Friday, November 25, 2011

Friday Talk : Menjadi Guru

Hari ini saya dapat info dari anak-anak saya kalau ekskul diliburkan karena ada perayaan Hari Guru dan guru-gurunya ada acara. Memang hari Jumat sekolah anak-anak saya libur dan hanya ada ekskul saja. Deep inside saya bersyukur, mereka bukan diliburkan gara-gara "royal wedding" sialan itu yang bikin sekolah-sekolah di area sekitarnya diliburkan...

Tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa-masa kecil dan saat bersekolah, juga perjalanan karir saya. Ingatan saya terbang ke sosok guru-guru saya di sekolah, sejak TK hingga SMA. Juga ke sosok dosen-dosen saya saat kuliah, baik di tingkat sarjana maupun master. Dan ternyata masih berlanjut, saya juga teringat dengan instruktur-instruktur saya saat memulai karir sebagai management trainee, kepada mentor-mentor saya, dan atasan-atasan saya yang semuanya juga telah menjadi guru dalam perjalanan karir saya. Memang benar, belajar itu adalah perjalanan tanpa ujung.

Sebaliknya, mengajar dan menyampaikan ilmu juga suatu aktivitas tanpa henti, yang tak terelakkan. Termasuk di dunia kerja. Kembali ke dunia kerja, menjadi mentor, instruktur atau atasan, adalah kesempatan emas untuk belajar. Bukankah untuk bisa ajarkan sesuatu kita harus refresh dulu dan belajar lagi? Sangat disayangkan, saya melihat amat banyak gejala untuk abaikan kesempatan ini. Terutama bagi mereka yang menjadi seorang atasan. Ada empat gejala umum yang saya perhatikan dari atasan-atasan "jaman sekarang" terhadap tanggung jawab edukasional mereka.

Satu, senang menyuruh. Menjadi atasan bukan lantas jadi raja. Senang menyuruh dan seringnya karena sok tau atau justru tidak mau tau, menyuruh yang tidak berdasarkan analisa yang pas. Tidak mau belajar, ini alasan mengapa sejumlah atasan "menjaga jarak" dengan staf dan pekerjaan mereka. Bagaimana bisa mengajarkan sesuatu jika mereka tidak pernah bersentuhan dan cuma bisa suruh? Bahkan saya temui ada atasan yang dengan segala cara berusaha untuk tidak tahu detail pekerjaan stafnya agar bisa berkelit "saya kan tidak tahu teknisnya". Sip kan?

Dua, kurang interaksi. E-mail, messenger application, corporate portal, bahkan telepon extention dan seluler, ini semua musuh leadership. Semua menjadikan seorang atasan merasa mampu dan berhasil mengontrol unitnya secara remote. Akibatnya mereka semakin berjarak dengan realita di lapangan, dan otomatis menjadi semakin kuper dan bodoh. Jika sudah kuper dan bodoh, bagaimana mau mendidik stafnya?

Tiga, tidak mengajarkan value. Dunia kerja memang tidak demokratis. Apalagi jika menyangkut target, prosedur dan hasil kerja. Cukup banyak atasan yang mampu menjadi guru agar team-nya mampu mencapai target, memenuhi hasil kerja yang diharapkan dan sesuai prosedur. Tapi itu tidak cukup. Harus ada yang ajarkan value. Integritas, kejujuran, punya prinsip dan dedikasi, itu adalah beberapa diantaranya. Coba cek, apakah anda sebagai atasan pernah ajarkan ini? Atau apakah atasan anda pernah ajarkan ini?

Empat, tidak memberi contoh. Suka menyuruh + menjaga jarak dan kurang interaksi + tidak ajarkan value = gagal memberi contoh. Coba buktikan sendiri deh formula di atas. Lagian, mau kasih contoh apa kalau yang bersangkutan bahkan gak tahu ada masalah apa?

Menjadi guru itu suatu pekerjaan yang sulit, namun mulia dan menyenangkan. Ayah saya, seorang peneliti, juga bekerja sebagai instruktur dan dosen. Beliau sampaikan pada kami, putra-putranya, bahwa menjadi guru itu menyenangkan karena hasil kerjanya langsung tampak saat itu juga. Jika kita dagang, dan berhasil menjual satu barang, kita belum tahu apakah akan tersenyum atau nyengir di sore hari. Karena tahu dari mana kita semua barang dagangan akan laku atau apakah kita akan untung? Tetapi beda dengan mengajar. Ekspresi anak yang sedang diajar langsung memberikan hasil, apakah kita berhasil mengajarkan sesuatu atau tidak? Yang bersangkutan mengerti atau tidak? Dan ternyata ekspresi di akhir sesi sudah bisa berikan ramalan siapa yang akan lulus atau gagal saat ujian.

