Si Abang saat ini sekitar empatpuluh tahun usianya, sedikit lebih tua dari saya. Namun ia berada di puncak karirnya. Nama dan ulasannya banyak menghiasi media massa dan aneka talk show di radio atau wawancara di televisi. Jabatannya sebagai pejabat inti di salah satu lembaga keuangan utama di negara ini yang diraihnya di pertengahan usia tiga puluhan menegaskan eksistensinya. Ia rupanya satu tujuan dengan saya, dan kami banyak bicara satu sama lain.
Saya mengenal Si Abang melalui ibu saya, dimana ibu berhasil menjadikan dirinya donatur tetap di panti sosial yang dikelola ibu bersama rekan-rekannya. Sejak saat itu Si Abang bukan cuma membantu materi, tetapi juga saran teknis, memperkenalkan pengurus panti ke kolega-koleganya serta menyalurkan sejumlah alumni panti ke berbagai lapangan pekerjaan.
Beberapa tahun lalu, dalam suatu acara jamuan, ibu dan Abang melanjutkan pembicaraan hingga larut malam, saya dan ayah pun ikut dalam pembicaraan tersebut. Sebelumnya kami, sebagaimana semua orang, mengetahui Abang adalah putra bungsu seorang tokoh senior di negara ini. Semua orang berpikir ialah titisan ayahnya. Dan ibunya adalah buka cuma istri sang tokoh namun juga seorang penulis dan tokoh kemanusiaan.
Malam itu, kami melihatnya berbeda. Abang mengaku, ia adalah seorang yatim piatu. Sejak kematian kedua orang tuanya, ia masuk sebuah panti asuhan yang dikelola secara sederhana dan swakarsa. Seluruh masa sekolah dasarnya dihabiskan di panti tersebut. Hingga suatu hari, nasibnya berubah. Di hari itu, ialah satu-satunya anak usia SD yang ada. Sang tokoh dan istrinya yang sudah lama kehilangan kesibukan karena putra putri yang sudah dewasa mengadopsinya. Setelah itu, sejarah hidupnya sama dengan apa yang kami dan semua orang ketahui tentang dirinya melalui aneka ulasan di media.
Mengenai sang tokoh dan istrinya yang budiman itu, akan saya ulas terpisah. Tapi yang menyentuh saya adalah ucapan-ucapan si Abang mengenai Panti Asuhan.
Menurutnya, berderma itu baik. Tapi hanya akan menjadi baik yang sesungguhnya jika dilakukan dengan niat yang baik dan melalui cara yang baik. "Panti Asuhan bukanlah juru selamat yang akan memberikan penghapusan dosa dan rasa bersalah secara otomatis untuk ditukar dengan donasi", ucapnya menahan geram. Menurutnya banyak orang yang melakukan donasi, sebatas untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, rasa kasihan dan rasa berdosa, dan untuk setelahnya lupa akan apa yang terjadi dan dilihatnya di panti tersebut.
Ia amat geram pada aneka pihak yang mengajak anak-anak panti asuhan berwisata atau makan-makan. Atau lebih buruk lagi merayakan ulang tahun dan syukuran bersama anak-anak panti asuhan. "Itu jahat dan amat menyiksa" tuturnya.
"Anak-anak itu hidup serba terbatas, semua sebatas menyambung hidup, dengan tetap memelihara sedikit harapan yang tersisa agar bisa mandiri dan hidup layak kelak", urainya. Makanan yang terbatas jumlah maupun citarasanya, perangkat belajar dan fasilitas bermain yang minim dan seringkali tak layak pakai, serta kasih sayang pembimbing yang tidak tersedia seperti bagi anak lainnya, adalah realita hari ke hari dari tiap anak panti. "Dan itu tidak menjadi alasan bagi kami untuk mati dan hilang ditelan waktu. Kami terus pelihara harapan dan upaya, karena kami tahu kami hanya tidak beruntung" jelasnya.
Saat ada "dermawan" yang datang entah dari mana dengan paket komplet : kasihan, senyum, makanan enak dan sedikit perayaan, itulah hari dimana pengurus panti kelimpungan. Hampir pasti, esok hari akan ada beberapa anak panti yang sakit perut karena makan terlalu banyak. Lalu hari-hari berikutnya pengurus panti akan direpotkan oleh rengekan aneka anak panti yang masih kecil dan belum bisa mengerti "kenapa makanan enak itu tidak ada lagi hari ini?".
"Mereka hanya butuh tiga hal, dan harus tersedia terus menerus : bimbingan, kesempatan, dan fasilitas" jelasnya. Pendidikan, pelatihan, ketrampilan, pengembangan karakter dan kepribadian, serta kesempatan untuk hidup mandiri, adalah "tambang emas" yang akan mengentaskan anak-anak panti untuk hidup mandiri dan sejajar dengan anak-anak lain yang lebih beruntung.
Kami telah dipanggil untuk naik ke pesawat. Sambil menghela tas, ia menepuk pundak saya "Sisakan sedikit kursi untuk anak-anak itu dik, mereka membutuhkannya. Kamu tidak akan kecewa. Mereka tangguh dan dapat dipercaya. Bantu mereka juga dik, biar mereka makin percaya diri dan merasa ada yang sayang".
He's right. He experienced it. And now he practices the right things.
[masdewo@aol.com]
"love the country, just hate the leaders and the politicians"
No comments:
Post a Comment