Friday, September 21, 2012

cukup lima menit

Dalam beberapa hari mendatang saya akan menyongsong satu bagian baru dari hidup saya, saya ditugaskan ke Vietnam, negara tetangga yang memiliki demografis amat mirip dengan negara kita. Penugasan itu sendiri demikian strategisnya sehingga orang tertinggi di regional ini yang pimpin langsung team yang bekerja. Sebagai seseorang yang telah habiskan 16 bulan terakhir terjerembab dalam dari karir yang sebelumnya begitu berhasil, setidaknya dari kacamata saya sendiri, tentu peluang ini bagaikan air di suatu oase... mengobati kerinduan berkontribusi ke perusahaan dan menjadi bagian penting dari kesuksesan suatu company.

Saya pun memperoleh sejumlah peluang pengembangan karir, networking dan tentu ilmu pengetahuan yang langka dan belum tentu bisa diperoleh oleh rekan-rekan lain di kantor saya. Sementara, dari aspek remunerasi sudah terbayang di depan mata kemewahan dan aneka fasilitas disana yang akan saya peroleh. Semua saya pikir wajar saja dan alam pikiran bodoh seorang manusia yang mudah lupa, telah menghinggapi saya juga tampaknya. Di kepala saya hanya ada pikiran bagaimana menyelesaikan penugasan disana dengan baik dan membawa keluarga ke tempat yang eksotik itu. Semuanya berbau duniawi dan self centric.

Tiba-tiba semua berubah saat saya selesai makan siang selepas shalat jumat membuka sejumlah website terkait Vietnam dan membaca aneka berita sebagai referensi akan rencana kepergian saya. Entah darimana, mungkin saya salah ketik atau salah klik ke link yang tersedia, saya disuguhkan ke suatu halaman yang berisi artikel mengenai etos kerja orang Vietnam, trauma sisa perang dan anak-anak yang kurang beruntung baik akibat efek langsung dari perang maupun kemiskinan yang timbul sebagai akibatnya.

Sungguh amat melukai hati saya melihat foto-foto bayi-bayi yang setelah satu-dua generasi masih cacat karena terpapar efek penggunaan bom kimia dan zat beracun oleh Amerika Serikat di perang Vietnam. Bukan hanya cacat fisik ternyata, namun juga retardasi mental dan aneka akibat buruk lainnya termasuk efek psikologis. Juga ditampilkan foto-foto mengenai obyek wisata ex perang berupa museum perang Vietnam dan situs-situs ex perang seperti terowongan, kamp konsentrasi dan sisa-sisa senjata berat yang digunakan. Membaca cerita mengenai pembantaian yang dilakukan terhadap rakyat sipil oleh prajurit asing di tanah mereka, tanah yang tidak bisa lagi ditanami karena hancur strukturnya terkena bom napalm yang membakar, termasuk mereka yang cacat karena luka bakar parah akibat bom tersebut.

Gambaran pedih muncul saat terpampang foto satu keluarga yang cacat mental dengan orang tua yang cacat fisik akibat perang, baik amputasi maupun bekas luka bakar, keluarga ini hidup dari membuat dan menjual kue khas vietnam, seperti serabi saya melihatnya, dan ketiga bersaudara itu menjajakan kue tersebut dengan berjalan mempergunakan tangan karena kedua kaki mereka yang tidak ada sejak lahir karena sang ibu terpapar radiasi. Merekapun menderita retardasi mental sehingga berapapun yang diberi orang mereka senang, karena tidak paham nilai uang...

Cukup lima menit halaman itu merubah isi kepala saya. Cukup lima menit untuk merubah berbagai optimisme yang ada di kepala saya menjadi suatu rasa sedih dan menyesal karena saya lupa memperhitungkan bahwa tempat yang saya kunjungi tersebut pada suatu waktu di masa lampau (dan mungkin hingga saat ini) menjadi panggung pertunjukan tragedi kemanusiaan yang panjang dan amat kejam. Rasanya saya merasa tidak pantas dengan tawaran untuk hidup di apartemen mewah senilai nyaris dua juta rupiah per malamnya sementara di negara tersebut bahkan seorang lulusan sarjana pun harus puas dengan gaji kurang dari separuh nilai tersebut setiap bulannya.

Saya pun kembali mendarat di bumi, tempat dimana negara yang membesarkan saya berada, tempat dimana begitu banyak kemiskinan setara juga merajalela sebagaimana yang pernah saya saksikan sendiri di sejumlah perjalanan yang saya lakukan ke berbagai sudut nusantara. Pada akhirnya, sesaat sebelum saya memulai tulisan ini, saya bersyukur, saya diingatkan kembali akan pentingnya untuk tetap sederhana, mengambil yang dibutuhkan saja bukan yang diinginkan, dan berkontribusi untuk mereka yang kurang beruntung di sekitar kita.