Selamat menjadi guru!

Wednesday, November 23, 2011

Thanksgiving

Ada yang tahu soal Thanksgiving Day?

Thanksgiving Day, atau hari mengucapkan Terima Kasih, adalah tema dari sejumlah sisi kehidupan di Amerika Utara dalam hari-hari mendatang. Kebetulan hari ini adalah Rabu malam dan esok adalah Kamis ke-empat di November, saatnya perayaan Thanksgiving Day di Amerika Serikat.

Mengenai Thanksgiving Day sendiri menurut situs wikipedia.orang adalah "Thanksgiving Day is a holiday celebrated primarily in the United States and Canada. Thanksgiving is celebrated each year on the second Monday of October in Canada and on the fourth Thursday of November in the United States."

Bagi saya yang seorang muslim, setiap hari adalah Thanksgiving Day, dan diekspresikan dengan ucapan syukur dan terima kasih pada sang pencipta : "Alhamdulillahi rabbil 'alamiin". Suatu ucapan yang setidaknya diucapkan 17 kali sehari sesuai jumlah rakaat shalat wajib. Apa yang terjadi via shalat tersebut dan apa yang dirayakan oleh orang lain dengan caranya, ada satu benang merah : mengekspresikan rasa Terima Kasih.

Mengapa mengekspresikan terima kasih itu penting untuk dilakukan? Ada beberapa alasan.. Berikut diantaranya :

1. Apresiasi. Rasa syukur dan berterimakasih (bukan kebetulan lho bahwa dalam bahasa Arab 'syukron' berarti 'terima kasih') adalah suatu apresiasi atas budi baik orang lain, atas suatu kondisi yang baik atau nikmat yang kita peroleh dari pihak lain (termasuk tentunya karunia dari sang pencipta). Apresiasi ini penting, terutama saat berurusan dengan sesama, dimana ini menunjukkan bahwa kita bermartabat, tahu cara membawa diri, dan tahu diri akan fungsi orang lain terhadap diri kita. Apresiasi ini akan mendekatkan kita dengan sesama, dan menjadikan sekat-sekat psikologis melemah. Silakan dicoba, saat kita apresiasi jasa seseorang dengan ucapan Terima Kasih yang tulus, hampir pasti senyum yang tulus adalah imbalan minimal yang akan Anda terima.

2. Konfirmasi. Ini penting, setiap hal membutuhkan konfirmasi. Dengan berterimakasih, kita memberikan suatu konfirmasi pada seseorang, bahwa "kita telah menerima dengan baik jasa yang telah diberikannya pada kita", ataupun suatu konfirmasi bahwa "apa yang Anda lakukan pada saya bermanfaat dan membantu saya". Imbasnya akan sangat positif. Selain senyum tulus, Anda akan memberikan kepastian pada orang yang Anda berikan ucapan Terima Kasih bahwa tindakannya benar, bermanfaat dan membantu orang lain. Dengan demikian akan memupus keraguan yang mungkin muncul saat seseorang hendak lakukan hal baik pada orang lain, Insya Allah.

3. Mencerahkan. Coba berikan saya suatu alasan, mengapa ucapan Terima Kasih yang tulus tidak akan mencerahkan suasana hati penerimanya dan pemberinya? Ucapan ini, bersama dengan "tolong" dan "maaf" adalah paspor masuk ke situasi apapun, bahkan selalu ada di buku panduan wisata apapun dalam berbagai bahasa. Mengapa? Karena kata-kata ini melunakkan hati, menepis rasa asing dan jauh secara emosional, serta merekatkan pribadi-pribadi karena mengedepankan persamaan. Bukankah suatu apresiasi dan konfirmasi menandakan persetujuan bersama akan suatu hal?

4. Empati dan "Basic Emotional Needs". Bukan rahasia lagi selain haus air, haus kejayaan dan haus kebahagiaan, manusia diciptakan juga dengan rasa haus akan perasaan dihargai dan dibutuhkan. Inilah sisi lain dari manusia manapun di dunia ini sejak lahir hingga tua. Ini pulalah yang menjadi "titik sentral" dari aspek emosional manusia manapun. Kemampuan kita menangkap kebutuhan ini dan mencoba memahaminya dengan proporsional adalah suatu kecerdasan empatik. Dan ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah suatu bentuk empati yang sempurna dari suatu manusia ke sesamanya.

5. Perlindungan dari penyakit hati. Ada yang pernah lihat orang yang berterimakasih dengan tulus selalu tapi menjadi sosok yang culas, jahat dan khianat? Sulit loh dapat contoh tersebut... Kemampuan berterimakasih akan lindungi kita dari rasa dengki, rasa iri, rasa amarah, pikiran jahat dan sikap khianat. Tanpa berpanjang-panjang, silakan coba dan buktikan sendiri kebenaran kata-kata tersebut!

