Wednesday, July 14, 2010
Kartu Pos dari Frederikplatz
Saya dikabari oleh adik saya beberapa minggu lalu saat di kantor, "mama tadi siang jatuh, lututnya cedera mungkin ada yang patah". Singkat cerita ibu saya dibawa ke Rumah Sakit dan memang harus bed rest beberapa minggu sebelum bisa mulai latihan berjalan. Tidak ada yang spesial dari rangkaian kejadian ini, kecuali kesadaran kami bersama bahwa ibu saya memang sudah menua dan harus diawasi lebih ketat (sekalipun beliau bisa murka kalau tahu saya katakan ini). Ibu saya selalu merasa amat kuat (setidaknya itulah anggapan dirinya tentang dirinya sendiri), dan pantang menyerah.
Kejadian yang agak spesial terjadi dua minggu sesudahnya, saat saya dan keluarga berkunjung untuk melihat kemajuan Ibu dari pemulihan cederanya. Saat semua bersenda gurau mengelilingi Ibu yang bermain dengan kursi rodanya, bersama cucu-cucunya dan diawasi oleh Ayah saya. Semenjak datang, perhatian saya terpaku pada suatu kartu pos cantik di sudut ruang tamu, tempat kami meletakkan aneka surat dan tagihan sejak kami tempati rumah itu tiga puluh tiga tahun lalu. Kartu pos cantik itu terkirim dengan pesan singkat di belakangnya "peluk cium untuk Ibu, semoga lekas sembuh. maafkan saya tidak bisa hadir langsung menghadap Ibu saat sakit".
Di bagian depannya tampak pemandangan khas di suatu negara Eropa, kastil dan taman bunga nan indah dengan tulisan di sudutnya "Frederikplatz".
Ingatan saya melayang jauh ke suatu sore di akhir minggu di rumah ini, sekitar dua puluh tahun lalu. Kami sekeluarga tengah membersihkan halaman rumah bersama-sama, saat itu saya masih di bangku Sekolah Menengah Atas. Aktivitas kami terhenti seketika saat seorang anak gelandangan yang terlihat amat menderita, membawa karung lusuh dan tampak begitu berat untuk tubuh kurus dan ringkihnya, memperhatikan kami dari luar pagar. "Boleh saya bantu bersihkan halamannya Bu, saya butuh uang untuk makan" ucapnya. Saya ingat, ucapan itu lebih terdengar seperti rintihan lemah.
Perlu saya sampaikan, Ibu saya seorang yang tegas, keras namun sosial. Bahkan bagi kami pun beliau masih tergolong aneh. Salah satu keanehannya adalah kegemaran beliau membawa pulang hal-hal tidak terduga : aneka barang antik, aneka majalah berbahasa asing (Ibu putra seorang diplomat, fasih bicara dalam 5 bahasa asing dan menghabiskan 15 tahun di luar negeri bersama orang tuanya), dan aneka orang yang kurang beruntung. Persis seperti dugaan kami, Ibu bangkit, membuka pintu dan ajak anak tersebut masuk. Tidak lama, ibu ajak bicara dan suguhkan panganan kecil yang ada di meja makan kami sore hari itu. Apa yang dibicarakan, kami tidak tahu persis hingga hari ini, namun kami sudah tahu apa yang terjadi sesudahnya.
Malam itu juga, anak tersebut datang kembali ke rumah dengan membawa beberapa baju kumal, dan kantung lain berisi aneka barang. Itulah seluruh "harta benda" yang dimilikinya. Ibu hanya berkata singkat, "malam ini Coki (begitulah kami panggil anak itu hingga hari ini) akan tinggal disini bersama kita hingga ia bisa mandiri dan kembali ke rumah orang tuanya, kita akan dibantu untuk urusan bersihkan halaman, sampai ia mendapat sekolah". Tegas dan tidak ada maksud untuk membuka tanya jawab. Kami tersentuh melihat anak itu, amat kurus dan kotor, namun satu hal saya dan adik2 saya sepakat : tatapannya cerdas, dan anak itu tampak tabah, pantang menyerah. Kedua hal yang sama persis dengan karakter Ibu.
