kalian akan mencuri waktu karena pendapatan kalian tidak mencukupi". Beliau luluh akhirnya mengijinkan adik terkecil menjadi PNS, karena sebagai dokter, pengabdiannya akan lebih maksimal sebagai PNS. Tiga belas tahun lalu beliau nyaris melempar gelas saat tahu saya yang baru lulus kuliah ditawari paman sebagai asistennya, di suatu departemen yang terkenal "basah" dan amat korup. Untuk karakter yang tenang dan santun, kata-kata beliau amat keras "Kalau kamu mau jadi pencuri, bilang dari dulu supaya kami tidak susah payah sekolahkan kamu". Beliau merujuk pada paman kami yang masih muda dan tergolong amat yunior dibanding beliau, namun sudah memiliki apartemen di luar negeri. Benar juga, uang dari mana ? Sebagai asisten maka cepat atau lambat saya akan mencuri atau setidaknya tahu adanya hal buruk tapi tidak mampu berbuat apapun. Saya berhutang budi pada Ayah saya karena mencegah saya di hari itu.

Tergerak saya menulis memoir ini, karena menerima SMS darinya "Mas, belikan aku asinan ya untuk berbuka, pakai uangmu dulu, uangku habis...".

No comments:

Post a Comment