Friday, September 3, 2010
Kearifan dan Kegagalan
Di awal karir saya, perusahaan pertama saya tersebut (dan juga cinta pertama saya di dunia profesional) berbaik hati menyelenggarakan suatu sesi motivasional dengan memanggil seorang tokoh kondang. Tokoh ini dengan anehnya meminta kami untuk tidak quote namanya jika ada yang dia sampaikan menjadi sesuatu yang bermanfaat. "Saya sudah cukup sukses dan terkenal, dan saya pun sudah tua, anda masih muda, perlu punya kharisma agar bisa berbuat banyak, jika ada kata-kata saya yang bermanfaat bagi anda dan orang lain, sampaikanlah sebagai kata-kata anda, semoga sukses dalam merubah dunia menjadi lebih baik". Demikian tuturnya.
Rupanya beliau itu merasa banyak sekali kegagalan yang terjadi di dunia ini, baik karena kecelakaan, sebab yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kegagalan baginya bukan cuma sukses yang tertunda, namun juga pembelajaran yang ampuh dan cemeti kesuksesan yang tajam. Siapa yang bersedia gagal untuk kesekian kali, bukan ? Cara untuk mengurangi "ongkos belajar" (demikian istilahnya untuk menyebutkan kegagalan pada konteks ini) adalah membekali generasi muda dengan tiga hal : otoritas yang lebih besar namun dilandasi rasa tanggung jawab ; moral dan etika yang sejalan dengan intelektualitas dan materialitas ; serta kecintaan akan sejarah sebagai cermin pembelajaran.
Menurutnya, sumber aneka kegagalan di kepemimpinan dalam dunia bisnis (termasuk pemerintahan menurutnya sebagai suatu bisnis), ada pada tiga sumber : ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakarifan. Sekilas kita tentu paham maksud dua yang pertama. Bagaimana berbisnis atau memimpin orang lain jika kita tidak tahu banyak hal yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas kita ? Atau bagaimana hendak berhasil jika kita tidak memiliki kemampuan atau keahlian dasar yang dibutuhkan untuk tugas tersebut ? Namun bagaimana halnya dengan "kearifan" ?
Ia mendefinisikannya sebagai perimbangan empat hal : benar-salah, sesuai-tidak sesuai, menguntungkan-merugikan, dan baik-buruk. Itulah prioritasnya, menurut beliau. Lakukan segala sesuatunya dengan benar, lalu pastikan bahwa yang dilakukan dan hasilnya telah sesuai dengan yang diminta atau diperlukan, kemudian apakah tindakan dan hasilnya tersebut mendatangkan keuntungan ataukah kerugian, dan terakhir apakah dampaknya menjadikan segala sesuatunya lebih baik ataukah lebih buruk ?
Berpegang teguh pada adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama sekalipun tidak melanggar hukum positif, menurutnya adalah contoh terbaik dari perimbangan tersebut. Menjalankan adat istiadat itu berarti kita telah melanggar ajaran agama. Maka tindakan tersebut sekalipun dampaknya baik (karena setidaknya kita selaras dengan lingkungan kita), dan juga tidak merugikan (walaupun belum tentu menguntungkan), namun tidak sesuai dengan yang disyaratkan ke kita sebagai pemeluk agama yang kita anut, dan pastinya kita berada di situasi yang salah. Hasil akhirnya : jangan dilakukan. Selalu ada resiko dari menegakkan kearifan berdasarkan pada keseimbangan tersebut.
Kearifan menurutnya adalah suatu konsep, suatu ide, suatu produk. Tidak akan menjadi sempurna tanpa proses delivery ke dunia nyata dalam bentuk aksi nyata. Kesempurnaan itu menurutnya pula, hanya akan tercapai melalui tiga media : kesantunan, konsistensi dan kerendahhatian. Penyampaian yang tegas dan konsisten namun dilakukan dengan lembut, santun, jelas dan rendah hati, tidak akan mampu dilawan dengan apapun, karena manusia tidak dibuat dari batu. Jika masih ada yang berusaha dan berhasil untuk melawannya, maka itulah yang disebutnya sebagai tirani, pemaksaan kehendak. Dan pada titik itu, segala sesuatunya menuju ke kegagalan.