Kami belakangan tahu, ia masih punya Ibu kandung, dua orang kakak lelaki yang meninggalkan rumah untuk mencari nafkah (entah dimana dan menjadi apa), serta seorang adik perempuan beberapa tahun di bawah usianya yang menderita keterbelakangan mental (sangat mungkin karena gizi buruk dan kehidupan yang sulit saat di kandungan). Ia tinggal di suatu kampung kumuh, di sebuah rumah berlantai tanah dan berdinding kardus, bertiga bersama ibu yang amat dicintainya dan adiknya yang terbelakang. Mereka ditinggalkan oleh sang Ayah tidak lama setelah si adik terlahir cacat. "Bapak kawin lagi sama penyanyi dangdut di pasar malam belakang pasar Kebayoran" ucapnya lugu. Ia mencari nafkah menjadi gelandangan pemungut sampah setelah agak besar, dan tidak pernah sekolah. Kami tidak tahu persis berapa usianya. Kami perkirakan saat itu ia sudah usia 9 atau 10 tahun.
Ibu cukup sigap. Esok hari, ibu secara sepihak menetapkan tanggal di hari ia datang sebagai ulang tahunnya, dan tetapkan usianya 8 tahun. Lalu Ibu bergegas ke pengurus lingkungan dan mulai mengurus salinan surat lahir, agar anak ini bisa bersekolah. Beberapa bulan kemudian saat hari pertama tahun ajaran baru, jadilah anak itu sebagai siswa tertua di kelas 1 (sekalipun tubuhnya sama dengan rekan lainnya) di Sekolah Dasar Inpres dekat rumah kami. Kami masih ingat bagaimana ia tidak hentinya bersujud syukur sepulangnya dari hari pertamanya ia bersekolah. Ia tampak begitu bahagia dan saya ingat betul hari itu ia terlambat menyiram tanaman karena tertidur kelelahan. Entah lelah bersekolah atau lelah merajut mimpi indah.
Malamnya, saat hendak tidur dan hendak ucapkan selamat malam ke Ibu, saya mendapatkan Ibu, seorang yang saya kenal berwatak amat keras dan garang, menangis sembari mempersiapkan seragam sekolah anak itu. Terlihat jelas celana berwarna merah itu basah oleh air mata Ibu. Saya hanya beringsut pergi dan batalkan rencana saya mengucapkan selamat malam.
Saya tidak ingat detail sesudahnya, saya lolos UMPTN dan diterima di perguruan tinggi negeri elit. Saya pergi untuk kost karena lokasi kampus agak di luar kota. Yang saya tahu, adik-adik sering mengatakan Ibu sering masak masakan yang enak-enak karena anak itu rapornya bagus. Namun saya juga diceritakan bahwa anak itu sering menangis karena bentakan dan hardikan Ibu yang tidak mau terima nilai ulangannya hanya delapan. Saya kemudian tahu bahwa anak itu masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri yang cukup baik di dekat rumah kami, dan kembali tinggal bersama Ibu dan adiknya.
Tidak berapa lama, cobaan pun datang. Si adik yang amat disayanginya meninggal dunia karena kecelakaan. Menjelang kelulusannya, sang Ibu pun meninggal dunia karena sakit. Keluarga kami sempat membawanya ke Rumah Sakit namun tidak tertolong, kemungkinan besar karena pneumonia akut. Sejak saat itu ia tinggal kembali di rumah kami. Kami sempat mendengar di malam ia kembali ke rumah, ia mengatakan "bolehkah saya menjadi anak Ibu ? saya tidak punya siapa-siapa lagi". Kami pun mendengar Ibu hanya bergumam datar menjawab "gak perlu diminta, kamu sudah jadi anak Ibu sejak kamu lewat depan pagar dulu". Kemudian kami hanya mendengar suara isak tangis anak malang itu. Saya tidak tahan untuk tidak ikut menangis waktu itu. Saya juga melihat adik-adik saya menangis, dan Ayah menitikkan air mata saat kejadian itu. Kami semua menangis.
