Tuesday, August 31, 2010

James Bond dan kita



Pasti kenal dooong sama logo itu ? Logo agen rahasia Inggris dengan kode 007 alias James Bond. Sejak tahun 1960 melalui episode perdana "Dr. No", karakter James Bond merasuki banyak orang dengan kelebihan-kelebihannya yang bisa jadi 90% fictious, tapi tetap enak dinikmati. "Enak, gak usah mikir, pokoknya menang terus dan tricky, kocak juga", demikian komentar bapak saya yang juga sama-sama penggemar James Bond. Seluruh episode kami punya salinannya dan masih setia isi hari-hari libur kami hingga sekarang.

Namun, bagi saya pribadi, sosok James Bond bukan cuma sekedar sosok hero fiktif yang serba menang, ganteng dan serba jago : jago brantem, jago akal-akalan, jago judi dan jago cewek. Sosok ini sebenarnya inspirasi positif untuk karir dan diterapkan di dunia kerja. Oooops jangan salah, saya nggak anjurkan orang jadi tukang main cewek di tempat kerja ya !

Saya mencoba untuk menterjemahkan etos kerja dan kualitas pribadi seorang profesional yang melekat pada karakter agen rahasia ini, Setidaknya, saya melihat ada tujuh item yang menjadi suatu kualitas yang seharusnya kita miliki jika kita memang hidup dari bidang profesional, yaitu :

1. Disiplin pada tugas dan berorientasi hasil. Karakter ini digambarkan santai namun amat disiplin pada tugasnya, bahkan cenderung berdarah dingin. Kita tidak perlu berdarah dingin lah, karena kita memang bukan agen rahasia, namun apa salahnya menjadi orang yang disiplin pada visi dan misi tugas kita ? Lihatlah aneka iklan lowongan pekerjaan di koran akhir minggu, tujuh puluh persen mensyaratkan kualitas "berorientasi hasil". Jadi kualitas ini bukan monopoli James Bond bukan ?

2. Pemahaman budaya dan organisasi yang baik. Perhatikanlah di setiap episode James Bond, anda akan menemui situasi dimana karakter ini mampu membaurkan dirinya dengan aneka budaya dan ragam kehidupan dimanapun ia ditempatkan. Kita bisa saja bilang "aaah itu kan di felem...", tapi kenyataannya bukanlah hal yang sulit dan buruk untuk menjadi seseorang yang supel, fleksibel dan mampu berbaur. Hal ini ditambahkan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan organisasi yang mengelilinginya. Tidak bisa dipungkiri, sebagai makhluk sosial, manusia dalam aneka problematikanya akan berhadapan dengan eksistensi organisasi sebagai wadah. Dan karakter spy ini selalu terlihat piawai memainkan dirinya untuk beradaptasi dan memanfaatkan organisasi yang di sekelilingnya untuk mencapai tujuannya.

3. "Can do" attitude. Ini terdengar indah dan mudah tapi sulit dan berat diimplementasikan. Budaya diri yang mandiri, bersemangat dan optimis sepertinya memang belum menjadi bagian dari karakter bangsa kita secara luas, tapi tidak ada kata terlambat untuk mengimplementasikannya pada diri kita. Inilah yang akan membedakan diri kita dengan "crowd" atau kerumunan manusia di sekitar kita. Lihatlah James Bond dan aneka petualangannya, selalu menonjolkan can do attitude. Memang ada sutradara dan penulis naskah yang membantunya untuk berhasil, tapi tidak perlu kecil hati. Kita juga punya sutradara sekaligus penulis naskah maha hebat yang selalu siap membantu kita : Tuhan. Masalahnya, seringkali kita memang menolak peran ini, tidak memiliki can do attitude, sehingga sutradara kita tidak sempat menempatkan diri kita sebagai hero di lakon kita sendiri.

4. Broad based networking. Anda pernah melihat James Bond beraksi seorang diri dari awal sampai akhir ? Jawabnya adalah Tidak. Setidaknya kolega-koleganya seperti sekretaris Miss Moneypenny atau Analis Nenek M dan Kepala Teknisi Kakek Q selalu siap membantunya. Jika anda perhatikan, kaitkan dengan poin ke dua di atas, James Bond selalu memanfaatkan kemampuannya berbaur dan memahami orang lain untuk meningkatkan jaringannya demi mencapai tujuannya. Dan, itu pula yang harus kita terapkan dalam hidup kita. Tidak perlu harus menjadi spy yang bertugas di misi hidup mati, untuk menjual produk atau mendesain suatu program, anda pasti butuh jaringan, dan itu menjadi kewajiban anda sendiri untuk mengembangkannya. James Bond tidak sehebat yang anda kira bukan ? Anda bahkan bisa lebih hebat dari James Bond karena anda adalah hero dunia nyata.

5. Skillful. Salah satu kunci penting dari lakon James Bond adalah kemampuannya untuk mengembangkan diri dan menguasai beraneka ragam keahlian. Dan itu bukanlah hal yang tabu atau mustahil. Seorang kawan saya yang sudah eksekutif, menguasai sejumlah keahlian aneh : pijat refleksi, membaca tulisan tangan, membaca bahasa tubuh, menulis steno dan mencongak hitungan matematika. Sampai hari ini, saya belum pernah melihat ia bisa mencapai keberhasilan tanpa keahlian-keahlian tersebut. Bagaimana kita bisa mendahului dirinya mengambil keputusan jika ia mampu mengantisipasi perundingan lebih awal dengan keahliannya membaca bahasa tubuh dan kecepatannya mengolah data di kepalanya dengan cara mencongak ? Dan bagaimana hendak kalahkan kebugarannya jika ia bisa segarkan dirinya sendiri dengan lakukan sejumlah pijatan ringan di tempat yang tepat ?

6. Easy Going. Pernah anda temui James Bond menjadi patah arang, culun dan bloon karena hambatan dalam melaksanakan pekerjaannya ? Anda akan temui bagaimana dalam perannya ia gagal atau meleset, tapi ia akan bangkit. Dengan 3S (semangat, senyum dan santai) plus bumbu humor, bahkan ia bisa menyemangati teamnya. Ini bukan yang memang harus kita lakukan dalam kehidupan nyata ? Keberhasilan memang hanya masalah waktu, sebelumnya aneka kegagalan akan menghantui dan menghampiri kita, itu pasti. Sikap kita lah yang akan menentukan apakah kita menjadi hero atau zero. Target sudah tidak bisa anda geser, tapi anda bisa ubah sikap dan diri anda untuk jawab tantangan dan penuhi target tersebut. Easy Going bukan berarti menggampangkan atau menganggap enteng, sebaliknya justru bersikap calculated, sekalipun berat tetapi tantangan tersebut dapat kita ukur.

7. Perhitungan Yang Matang. Memang di dalam film tentu ada sutradara dan penulis naskah yang telah mengatur semuanya sehingga si jagoan pasti akan menang. Masalahnya, apa yang dilakukannya bukan hal yang mustahil. Mengkoleksi data yang dibutuhkan selengkap mungkin, membuat analisa awal yang seksama, mendiskusikannya dengan kolega yang lebih paham dan ahli, kemudia membuat rencana aksi yang rinci dan rapi, serta terakhir melakukan mitigasi resiko yang komprehensif. Saya rasa tidak perlu menjadi karakter James Bond di film untuk memiliki kualitas demikian. Kita semua mampu memiliki kualitas tersebut dan mengaplikasikannya di pekerjaan kita sehari-hari.

Anda tidak perlu jadi lakon James Bond. Kehidupan anda adalah episode film spionase anda sendiri dimana anda menjadi pemeran utamanya. Andalah yang menentukan siapa anda dan pencapaian anda. Kita semua bisa menjadi James Bond di dunia nyata.

[katjoengkampret@aol.com]

Monday, August 16, 2010

Salah satu potret negara terbelakang

Negara terbelakang, umumnya tidak hanya ditandai dari miskinnya rakyatnya (namun umumnya pejabatnya kaya-kaya), tetapi juga mudah dilihat dari tingkat pencapaian dan pemanfaatan teknologinya. Lebih jauh lagi, ciri-ciri manusia terbelakang adalah fokus pada masalah kecil tetapi gagal melihat (apalagi memecahkan...) masalah yang lebih esensial. Silakan baca artikel berikut dan nilai sendiri...


16 Agustus 2010 | 00.24 WIBRegional
Nelayan Malaysia Tahu Kelemahan Kita

KARIMUN, KOMPAS.com - Penembakan dan penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepulauaun Riau oleh polisi Malaysia di wilayah republik, adalah buntut dari serangkaian kejadian sebelumnya. Yakni, petugas DKP maupun nelayan Indonesia sering memergoki nelayan Malaysia mencari ikan di Tanjung Berakit dan sekitarnya yang masih wilayah Indonesia.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan (KTNA) Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, Amirullah, menyatakan, nelayan asing itu bukan saja dari Malaysia, tetapi juga Thailand dan Vietnam. Mereka mencuri di perairan Indonesia, terutama pada akhir dan awal tahun. Pada Desember hingga Maret setiap tahunnya merupakan pergantian musim barat dengan awal musim utara. Saat itulah jumlah ikan tangkapan sangat banyak.

"Musim itu juga ombak cukup besar. Tapi pada saat ombak besar itulah ikan banyak. Tapi di satu sisi, hal ini sering kali menjadi kendala bagi petugas kita untuk melakukan pengawasan karena sarana dan prasarana yang kurang memadai," ujar Amirullah, Minggu (15/8/2010).

Dikatakan, nelayan-nelayan asing itu memiliki sarana yang lebih
canggih. Misalnya kapalnya modern sehingga ombak besar bukan jadi halangan lagi.

"Dengan kata lain para nelayan asing itu seakan sudah bisa mengukur kekuatan kita dan seolah-olah memanfaatkan kelemahan kita dalam pengawasan," ujar Amirullah.

Tidak hanya itu, lanjut Amirullah, nelayan asing juga tidak segan-segan menggunakan perangkat terlarang, seperti pukat harimau, bubu, rawai atau pancing dan sesekali bom ikan. Kapal mereka pun dari segi ukuran cukup besar, yakni antara 20-50 Grasse Tonase (GT) bahkan ada yang sampai 200 GT.

"Nelayan kita sering memergoki mereka tapi tidak bisa apa-apa. Selain teknologi mereka sudah canggih kemungkinan besar kecepatan kapal mereka juga sudah melebihi 100 knot per jam," ucapnya lagi.
Wilayah Kepulauan Riau Kepri yang lebih dari 90 persen lautan, sering kali jadi sasaran illegal fishing. Mulai dari perairan Pulau Pisang di
sekitar Pulau Tokong Hiu, Karimun dan perairan antara Selat Malaka dan Bengkalis. Demikian juga di perairan Natuna -sekitar Pulau Bone dan Kijang, serta Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan yang terakhir kali menjadi lahan
jarahan tujuh nelayan Malaysia. Peristiwa itu sempat memanaskan lagi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia.

Untuk itu Amirullah meminta pemerintah, baik di daerah maupun pusat untuk lebih perhatian terkait masalah kelautan dan nelayan kita ke depan.

"Masalah ini sebenarnya sudah lama, dan anehnya hal ini cukup
terabaikan. Sekarang sudah kejadian seperti ini, repot kita kan.
Malaysia saja bisa memberikan proteksi lebih kepada nelayan. mereka walaupun itu jelas-jelas mereka salah tapi mereka seakan-akan tidak peduli lagi," keluhnya.

Meet me in twitter @katjoengkampret or visit katjoengkampret.blogspot.com

Wednesday, August 11, 2010

Mengenang Kesederhanaan Ayah


Tiga minggu lalu, ayah saya berulang tahun ke-67. Sungguh bukan usia yang muda sekalipun banyak yang tetap hidup sehat hingga usia jauh di atas usia beliau. Alhamdulillah beliau tetap sehat dan saat kami bermain berkunjung untuk menyelamati beliau, hanya satu keinginan yang disampaikan : ingin bisa bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Saya mengingatnya dalam hati dan Alhamdulillah pula beliau telah bertemu bulan suci Ramadhan hari ini dan saat ditelepon, terdengar antusiasmenya berjumpa dengan bulan suci.

Saya mengenang beliau, bukan hanya sebagai ayah, namun juga sebagai guru dan kawan. Dengan karakter beliau yang halus dan tenang, terasa sulit bagi beliau untuk menjadi nakhoda keluarga, karena ada Ibu yang berkarakter keras, meledak-ledak dan ekspresif. Naluri dan karakter sebagai pengajar, dimana beliau sejak masa kuliah telah menjadi guru, begitu menonjol. Beliau cenderung tidak suka tampil, sebatas menjalankan peran di belakang layar dan mengusung prinsip Tut Wuri Handayani. Jika kami menegurnya karena terlalu pasif di hadapan Ibu yang demikian perkasa, beliau hanya terkekeh "kalau dua-duanya nge-gas dan gak ada yang nge-rem, nabrak nanti kita semua". Beliau juga seseorang yang amat religius dan teratur. Sampai hari ini saya susah mencerna mengapa ada manusia yang harus tidur jam 9 malam dan harus bangun jam 5 pagi, mencukupkan makan (yang menurut saya amat sedikit) dan begitu senang berjalan kaki kemana-mana. Saya hanya diam saja karena mendapati fakta, beliau sehat dan belum pernah dirawat di Rumah Sakit.

Sebagai guru, ratusan atau ribuan sudah pujian disampaikan oleh kolega, staff dan mahasiswa beliau akan dedikasi dan komitmen yang telah diberikan pada kegiatan transfer ilmu dan pengetahuan. Beliau selalu sampaikan pada kami putra-putranya, "sempatkan menjadi guru, tidak dalam konteks formal, namun sebagai orang yang membagikan ilmu, pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dimiliki kepada orang lain, nikmatnya langsung terasa di dunia, lihatlah wajah dan ekspresi dari orang yang kau bagi ilmu dan pengetahuan tersebut, langsung berbinar dan akan menjadikan kenikmatan batin luar biasa". Beliau benar, bahkan jika kita bagikan makanan pada orang yang kelaparan, umumnya ucapan terima kasih dan santapan giat nan rakus yang akan kita lihat, niscaya bukan rasa bahagia yang muncul namun rasa trenyuh, iba dan miris melihat pemandangan tersebut.

Kini, beliau masih mengajar, beliau masih menjadi guru. Bukan cuma dalam arti harfiah berdiri di depan kelas mengajar mahasiswa-mahasiswanya, namun juga secara online melalui teleconference dan webchat. Untuk seseorang seusianya, ketajaman beliau dan rasa haus akan ilmu pengetahuan begitu nyata, diiringi dengan semangat dan stamina fisik yang prima. Beliau tidak hanya mengajar di dua universitas swasta terkenal, namun secara rutin masih melakukan sesi mentoring dan coaching di institusi pemerintahan tempatnya dulu aktif berdinas. Tidak terasa, kami bertiga putra-putrinya, mengikuti jejak beliau. Saya terkadang menjadi pengajar di suatu program di suatu universitas swasta dan di almamater saya sendiri. Kedua adik saya, bahkan resmi menjadi dosen dan peneliti di bidangnya. Uniknya, sebagai dosen karir, adik saya saat ini berstatus atasan dari ayah saya di universitas tersebut.... Dan dia cukup sering mengeluh karena dokumen yang dibuatnya dikritik habis Ayah saya di rumah...

Ayah saya tidak punya ambisi. Itu yang saya ingat juga darinya. Dulu, kalaupun itu bisa disebut ambisi - saya lebih senang menyebutnya pengharapan, ia hanya ingin kami bertiga sekolah setinggi mungkin, bekerja dengan baik dan bersih, menjalani hidup dengan baik dan menjadi orang yang shaleh. Saat ini, keinginan itu diucapkan lagi dengan cucu-cucunya sebagai obyek, tapi dengan pengharapan yang persis sama. Plus, keinginannya untuk tetap diberi kemampuan berguna bagi sesama dan beramal shaleh agar bisa mati dalam keadaan terbaik, khusnul khatimah, urainya. Sebagai peneliti, praktis kata karir jauh dari isi kepalanya. Ibu saya pernah mengkritiknya sebagai orang yang "berpacu melawan dirinya sendiri". Namun, saya mengingat betul satu pesan beliau, "jika kamu harus ditakdirkan hancur, hancurlah dalam keadaan bersih, jangan pernah hancur dalam keadaan kotor".

Beliau nyata-nyata bersih, sederhana, jika tidak boleh dikatakan miskin. Tidak banyak yang diperolehnya sebagai pegawai negeri peneliti sekalipun tingkat kepegawaiannya sudah mentok. Gaji yang diperoleh plus tunjangan, hanya cukup untuk hidup. Tidak bisa menabung. Rumah kami dari instansi yang dicicil selama 20 tahun, begitupula kendaraan beliau, setelah 10 tahun bisa kami beli dengan nilai yang amat rendah. Sekolah kami praktis dibayar dari fasilitas kantor yang memberikan tunjangan pendidikan bagi anak-anak yang berprestasi. Kami ingat, intimidasi untuk beliau tidak jarang "mampir" ke rumah kami, dalam bentuk surat kaleng, telepon gelap maupun batu yang dilempar pengendara motor. Dan sebabnya itu-itu saja : Ayah mengembalikan dana sisa operasional proyek yang tidak terpakai, Ayah menolak melakukan pembelian inventaris laboratorium kantor yang berkualitas rendah dengan harga mahal sekalipun ditawari "pelicin", dan Ayah tidak pernah bersedia memilih Golkar di era Pemilihan Umum ala Orde Baru yang menurutnya "era Setan".

Kami bertiga diminta berjanji padanya, untuk tidak menjadi pegawai negeri, "karena kalian pasti korupsi, jika tidak mencuri uang, kalian akan mencuri waktu karena pendapatan kalian tidak mencukupi". Beliau luluh akhirnya mengijinkan adik terkecil menjadi PNS, karena sebagai dokter, pengabdiannya akan lebih maksimal sebagai PNS. Tiga belas tahun lalu beliau nyaris melempar gelas saat tahu saya yang baru lulus kuliah ditawari paman sebagai asistennya, di suatu departemen yang terkenal "basah" dan amat korup. Untuk karakter yang tenang dan santun, kata-kata beliau amat keras "Kalau kamu mau jadi pencuri, bilang dari dulu supaya kami tidak susah payah sekolahkan kamu". Beliau merujuk pada paman kami yang masih muda dan tergolong amat yunior dibanding beliau, namun sudah memiliki apartemen di luar negeri. Benar juga, uang dari mana ? Sebagai asisten maka cepat atau lambat saya akan mencuri atau setidaknya tahu adanya hal buruk tapi tidak mampu berbuat apapun. Saya berhutang budi pada Ayah saya karena mencegah saya di hari itu.

Tergerak saya menulis memoir ini, karena menerima SMS darinya "Mas, belikan aku asinan ya untuk berbuka, pakai uangmu dulu, uangku habis...".

Monday, August 9, 2010

Mensyukuri Nilai Ekonomis dari kata "Bekerja"


Ada banyak hal yang patut disyukuri tapi terlewat begitu saja karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. Lalu terjadi sesuatu, terlepas itu baik atau buruk, kenikmatan-kenikmatan itu tidak lagi kita temui dan kita merasa kehilangan. Muncul lah di titik itu rasa syukur yang terlambat. Sounds familiar bukan ?

Saya pun tidak luput dari gejala itu, dan mencoba melakukan refleksi khusus mengenai hal ini karena didorong oleh seorang sahabat yang tinggal di kota lain. Dengan aneka kesulitannya sebagai single but double parent, menikah dan pasangannya masih ada namun bisa dikatakan tidak berfungsi karena memble luar dalam, saya mendapatkan banyak pencerahan darinya tiap kali saya mengeluh.

Pagi ini saya keluhkan kondisi kantor saya yang tidak jelas, tapi dia ingatkan saya akan banyak hal. Tanpa maksud menjadi "matre", memang paling mudah adalah mengukur manfaat dari hal-hal yang dapat dikuantifikasi. Mari saya ajak anda melakukan "office tour" sebagai hasil ber-refleksi sepagian ini yang menjadikan saya tidak efektif bekerja....

Minum air putih (sering disebut 'Aqua" padahal belum tentu merek Aqua ya ?). Saya menghabiskan dua liter air setiap hari, ditampung dalam suatu watercan agar tidak bolak balik. Kapasitasnya 2 liter dan saya mentargetkan harus habis dalam sehari demi alasan kesehatan. Katakan saya bekerja 22 hari sebulan maka konsumsi air minum saya adalah 44 liter atau merujuk pada kapasitas 1 galon setara dengan 16 liter nett maka saya mengkonsumsi 2,75 galon sebulan atau dikali Rp 10.000/galon maka saya sudah memperoleh benefit senilai Rp 27.500/bulan.

Kopi, Teh dan Gula. Saya menyempatkan diri untuk membuat teh manis atau kopi berupa coffeemix tiap pagi. Katakan 11 hari saya membuat teh dan 11 hari saya membuat coffeemix. 11 hari saya membuat teh celup itu setara dengan hampir separo box teabags, atau estimasi saya sekitar Rp 10.000/bulan. Sementara coffeemix sebanyak 11 sachet per bulan setara dengan hampir selusin atau satu plastik, dirupiahkan sekitar Rp 10.000/bulan. Keduanya sudah senilai Rp 20.000, dan jika ditambahkan gula pasir saya coba bulatkan menjadi Rp 25.000/bulan.

Akses Internet. Saya menikmati akses internet gratis bagaikan broadband dengan quota free, dan melakukan komparasi dengan apa yang diiklankan di media massa, maka fasilitas saya ini jika saya cari dan bayar sendiri, akan membebani saya sekitar Rp 500.000/bulan.

Akses Telepon. Dengan jatah "free usage" sebesar Rp 75.000/bulan, kemanapun saya menelepon tidak menjadi soal, selama tidak melampaui nilai tersebut.

Parkir Gratis. Biaya parkir yang dibayar kantor sebesar Rp 400.000/bulan terasa sedikit lebih murah dibandingkan ongkos parkir saya "ngeteng" sebesar 22 hari x 10 jam (estimasi rata-rata durasi kendaraan saya diparkirkan di halaman kantor) x Rp 2.000 = Rp 440.000/bulan.

Numpang Keren. Wah ini priceless... tidak bisa dipungkiri bahwa nama baik dan reputasi kantor membantu saya dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Mau apply kartu kredit saja susah kan kalau tidak bekerja atau wiraswasta ? Biaya cetak kartu nama saja jadi mahal, di kantor sudah tinggal teriak ke bagian umum. Karena priceless ya kita abaikan dulu ya.

Sewa ruangan. Ruang kerja dengan luasan 3x3 meter, berkarpet, ber-AC dan berfurniture mutakhir, silakan dihitung berapa biaya sewanya ? Per meter persegi per bulan saya memperoleh info kantor saya dikenai biaya US$16.00 atau Rp 144.000, atau total luasan akan membebani sebesar Rp 1.296.000/bulan. Saya tidak lagi menghitung aneka perlengkapan kerja, karpet, furniture dan peralatan kerja ya ? Ribet dan pastinya akan menjadikan hitung-hitungan makin mahal.

Daya Listrik. Ini dia, untuk PC, printer, AC... saya estimasikan setidaknya Rp 200.000/bulan menjadi beban kantor.

Mari kita hitung nilai subsidi kantor setidaknya yang saya terima : Rp 27.500 + Rp 25.000 + Rp 500.000 + Rp 440.000 + Rp 1.296.000 + Rp 200.000 = Rp 2.488.500 per bulan ! Ini setara dengan dua setengah kali UMR di kota-kota besar di Indonesia!!!!

Disini tentu saya tidak kalkulasikan benefit lain yang tidak terbaca disini namun terbaca di slip gaji saya. Namun saya mempercayai, sahabat saya tadi lebih dari benar untuk meminta saya berpikir ulang mengenai keluh kesah saya. Dan ada satu kartu AS disini (bukan dari Telkomsel yah....), begitu anda tidak bekerja, bukan cuma gaji dan aneka benefit di atas itu yang melayang, harga diri anda, aneka kenikmatan yang gagal saya kuantifikasi di tulisan ini dan banyak hal lainnya, akan ikut melayang. Sudah anda coba kalkulasikan hal-hal tersebut ?

Saya berharap anda semua lebih baik dari saya dan sudah mencoba untuk kalkulasikan nilai ekonomis dari status "bekerja" anda dan nikmat secara finansial yang anda terima tanpa terasa dari kantor anda ? Jika belum, Please do it. Segerakan. Jika sudah, lakukan lagi, agar kita bisa sama-sama bersyukur.

Tiba-tiba saya juga ingat, ada beberapa rekan di kantor yang saking bersyukurnya jadi lupa daratan.... kertas HVS dibawa pulang, bolpen dari kantor hilaaaang terus dan minta ganti terus, sehari bikin kopi tubruk kental pakai gula pasir yang munjung bisa dua-tiga kali, watercan besar dibawa pulang tiap hari, anehnya berangkat kosong (karena suka ketemu di pantry jadi saya tau kalo kosong) dan pulangnya bener-bener membebani dia karena penuh dan dibawa pulang, plus jatah bedinde gratis karena Office Boy di kantor sering disuruh-suruh bikin minum atau bersihkan meja dia....

Kalau gitu kita sepakati saja ya, perintahnya bukan cuma bersyukur, tapi juga agar tidak lupa daratan. Setuju ?

[katjoengkampret@aol.com]

Thursday, August 5, 2010

Kerusakan Fuel Pump dan Wacana Pembatasan BBM Bersubsidi ?


Akhir-akhir ini beredar keresahan mengenai kerusakan komponen 'fuel pump' di sejumlah kendaraan bermotor roda empat yang mengkonsumsi bahan bakar premium. Saya tidak tau persis penyebabnya, proses terjadinya kerusakan, apalagi cara memperbaikinya. Di sisi lain, saya pun juga tidak tau persis apa benar jumlah sekian ratus atau sekian ribu kendaraan yang rusak itu benar adanya dan apakah penyebabnya benar-benar terkait dengan bahan bakar yang dikonsumsi.

Saat ini ramai wacana rencana pemerintah melakukan pembatasan penggunaan premium (yang merupakan bahan bakar bersubsidi) dan mendorong masyarakat pengguna mobil pribadi (yang dipersepsikan sebagai masyarakat kelas menengah atas di Indonesia) mempergunakan bahan bakar non subsidi. Ada fakta lain bahwa pemerintah melalui Pertamina, memegang monopoli penjualan dan peredaran bahan bakar bersubsidi bernama Premium. Sementara, selain pemerintah (juga melalui Pertamina, dengan merek dagang Pertamax), asing juga memegang hak peredaran bahan bakar non subsidi. Sering terjadi diberitakan kelangkaan Pertamax, lah Premium saja suka seret pasokannya. Artinya ada pertanyaan soal kesiapan Pemerintah sediakan Pertamax bukan ?

Saya hanya mengkhawatirkan dua hal. Semoga saya salah dan teman-teman, baik sepakat atau tidak, bisa memberikan pencerahan disini.

Pertama, saya khawatir soal ada kaitan antara insiden-insiden tersebut dengan rencana pemerintah di atas. Pemerintah sering kali gagal melakukan conditioning dan akhirnya melakukan politik paksa atau politik bumi hangus. Sekarang pun masih belum beres soal Ledakan Elpiji. Dulu banyak pihak sampaikan, wacana pemassalan gas elpiji itu belum waktunya karena masalah daya beli, edukasi masyarakat dan kesanggupan pemerintah mengontrol masalah safety. Benar kan ? Menjelma bagaikan teroris dengan bom. Bedanya teroris hanya di spot-spot tertentu, ledakan elpiji bagaikan menyebar bom ke seluruh penjuru negara ke rumah-rumah rakyat yang umumnya rakyat kecil. Dan saya tidak melihat pemerintah bisa lakukan hal yang signifikan sejauh ini untuk kurangi kekhawatiran rakyat.

Atau memang psikologis rakyat yang sudah hidup susah tidak lagi penting bagi pemerintah ? Saya khawatir ada yang mengail di air keruh, dan menteror rakyat untuk memudahkan proses konversi ke BBM non subsidi tersebut. Sejujurnya kasus Ledakan Elpiji menjadi pijakan saya soal kemampuan pemerintah mengelola kebijakannya sendiri. Kita tahu dari aneka pengalaman selama ini betapa pemerintah Indonesia amat sulit untuk berpihak ke bangsa dan rakyatnya sendiri, dan amat mudah mengikuti kehendak pemodal asing sekalipun berpotensi menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan, memang amat sulit menemukan pemimpin yang lurus dan amanah di negara ini, sehingga wajar saya khawatir akan terlindunginya kebijakan yang memihak rakyat.

Kedua, saya pribadi juga khawatir, amat khawatir malah, bahwa insiden tersebut terjadi dengan sengaja, siapapun pembuatnya, untuk memastikan orang menjadi takut mempergunakan Premium dan beralih dengan segera ke bahan bakar non subsidi yang dipasok perusahaan asing. Mengapa ? Karena pasokan Pertamax sendiri bisa dibilang terbatas.... Bayangkan keuntungan di depan mata saat memperoleh durian runtuh berupa "monopoli tidak sengaja". Orang takut pakai Premium, Pemerintah melalui Pertamina kewalahan melayani pasokan BBM non Subsidi, orang akan otomatis beralih ke pasokan asing. Kalau demikian, wajar Indonesia menjadi surga bagi pemodal asing.....

Sekali lagi, dengan semangat mencintai Indonesia negara kita tercinta, semoga kekhawatiran saya di atas salah dan tidak beralasan.

[masdewo@aol.com]

Meletakkan Dasar Kecerdasan Finansial Pada Anak


Pagi ini saya membaca suatu artikel di internet mengenai peletakan dasar kecerdasan finansial pada anak. Ini bukan cuma sebatas retorika, atau pendidikan saja. Tapi ini merupakan suatu pelatihan dan pengajaran melalui contoh dan teladan (learning by doing & learning through example) secara konsisten. Orang tua yang boros, yang konsumtif, yang senang bergaya dengan barang mahal dan ikut mode terbaru, hampir nihil harapannya untuk memperoleh anak-anak yang cerdas secara finansial.

Disebutkan bahwa seorang peneliti di Stanford (AS), Walter Mischel, melakukan pengujian jangka panjang atas perilaku sejumlah anak di tahun '60-an. Masing-masing anak diberikan sepiring gula-gula marshmallow dan diminta untuk menunggu orang dewasa datang 15 menit kemudian untuk memperoleh ijin mengambil dan memakannya. Sejumlah anak langsung memungut dan menyantapnya. Sejumlah anak menunggu sekian menit atau setelah pemberi instruksi pergi untuk mengambil dan memakan gula-gulanya. Dan ada sedikit yang tersisa, yang benar-benar menunggu 15 menit hingga ada orang dewasa datang untuk meminta gula-gula itu dan memakannya. Dua puluh tahun kemudian, ditemui bahwa yang sedikit dan mampu menunggu tersebut (disebutnya "delayed gratification" atau imbalan yang tertunda) memperoleh score masuk ke Universitas yang jauh lebih tinggi dari yang tidak mampu menunggu, memiliki kehidupan finansial yang lebih mapan, perkawinan yang tenang, karir yang sukses dan kehidupan sosial yang lebih baik. Sementara pada kadar yang berbeda, mereka yang tidak mampu menunggu ditemui rata-rata mengalami masalah di pendidikan, karir, perkawinan dan kehidupan sosial. Tercatat sejumlah diantaranya yang bahkan tidak mampu menunggu sama sekali, setelah dewasa memiliki masalah dengan perilaku dan kontrol diri.

Cerita dari penelitian di atas menjadikan suatu statement, bahwa kesuksesan seorang anak tidak ditentukan dari tinggi-rendahnya nilai IQ mereka tapi dari kemampuannya untuk menahan diri dan menerima "delayed gratification". Dan kedua hal tersebut adalah suatu bentuk kecerdasan tersendiri yang menentukan sukses tidaknya seseorang dalam hidup mereka kelak. Bertentangan dengan banyak anggapan umum yang beredar, bahwa kecerdasan finansial pada anak diletakkan pada pengajaran dan pelatihan menabung. Ini tidak sepenuhnya salah, namun tidak bisa dianggap benar pula. Menabung adalah menunda pembelanjaan semata, dan menabung hanya memiliki satu objektif : ada uang tunai yang bisa digunakan sewaktu-waktu karena tidak habis dibelanjakan, melainkan disimpan. Menabung hanya mengajarkan sedikit dari kecerdasan finansial : bersabar dan menyimpan. Sementara kecerdasan finansial yang harus dimiliki setiap orang dan dipupuk sejak kecil cukup luas cakupannya, yaitu bukan cuma bersabar dan menyimpan, namun juga mengembangkan hasil simpanannya, melakukan pembelanjaan yang efektif dan efisien, menentukan prioritas dan melakukan aktivitas finansial yang produktif.

Secara umum, kecerdasan finansial bagi anak dapat dirumuskan dalamlima kemampuan berikut : 1) Menunggu ; 2) Membuat Daftar Keinginan ; 3) Menentukan Prioritas ; 4) Berinvestasi ; 5) Berhitung. Apa maksudnya ?

Menunggu. Menunggu memang membosankan, apalagi bagi anak kecil yang umumnya eksplosif dan ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya. Justru ini adalah jebakan dan tantangannya. Menanamkan kesabaran dan makna dari menunggu ini yang akan menentukan perjalanan hidup finansialnya kelak. Berapa banyak kita melihat orang dewasa di sekitar kita yang tidak mampu mengelola kesabaran dan menemukan makna dari penantian, untuk kemudian merusak hidupnya sendiri ? Dengan mengajarkan bersabar, menggali manfaat dari penantiannya, dan secara tekun melakukan pengamatan akan buah dari kesabarannya menunggu, akan mengarahkan anak pada karakter hati-hati, penuh perhitungan dan mampu menghargai waktu dengan baik. Ketiga hal itu, ternyata pernah saya temui di suatu pelatihan investasi saham dan valas. Menarik bukan ?

Daftar Keinginan. Berapa banyak dari kita yang sudah dewasa ini mampu membuat, apalagi mengelola dengan baik, suatu daftar keinginan ? Wish List, begitu istilah asingnya, menjadi momok saat kita diminta membuat daftar keinginan namun yang masuk akal, proporsional dan memiliki nilai tambah. Membuat daftar keinginan itu mudah, tinggal tancap gas di imajinasi dan hawa nafsu kita, satu detik pun jadilah. Namun membuat daftar keinginan secara rutin dan berkala, yang memiliki nilai tambah dan proporsional, untuk kemudian mampu dikelola, dimonitor dan dievaluasi, itu amat sulit. Bayangkan jika kemampuan ini diajarkan dan dilatih sejak kecil, bukan tidak mungkin diperoleh seorang anak usia 10 tahun yang lebih layak didudukkan di kursi eksekutif dibandingkan manajer berpengalaman belasan tahun. Saya pernah tertegun mendengar cerita seorang anak kawan saya berusia 8 tahun yang di wish list saat tahun barunya mencantumkan "ingin punya mainan playstation terbaru dan CD permainannya yang paling baru, supaya bisa saya mainkan dan saya sewakan ke rekan-rekan saya yang ingin bermain bersama-sama". Ini bukan cuma mencantumkan kejujuran dan kepolosan seorang anak, namun juga menampilkan kedewasaan finansialnya : membuat wish list yang wajar (proporsional), namun memiliki nilai tambah, dan dapat dimonitor dan dikelolanya.

Prioritas. Yang diinginkan banyak, yang dibutuhkan pun juga banyak. Lalu yang mana yang harus dilakukan atau diperoleh terlebih dahulu ? Itulah dilema yang ditemui semua manusia dalam semua tahapan hidupnya. Sekaya apapun atau semampu apapun seseorang, dilema itu akan selalu ada. Kecerdasan dalam menentukan prioritas dan disiplin dalam memelihara prioritas tersebut, adalah salah satu kunci sukses utama seseorang. Dalam prioritas, terkandung tiga hal : mendahulukan sesuatu yang memiliki tingkat urgensi lebih tinggi, mendahulukan sesuatu yang memiliki dampak langsung dan manfaat lebih besar, serta mendahulukan sesuatu yang menghabiskan upaya atau pengorbanan lebih rendah. Dalam bisnis, kehidupan finansial, pengambilan keputusan di bidang apapun, ketiga prinsip tersebut adalah prinsip dasarnya. Anak saya baru masuk SD dan saat memilih kegiatan ekstrakurikuler dia mengatakan "Jika ikut kegiatan seni musik atau menggambar, bukan cuma aku senang tapi nanti aku bisa dapat uang karena bermain musik untuk orang lain atau jual gambar saya, uangku juga utuh karena tidak perlu beli sepatu bola". Sederhana, tapi terkandung pengambilan keputusan yang baik berdasarkan penetapan prioritas dan kalkulasi cost/benefit secara sederhana ala anak usia 6 tahun.

Berinvestasi. Seperti disampaikan, menabung saja tidaklah cukup. Apa yang berhasil disisihkan harus dikelola agar nilainya bertambah. Added Value atau Nilai Tambah adalah konsep yang harus ditanamkan sejak dini sehingga menjadi karakter dan perilaku yang melekat dalam setiap tahapan hidup. Karakter dan perilaku berbasis nilai tambah ini akan membentuk etika, etos dan attitude yang mumpuni di dunia kerja dan aktivitas sosial seseorang. Investasi secara sederhana tidak semata soal uang, tapi juga pergaulan, waktu dan keahlian. Dalam konteks uang, mengajarkan anak-anak dengan membeli reksadana atau membuka deposito adalah suatu pengajaran yang luar biasa besar manfaatnya. Ajari juga mereka untuk berinvestasi dalam bentuk pergaulan dan keahlian. Seorang taipan nasional mengatakan bahwa kunci suksesnya hanya tiga : berdoa, berusaha, dan berkawan. Di setiap hal, di setiap waktu, di setiap tempat. Saya rasa beliau benar, dan kebajikan ini rasanya harus kita terapkan di hidup kita untuk kita ajarkan kepada anak-anak kita.

Berhitung. Pada akhirnya, menurut ayah saya "di dunia ini yang paling benar setelah agama dan kitab suci adalah matematika". Tidak ada gunanya punya etika, etos dan attitude tanpa mampu berkalkulasi dengan baik. Contoh dalam aktivitas belajar berinvestasi, ajari anak-anak untuk membagi dua uangnya di jumlah yang sama : di tabungan dan di reksadana. Lalu ajak mereka secara rutin memantau hasil investasinya dan bandingkan dengan apa yang terjadi di tabungannya. Namun berikan pemahaman pula bahwa menabung juga penting karena kita perlu dana darurat. Dengan demikian akan diperoleh juga konsep prioritas dan pengelolaan keinginan (wish list). Menggunakan teknis perbandingan adalah pelajaran kalkulasi sederhana untuk mengukur kinerja investasi dan manfaat dari pilihan yang diambil. Kemampuan berhitung ini harus terus dilatih dan dikembangkan. Bahkan perlu dirangsang terus dengan aneka opsi dan alternatif lain setelah menjadi semakin mahir, misalkan beberapa alternatif investasi untuk anak-anak.

Selamat bermain dan berlatih untuk menjadi Cerdas Finansial bersama putra-putri anda !

[masdewo@aol.com]

Sunday, August 1, 2010

Pak Satpam...

Saya berbagi peran, tugas dan tanggung jawab mengenai anak-anak kami dengan istri saya. Pengasuhan, pengajaran, dan hal-hal lain kami kerjakan berdua tanpa bantuan tenaga "outsource" karena memang kami meyakini, kami lah yang terbaik bagi mereka. Sayang, prinsip ini tidak diamini oleh semua orang. Ijinkan saya berbagi kisah..

Setiap Senin, Rabu dan Jumat, saya lah yang antarkan putra-putra kami bersekolah, karena ibunya harus mengajar dan berangkat lebih pagi agar bisa jemput mereka di siang harinya. Dua hari lalu, Jumat pagi, saya bersua dengan ayah dari salah seorang kawan sekelas putra bungsu saya. Kami bertegur sapa, dan ia bertutur "kami dipanggil oleh ibu guru".. Ada apa?

Rupanya ibu guru hendak berbagi kisah dan berkonsultasi dengan kedua orang tua, karena beberapa hari sebelumnya ada materi di kelas dimana semua anak diminta membuat karangan "saya ingin menjadi apa, dan kenapa saya ingin menjadi demikian". Di luar dugaan, dengan aneka imajinasi kreatif dan cita-cita yang polos dari anak-anak tersebut, seorang anak lelaki menuliskan "saya ingin menjadi Satpam" dan "supaya saya disayang anak-anak dan bisa menemani anak-anak kesepian"...

Pasangan ini tampak jelas, jauh lebih kaya dan makmur jika dibandingkan dengan kami. Keduanya bekerja dan sudah memiliki posisi yang tinggi. Dalam usia relatif muda, tampak sudah mapan kehidupannya, dan dikaruniai dua putra. Si anak lelaki tersebut yang berusia lima tahun lebih, dan adik perempuannya, sekitar dua tahun. Si ayah bercerita, ia dan istrinya amat terpukul membaca karangan putranya, dan mendengar penuturan ibu guru. Terlebih melihat sosok pak Satpam yang diidolakan putra mereka.

Pak Satpam sekolah, di usianya yang mungkin baru empatpuluhan, tampak lebih tua, mungkin bagian dari jejak penderitaannya. Kami sudah lama tahu, ia hidup sebatang kara, ditinggalkan istri dan anak-anaknya karena dianggap tidak mampu hidupi keluarganya. Satpam ini bukan hanya tua, tapi juga cacat, karena kecelakaan, yang menjadikannya sulit bekerja di bidang lain. Namun kami bisa melihat kecintaannya yang amat besar pada anak-anak. Sejujurnya, dari interaksi dengannya, saya mempelajari sejumlah trik untuk menangani anak-anak.

Setiap hari, pak Satpam lah yang membukakan pintu bagi sang putra, menemaninya minum susu sebelum masuk kelas, dan menanyakan kabar anak tersebut. Sama persis dengan yang dilakukannya pada semua anak, termasuk putra-putra kami. Siang hari, mulai tampak bedanya. Pak Satpam lah yang menemani si bocah bercerita dan bermain hingga si anak dijemput, sekitar satu jam dari waktu kepulangannya, karena sopir dan mobilnya harus menempuh macet dari kantor orang tuanya.

Yang tidak banyak orang tau, kecuali ibu guru dan beberapa penjemput termasuk kami, adalah bagaimana pak Satpam memberikan apa yang tidak pernah diberikan oleh orang tua anak tersebut. Tiap siang, bapak tua itu menanyakan apa yang dipelajari hari ini, meminta si anak untuk menunjukkan hasil karyanya, memuji hasil karya anak tersebut, dan memberikan buah tangan ala kadarnya. Satu dua kali kami pun pernah melihat si bapak tua ini membelikan roti karena si bocah sudah terlalu lapar, dan menyuapi, membelai atau memangku saat menemani si bocah.

Bapak ini sebenarnya cukup terampil dalam seni melipat dan menggunting kertas. Sekolah pun banyak dibantu untuk aneka hiasan kertas. Namun tampaknya orang tua yang malang dan bodoh itu terlalu sibuk atau merasa waktunya terlalu penting untuk memperhatikan dari mana asal aneka origami hewan dan ornamen dari kertas yang ada di kamar anaknya.

Singkat kata, si ayah telah menjadi sapi perah untuk mencukupi nafkah fisik keluarga, demikian pula si ibu. Dan perlahan tapi pasti, si anak sudah mantap mengidolakan pak satpam sekolah yang sudah tua dan sederhana.

Sebagaimana pasangan ini tahu mengenai putra pertama kami yang sudah mendahului kami, maka menutup pertemuan pagi itu saya hanya mampu ucapkan "mas, kasihan putranya, dibagi waktu dan perhatiannya, jangan sampai terlambat, apapun yang kita punya tidak akan pernah cukup untuk gantikan putra kita". Ia hanya berterima kasih lirih dan sampaikan "putra njenengan bolak balik juara quiz di kelas dan bilang ditemani bapak ibunya belajar. Kami perlu belajar banyak mas".

Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kantor yang amat macet karena saya sudah terlambat, tidak hentinya saya mengingat isi halaman terakhir buku penghubung putra saya, ibu guru menulis "bapak/ibu yth. ijinkan kami untuk meminta sedikit waktu bapak/ibu di parent gathering mendatang untuk berbagi kiat pengasuhan. putra bapak/ibu amat bangga akan orang tuanya dan sampaikan ke semua orang bahwa ia selalu semangat ke sekolah karena ia selalu merasa ditemani orang tuanya baik saat ia sedang berhasil maupun gagal".

Tiba-tiba saya merasa, rapat di kantor, aneka report, kartu nama dengan corporate title mentereng, ruang kerja nan mewah serta aneka pernak pernik dunia profesional yang saya sudah capai selama ini, menjadi tidak seindah dulu. Saya punya yang jauh, amat jauh, lebih indah dari itu semua. Di rumah kami.

[masdewo@aol.com]

"love the country, just hate the leaders and the politicians"