Wednesday, September 8, 2010

Studi Kasus Ekonomi di balik kebijakan 3-in-1 di Ibukota


Menjelang lebaran, libur panjang dan aneka gegap gempitanya, apa kabar ? Sedikit berbagi cerita yang diperoleh dari para saudara sebangsa yang menyambung napas kehidupan menjadi joki 3-in-1 di ibukota. Banyak cerita menarik dari mereka. Satu per satu (kalau saya sabar dan sanggup kumpulkan ceritanya ya) akan saya tuliskan di forum ini. Kali ini, saya dapat cerita menarik mengenai perputaran siklus ekonomi di balik kebijakan tersebut, yang tentunya lebih dari sekedar uang jasa joki dari para pengemudi kendaraan di ibukota.

Seorang joki bertutur, "sekarang mau kerja gak bener aja susah, apalagi mau kerja bener. Jangankan kerja kantoran, jadi joki yang gak tercatat dimana-mana aja perlu pelicin". Aneh juga saya dengarnya. Di pemahaman saya, joki-joki ini sekedar mengisi waktu luang dengan aktivitas yang bermanfaat secara ekonomi, menawarkan jasa menjadi pelengkap jumlah penumpang yang melintas di zona tertentu agar ada 3 orang di dalam mobil dan tidak ditilang polisi. Saya tidak pernah melihat ini sebagai kriminalitas atau pelanggaran ketertiban, sekalipun aparat dan pemerintah daerah selalu memberi label demikian. Justru saya melihat ini sekedar orang tolol tunjuk hidung orang yang lebih lemah. Kebijakan ini kebijakan asal-asalan, lalu aparat dimobilisasi dengan nurani dimatikan dan logika ditinggal di gudang. Rupanya saya salah. Tidak sesederhana itu masalahnya. Lebih buruk dari itu semua.

Rupanya, di sejumlah zona "panas" alias dekat dengan pengawasan polisi dan aparat Satpol PP, justru banyak orang berdiri mengacungkan tangan sebagai joki. Aneh bukan ? Tidak juga, karena memang ada unsur simbiosis. Ada yang tidak terlihat. Itulah para "koordinator". Di zona-zona panas ini, tentu tempat dimana para pengendara mobil merasa kuatir dan butuh jasa joki. Mau memutar ? Mana bisa semudah itu di jalan protokol di Ibukota. Selain macet juga jarak yang amat jauh untuk berputar menyulitkan pengendara untuk menghindar dari hadangan polisi.

Para koordinator ini "membina" antara 20 hingga 100 joki. Jangan salah, atau menyalahkan mata anda. Anda tidak salah baca, seratus ! Ada yang datang dan "menyerahkan" diri ke para koordinator ini, ada pula yang memang direkrut. Tidak jelas mekanisme rekrutmennya. Para joki ini diharuskan setor Rp 10.000,- menurut penuturan joki yang menumpang mobil saya. Ia sendiri saya naikkan di Jalan Senopati, sekitar 100 meter dari mulut Jalan Jenderal Sudirman, dan dari tempat saya menaikkannya saya bisa melihat pak polisi nan ganteng berdiri mematung tiada kerjaan di bundaran senayan.... ironis kan ?

Dari setoran itu, akan ada tiga kontrapretasi yang diberikan oleh koordinator ke para joki, pastinya tanpa kontrak tertulis lah... Satu, mereka diperkenankan menjajakan jasa mereka di zona yang dikuasai para koordinator. Dua, mereka tidak akan disentuh oleh polisi maupun Satpol PP yang ada di daerah tersebut atau melintas di daerah tersebut. Tiga, kalaupun ada razia dadakan yang tidak sempat bocor, dan mereka tertangkap, maka mereka akan ditebus oleh sang koordinator. Gratis ? Tentu tidak. Si joki tetap berhutang separuh dari nilai tebusan yang berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu.

Tapi daripada tidak ikut "paguyuban", resiko lebih besar. Bukan cuma finansial. Pelecehan seksual adalah resiko yang mengerikan, terutama di kalangan Satpol PP. Menurut joki saya ini, dan dibenarkan oleh joki lain yang pernah saya pakai jasanya, perempuan hampir pasti mengalami yang namanya digerayangi, bahkan menurutnya ada yang diperkosa atau dipaksa melakukan hal-hal yang tidak pantas dengan imbalan perlakuan baik. Sementara di kalangan aparat ini rupanya banyak juga para penggemar sejenis yang gemar menggerayangi sesama laki-laki apalagi anak kecil. Pukulan, tamparan dan tendangan menjadi menu standar para aparat ini menurut mereka, terutama di dua hari pertama di panti sosial yang menjadi tempat penahanan mereka. Itu tidak termasuk perlakuan kasar dari tahanan lain yang lebih dulu masuk atau lebih dewasa.

Pertanyaan saya, kalau ada 50 joki seperti koordinator joki saya tersebut, berarti sehari ia bisa kumpulkan Rp 500 ribu ? Dikatakannya memang benar. Uang itu cuma bisa dikantonginya sepertiga. "Sepertiga lagi menjadi setoran pak polisi dan sepertiga sisanya untuk pak komandan satpol, saya suka disuruh setor", katanya. Lebih seru lagi, si koordinator hanya duduk manis di rumah kecuali ada yang ditangkap atau ada masalah dengan para aparat, seperti menjelang Lebaran ini, "polisinya minta THR, sejuta. Kalau yang dari Satpol udah dibayar, pada minta saweran dua ratus ribu per orang", kata si joki. Amit-amit... belum tentu benar memang, tapi entah kenapa saya percaya ucapannya.

Sebelum turun, si joki bilang, jadi koordinator juga tidak kaya-kaya amat, karena waktu mau jadi koordinator, "sampai harus jual motor bebek untuk kasih duit panjer ke aparat" urai si joki. Oooh rupanya pak polisi dan pak satpol jualan kavling..... Dan kalau setoran terlambat atau keinginan tidak diberi, maka kavling akan dilego ke koordinator lain.

Di tikungan berikutnya, si joki turun dan saya bayarkan uang jasanya. Saya semakin tidak merasa bersalah dan memang menurut saya tidak ada hal salah yang saya lakukan atas ketentuan 3-in-1 ini. Di putaran berikutnya saya melihat seorang polisi, dengan pose bodoh yang sama seperti saya lihat sebelumnya, dan saya mual melihat seragam tersebut. Satu kilometer kemudian, sudah amat dekat dengan kantor saya, saya melihat kendaraan pick up milik Satpol PP dan beberapa personil bermain HP sambil mengawasi para joki di seberang jalan di depan gedung Sampoerna. Benar-benar mual rasanya saya melihat sekumpulan anak muda berseragam gelap ini.

Saya 90% percaya kebenaran uraian-uraian di atas. Bagaimana dengan anda ?

[katjoengkampret@aol.com]

No comments:

Post a Comment