Di akhir perjalanan dari pengambilan sikap serta penyampaiannya, kearifan hanya mungkin pula terbentuk dari penggalian pengetahuan serta pengasahan kemampuan. Tidak akan ada kearifan tanpa pengetahuan dan kemampuan. Dan kemampuan terbesar yang dikaruniai Sang Pencipta pada diri kita menurut ajaran agama adalah hal paling sederhana : mengendalikan diri sendiri. Seperti loop yang berputar-putar saja bukan ? Tampaknya demikian. Menunjukkan bahwa sebenarnya kita sebagai manusia, memang kecil adanya.
Bicara soal pemaksaan kehendak serta kearifan, kemarin sore ada sebuah contoh sederhana yang cukup memprihatinkan. Cerita sederhana mengenai sekelompok anak muda yang ingin "merayakan" berbuka puasa bersama di suatu tempat X untuk menikmati hidangan Y dengan rentang harga Z.
Rumus X+Y+Z ini menjadi sedemikian formula sakti yang seolah tak tergoyahkan. Kearifan mereka sebagai individu dan kelompok tengah diuji sebenarnya. Dengan uang yang mereka miliki secara kolektif, bukan hal yang sulit untuk merealisasikan X+Y+Z tersebut. Masalahnya, hanya mereka kah di dunia ini yang mampu berkeinginan sesuai formula X+Y+Z tersebut ? Jika itu formula sakti, dengan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan), perlukah suatu kecerdasan khusus bagi orang lain untuk bisa ikut berkeinginan melaksanakannya ?
Lalu timbul masalah lain, Tempat X memiliki kapasitas terbatas, hidangan Y tersedia hanya dalam jumlah yang tentunya terbatas, dan rentang harga Z hanya dapat diperoleh di tempat yang tertentu pula. Sementara, berbuka puasa adalah suatu variable baru, misalkan A, karena waktunya tertentu. Dan ketersediaan waktu untuk mencapainya juga suatu variable lain, misalkan B, karena mereka harus bekerja. Sementara jumlah mereka pun cukup banyak, yaitu C. Tampaknya terjadi knowledge gap, mereka tidak menghitung A, B dan C sebagai komponen yang ikut bermain. Tanpa pengetahuan, satu sumber kearifan hilang. Lalu, ada ketidakmampuan mengelola persamaan tersebut secara lengkap, termasuk mendefinisikan kebutuhannya sendiri, apakah harus terlaksana saat bulan ramadhan dengan judul "berbuka puasa bersama" ?
Mengapa harus dipaksakan ? Tidakkkah jika sekedar ingin merealisasikan persamaan (X+Y+Z=kesenangan luar biasa+rasa seru yang menggairahkan) mengapa tidak dilakukan di lain waktu, sehingga variable A, B dan C tidak menjadi penghalang ? Ketidakmampuan mendefinisikan keinginan sendiri serta mengendalikan keinginan dari diri sendiri, telah sempurna menghapus kearifan kelompok itu.
Hasil akhir, tidak dapat tempat, dan akhirnya tidak bisa berbuka puasa, membeli makanan atau minuman sekedar membatalkan puasa pun sulit karena semua tempat penuh dan antrian panjang, hendak pulang pun sudah sulit karena macet, pekerjaan di kantor pun terbengkalai karena kepulangan yang lebih cepat dari biasa, dan tetap hingga malam mereka tidak kunjung mendapatkan tempat sehingga beralih ke tempat lain. Tidak satupun dari komponen X, Y dan Z yang akhirnya terkabul.
Bagaimana jika ini terjadi di dunia kerja, di arena bisnis bahkan di pemerintahan ? Sementara ada sebagian dari kumpulan anak muda ini yang memiliki posisi dan otoritas yang cukup signifikan di organisasi mereka ? Ini menunjukkan kematangan situasional mereka yang masih perlu diasah. Tentu kita sepakat, tidak ada kerugian, pelanggaran etika, pelanggaran hukum dan keburukan yang akan muncul jika acara itu ditunda, bukan ? Hanya satu hal saja yang dilanggar : keinginan mereka. Dan hasil akhirnya tetap keinginan itu tidak terlaksana.
Seandainya mereka membaca tulisan ini lebih awal dan mendengarkan saran dari penulisnya kemarin sore....
[katjoengkampret@aol.com]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment