Monday, August 9, 2010
Mensyukuri Nilai Ekonomis dari kata "Bekerja"
Ada banyak hal yang patut disyukuri tapi terlewat begitu saja karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. Lalu terjadi sesuatu, terlepas itu baik atau buruk, kenikmatan-kenikmatan itu tidak lagi kita temui dan kita merasa kehilangan. Muncul lah di titik itu rasa syukur yang terlambat. Sounds familiar bukan ?
Saya pun tidak luput dari gejala itu, dan mencoba melakukan refleksi khusus mengenai hal ini karena didorong oleh seorang sahabat yang tinggal di kota lain. Dengan aneka kesulitannya sebagai single but double parent, menikah dan pasangannya masih ada namun bisa dikatakan tidak berfungsi karena memble luar dalam, saya mendapatkan banyak pencerahan darinya tiap kali saya mengeluh.
Pagi ini saya keluhkan kondisi kantor saya yang tidak jelas, tapi dia ingatkan saya akan banyak hal. Tanpa maksud menjadi "matre", memang paling mudah adalah mengukur manfaat dari hal-hal yang dapat dikuantifikasi. Mari saya ajak anda melakukan "office tour" sebagai hasil ber-refleksi sepagian ini yang menjadikan saya tidak efektif bekerja....
Minum air putih (sering disebut 'Aqua" padahal belum tentu merek Aqua ya ?). Saya menghabiskan dua liter air setiap hari, ditampung dalam suatu watercan agar tidak bolak balik. Kapasitasnya 2 liter dan saya mentargetkan harus habis dalam sehari demi alasan kesehatan. Katakan saya bekerja 22 hari sebulan maka konsumsi air minum saya adalah 44 liter atau merujuk pada kapasitas 1 galon setara dengan 16 liter nett maka saya mengkonsumsi 2,75 galon sebulan atau dikali Rp 10.000/galon maka saya sudah memperoleh benefit senilai Rp 27.500/bulan.
Kopi, Teh dan Gula. Saya menyempatkan diri untuk membuat teh manis atau kopi berupa coffeemix tiap pagi. Katakan 11 hari saya membuat teh dan 11 hari saya membuat coffeemix. 11 hari saya membuat teh celup itu setara dengan hampir separo box teabags, atau estimasi saya sekitar Rp 10.000/bulan. Sementara coffeemix sebanyak 11 sachet per bulan setara dengan hampir selusin atau satu plastik, dirupiahkan sekitar Rp 10.000/bulan. Keduanya sudah senilai Rp 20.000, dan jika ditambahkan gula pasir saya coba bulatkan menjadi Rp 25.000/bulan.
Akses Internet. Saya menikmati akses internet gratis bagaikan broadband dengan quota free, dan melakukan komparasi dengan apa yang diiklankan di media massa, maka fasilitas saya ini jika saya cari dan bayar sendiri, akan membebani saya sekitar Rp 500.000/bulan.
Akses Telepon. Dengan jatah "free usage" sebesar Rp 75.000/bulan, kemanapun saya menelepon tidak menjadi soal, selama tidak melampaui nilai tersebut.
Parkir Gratis. Biaya parkir yang dibayar kantor sebesar Rp 400.000/bulan terasa sedikit lebih murah dibandingkan ongkos parkir saya "ngeteng" sebesar 22 hari x 10 jam (estimasi rata-rata durasi kendaraan saya diparkirkan di halaman kantor) x Rp 2.000 = Rp 440.000/bulan.
Numpang Keren. Wah ini priceless... tidak bisa dipungkiri bahwa nama baik dan reputasi kantor membantu saya dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Mau apply kartu kredit saja susah kan kalau tidak bekerja atau wiraswasta ? Biaya cetak kartu nama saja jadi mahal, di kantor sudah tinggal teriak ke bagian umum. Karena priceless ya kita abaikan dulu ya.
Sewa ruangan. Ruang kerja dengan luasan 3x3 meter, berkarpet, ber-AC dan berfurniture mutakhir, silakan dihitung berapa biaya sewanya ? Per meter persegi per bulan saya memperoleh info kantor saya dikenai biaya US$16.00 atau Rp 144.000, atau total luasan akan membebani sebesar Rp 1.296.000/bulan. Saya tidak lagi menghitung aneka perlengkapan kerja, karpet, furniture dan peralatan kerja ya ? Ribet dan pastinya akan menjadikan hitung-hitungan makin mahal.
Daya Listrik. Ini dia, untuk PC, printer, AC... saya estimasikan setidaknya Rp 200.000/bulan menjadi beban kantor.
Mari kita hitung nilai subsidi kantor setidaknya yang saya terima : Rp 27.500 + Rp 25.000 + Rp 500.000 + Rp 440.000 + Rp 1.296.000 + Rp 200.000 = Rp 2.488.500 per bulan ! Ini setara dengan dua setengah kali UMR di kota-kota besar di Indonesia!!!!
Disini tentu saya tidak kalkulasikan benefit lain yang tidak terbaca disini namun terbaca di slip gaji saya. Namun saya mempercayai, sahabat saya tadi lebih dari benar untuk meminta saya berpikir ulang mengenai keluh kesah saya. Dan ada satu kartu AS disini (bukan dari Telkomsel yah....), begitu anda tidak bekerja, bukan cuma gaji dan aneka benefit di atas itu yang melayang, harga diri anda, aneka kenikmatan yang gagal saya kuantifikasi di tulisan ini dan banyak hal lainnya, akan ikut melayang. Sudah anda coba kalkulasikan hal-hal tersebut ?
Saya berharap anda semua lebih baik dari saya dan sudah mencoba untuk kalkulasikan nilai ekonomis dari status "bekerja" anda dan nikmat secara finansial yang anda terima tanpa terasa dari kantor anda ? Jika belum, Please do it. Segerakan. Jika sudah, lakukan lagi, agar kita bisa sama-sama bersyukur.
Tiba-tiba saya juga ingat, ada beberapa rekan di kantor yang saking bersyukurnya jadi lupa daratan.... kertas HVS dibawa pulang, bolpen dari kantor hilaaaang terus dan minta ganti terus, sehari bikin kopi tubruk kental pakai gula pasir yang munjung bisa dua-tiga kali, watercan besar dibawa pulang tiap hari, anehnya berangkat kosong (karena suka ketemu di pantry jadi saya tau kalo kosong) dan pulangnya bener-bener membebani dia karena penuh dan dibawa pulang, plus jatah bedinde gratis karena Office Boy di kantor sering disuruh-suruh bikin minum atau bersihkan meja dia....
Kalau gitu kita sepakati saja ya, perintahnya bukan cuma bersyukur, tapi juga agar tidak lupa daratan. Setuju ?
[katjoengkampret@aol.com]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment