Sunday, August 1, 2010

Pak Satpam...

Saya berbagi peran, tugas dan tanggung jawab mengenai anak-anak kami dengan istri saya. Pengasuhan, pengajaran, dan hal-hal lain kami kerjakan berdua tanpa bantuan tenaga "outsource" karena memang kami meyakini, kami lah yang terbaik bagi mereka. Sayang, prinsip ini tidak diamini oleh semua orang. Ijinkan saya berbagi kisah..

Setiap Senin, Rabu dan Jumat, saya lah yang antarkan putra-putra kami bersekolah, karena ibunya harus mengajar dan berangkat lebih pagi agar bisa jemput mereka di siang harinya. Dua hari lalu, Jumat pagi, saya bersua dengan ayah dari salah seorang kawan sekelas putra bungsu saya. Kami bertegur sapa, dan ia bertutur "kami dipanggil oleh ibu guru".. Ada apa?

Rupanya ibu guru hendak berbagi kisah dan berkonsultasi dengan kedua orang tua, karena beberapa hari sebelumnya ada materi di kelas dimana semua anak diminta membuat karangan "saya ingin menjadi apa, dan kenapa saya ingin menjadi demikian". Di luar dugaan, dengan aneka imajinasi kreatif dan cita-cita yang polos dari anak-anak tersebut, seorang anak lelaki menuliskan "saya ingin menjadi Satpam" dan "supaya saya disayang anak-anak dan bisa menemani anak-anak kesepian"...

Pasangan ini tampak jelas, jauh lebih kaya dan makmur jika dibandingkan dengan kami. Keduanya bekerja dan sudah memiliki posisi yang tinggi. Dalam usia relatif muda, tampak sudah mapan kehidupannya, dan dikaruniai dua putra. Si anak lelaki tersebut yang berusia lima tahun lebih, dan adik perempuannya, sekitar dua tahun. Si ayah bercerita, ia dan istrinya amat terpukul membaca karangan putranya, dan mendengar penuturan ibu guru. Terlebih melihat sosok pak Satpam yang diidolakan putra mereka.

Pak Satpam sekolah, di usianya yang mungkin baru empatpuluhan, tampak lebih tua, mungkin bagian dari jejak penderitaannya. Kami sudah lama tahu, ia hidup sebatang kara, ditinggalkan istri dan anak-anaknya karena dianggap tidak mampu hidupi keluarganya. Satpam ini bukan hanya tua, tapi juga cacat, karena kecelakaan, yang menjadikannya sulit bekerja di bidang lain. Namun kami bisa melihat kecintaannya yang amat besar pada anak-anak. Sejujurnya, dari interaksi dengannya, saya mempelajari sejumlah trik untuk menangani anak-anak.

Setiap hari, pak Satpam lah yang membukakan pintu bagi sang putra, menemaninya minum susu sebelum masuk kelas, dan menanyakan kabar anak tersebut. Sama persis dengan yang dilakukannya pada semua anak, termasuk putra-putra kami. Siang hari, mulai tampak bedanya. Pak Satpam lah yang menemani si bocah bercerita dan bermain hingga si anak dijemput, sekitar satu jam dari waktu kepulangannya, karena sopir dan mobilnya harus menempuh macet dari kantor orang tuanya.

Yang tidak banyak orang tau, kecuali ibu guru dan beberapa penjemput termasuk kami, adalah bagaimana pak Satpam memberikan apa yang tidak pernah diberikan oleh orang tua anak tersebut. Tiap siang, bapak tua itu menanyakan apa yang dipelajari hari ini, meminta si anak untuk menunjukkan hasil karyanya, memuji hasil karya anak tersebut, dan memberikan buah tangan ala kadarnya. Satu dua kali kami pun pernah melihat si bapak tua ini membelikan roti karena si bocah sudah terlalu lapar, dan menyuapi, membelai atau memangku saat menemani si bocah.

Bapak ini sebenarnya cukup terampil dalam seni melipat dan menggunting kertas. Sekolah pun banyak dibantu untuk aneka hiasan kertas. Namun tampaknya orang tua yang malang dan bodoh itu terlalu sibuk atau merasa waktunya terlalu penting untuk memperhatikan dari mana asal aneka origami hewan dan ornamen dari kertas yang ada di kamar anaknya.

Singkat kata, si ayah telah menjadi sapi perah untuk mencukupi nafkah fisik keluarga, demikian pula si ibu. Dan perlahan tapi pasti, si anak sudah mantap mengidolakan pak satpam sekolah yang sudah tua dan sederhana.

Sebagaimana pasangan ini tahu mengenai putra pertama kami yang sudah mendahului kami, maka menutup pertemuan pagi itu saya hanya mampu ucapkan "mas, kasihan putranya, dibagi waktu dan perhatiannya, jangan sampai terlambat, apapun yang kita punya tidak akan pernah cukup untuk gantikan putra kita". Ia hanya berterima kasih lirih dan sampaikan "putra njenengan bolak balik juara quiz di kelas dan bilang ditemani bapak ibunya belajar. Kami perlu belajar banyak mas".

Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kantor yang amat macet karena saya sudah terlambat, tidak hentinya saya mengingat isi halaman terakhir buku penghubung putra saya, ibu guru menulis "bapak/ibu yth. ijinkan kami untuk meminta sedikit waktu bapak/ibu di parent gathering mendatang untuk berbagi kiat pengasuhan. putra bapak/ibu amat bangga akan orang tuanya dan sampaikan ke semua orang bahwa ia selalu semangat ke sekolah karena ia selalu merasa ditemani orang tuanya baik saat ia sedang berhasil maupun gagal".

Tiba-tiba saya merasa, rapat di kantor, aneka report, kartu nama dengan corporate title mentereng, ruang kerja nan mewah serta aneka pernak pernik dunia profesional yang saya sudah capai selama ini, menjadi tidak seindah dulu. Saya punya yang jauh, amat jauh, lebih indah dari itu semua. Di rumah kami.

[masdewo@aol.com]

"love the country, just hate the leaders and the politicians"

No comments:

Post a Comment