Jangan tunda atau tahan ungkapan Terima Kasih Anda. Ekspresikan dengan wajar, tulus dan empatik. Mengutip suatu pesan di media sosial twitter yang saya peroleh sore ini : @heatherecoleman: "Silent gratitude isn't much use to anyone." ~G.B. Stern. Memiliki perasaan berterimakasih namun tidak diungkapkan adalah sama saja bohong, tidak ada maknanya, dan bahkan aneka benefit yang terkandung di dalamnya juga akan menguap dengan cepat....

Satu lagi, ungkapan bagus dari dunia bisnis, datang dari situs RainToday.com dengan ungkapan "Empathy and Sensitivity Lead to Strong Client Relationships". Bukankah suatu ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah bentuk empati dan kepekaan?

Mari kita bersama-sama gerakkan diri dan jiwa kita untuk lebih aktif ekspresikan rasa Terima Kasih kita, dimulai dengan ungkapan syukur pada sang pencipta yang maha pemurah, Alhamdulillah. Semoga hidup kita selalu dalam lindunganNya dan tercerahkan selalu.

Selamat malam dan semoga Anda selalu berada dalam keadaan berterimakasih.

On twitter @katjoengkampret | e-mail: katjoengkampret@aol.com

Friday, November 18, 2011

Morning Briefing


Setiap hari, saya selalu melewati lapangan kecil dekat tempat parkir sepeda di area parkir reserved kantor, yang dijadikan reserved parking untuk tamu VIP. Di lapangan itu, setiap hari, sekitar jam 8 pagi saat saya lewat setelah memarkir mobil, selalu sedang ada briefing pagi dari sekelompok polisi dengan seragam yang bercorak merah tua. Rupanya itu adalah kesatuan khusus di Polda Metro Jaya yang bernama Pam Obvit (Pengamanan Obyek Vital). Mereka ditempatkan di sini karena di area perkantoran ini terdapat sejumlah perwakilan negara asing dan organisasi multinasional.

Bukan soal itu yang hendak saya bahas tetapi soal briefing yang dilakukan. Beberapa hari lalu, saat saya berangkat sedikit lebih pagi, saya berkesempatan untuk mendengarkan lengkap apa yang di-briefingkan. Cukup menarik. Rupanya selain itu ritual resmi di kesatuan, itu juga memiliki tiga tujuan fungsional, yaitu (1) mengecek kesiapan anggota dan peralatan kerja yang digunakan untuk operasional hari ini, (2) menginventarisasi permasalahan yang terjadi di hari sebelumnya dan potensi masalah atau isu yang penting untuk hari yang akan dijalani, serta (3) menanyakan kabar masing-masing anggota. Ketiga poin ini menarik, terutama jika kita merasa seorang petugas pelayanan publik.

Pemimpin unit adalah seorang Inspektur Satu, atau setara dengan Letnan Satu. Beliau sudah tua, dan tampaknya seorang polisi karir yang memulai karir dari bawah. Pilihan kata-katanya amat efektif dan efisien, berwibawa dan terdapat impresi kebapakan, karena memang kebetulan anggotanya jauh lebih muda. Untuk penyegaran seringkali diadakan game kecil seperti mengundi siapa yang akan memimpin apel dan briefing di hari tertentu.

Saya sempat bertanya, apakah poin ketiga di atas penting ? Karena tampaknya itu tidak berkaitan dengan tugas pengamanan yang akan dilakukan. Beliau menjawab, "petugas saya bukan robot, mas. Mereka manusia, dan setiap manusia punya masalah serta daya tahan yang berbeda. Sementara, tugas kami membutuhkan personil dengan standar yang tinggi dan tidak akan mau tahu dengan masalah yang dimiliki anggota-anggotanya. Dengan cara demikian, kita sebagai tim akan memiliki kesempatan untuk saling jaga, saling bantu dan memperbaiki kerjasama. Kami bagaikan saudara".

Saya teringat masa saya bertugas sebagai pimpinan suatu unit layanan nasabah. Saya berpikir, mungkin bapak komandan ini akan mampu jalankan tugas dengan lebih baik ketimbang saya jika ditempatkan di unit layanan nasabah tersebut. Setidaknya untuk memastikan kesiapan team dalam menyongsong tugas hari ini, beliau lebih baik dari saya.

Semoga cerita pendek ini memberikan suatu pencerahan yang bermanfaat untuk kita semua. Seandainya ada tanggapan silakan berbagi disini.
Have a nice day @ work !

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com