Di luar dugaan, saat kelulusan ia menjadi lulusan terbaik dan masuk ke Sekolah Menengah Atas elit di daerah kami serta memperoleh beasiswa. Satu hal yang tidak hilang, halaman rumah dan mobil ayah saya masih menjadi "garapan" rutinnya. Kami kemudian mendengar, Ayah dan Ibu memanggilnya menjelang kelulusan dan katakan bahwa mereka tidak mampu biayai dirinya untuk kuliah di perguruan tinggi swasta. Ia hanya mengangguk dan katakan seusai SMA, ia mungkin akan bekerja jika tidak memperoleh kesempatan kuliah. Saya ingat, ia akan belajar mengemudi untuk menjadi supir angkutan kota . Sungguh sayang sebenarnya untuk seseorang yang pandai dan fasih berbahasa Inggris, hanya menjadi supir. Ibu mendidiknya amat keras bukan hanya soal disiplin dan soal pelajaran, Ibu memaksanya untuk fasih berbahasa Inggris, sama seperti kami, anak-anak kandungnya.
Dan kejutan kejutan berikutnya terus datang. Ia diterima sebagai siswa PMDK di suatu perguruan tinggi negeri di luar kota, tanpa test dan tanpa biaya masuk, di suatu jurusan yang cukup aneh untuk keluarga kami yang berkutat di bidang teknik. Ia memilih jurusan Hubungan Internasional. Rupanya, Ibu amat berhasil membimbingnya, bukan cuma mengangkatnya dan memotivasinya, namun juga memodali mimpinya. Ia ingin bisa seperti Ibu yang bisa menikmati perjalanan ke luar negeri. Ia lulus nyaris 'cum laude' di tahun ke-empatnya, dan sepanjang periode itu Ibu hanya berikan uang yang amat minim untuk biaya hidup. Rupanya ia mencari tambahan dengan memberikan les privat kepada siswa-siswa di bimbingan belajar sebagai nafkah.
Sempat menganggur beberapa saat di kota tersebut, ia kemudian kembali ke rumah, menempati kamar di loteng yang dihuninya sejak belasan tahun sebelumnya. Ia sempat menjadi tenaga administrasi honorer di kantor Ayah selama beberapa bulan sembari mencari pekerjaan lain. Hingga suatu hari saya ditelpon Ibu di kantor "Coki diterima di Deplu, mama mau kamu bicara sama dia karena nanti sore dia harus berangkat ke diklat untuk pendidikan, kamu kasih dia nasehat untuk di dunia kerja". Singkat cerita, masuklah ia ke Departemen Luar Negeri, sebagai calon staff luar negeri, bahasa bersayap untuk "calon diplomat". Lulus pendidikan dengan predikat memuaskan, ia sempat menjadi staff beberapa bulan menunggu penempatan dinasnya. Anak gelandangan pemungut sampah itu kini sudah begitu dekat dengan mimpi yang dulu bahkan tidak pernah mungkin hadir di kepalanya.
Di hari yang hanya berselisih beberapa hari dengan "tanggal kelahirannya", dengan tanggal ia "ditemukan" oleh Ibu, keluar keputusan bagi dirinya, ia ditempatkan di suatu negara di Eropa sebagai staff KBRI dan hanya punya waktu dua minggu untuk masuk karantina dan diberangkatkan. Ibu yang menerima surat itu, dan mereka membukanya bersama-sama. Ayah saya bilang, setelah membaca berulang kali hingga ia yakin apa yang dibacanya, ia langsung memeluk Ibu dan berlutut hendak mencium kaki Ibu. Saya ingat, Ibu selalu murung menjelang keberangkatannya. Saya ingat pula, Ibu tiada henti berdoa dan terus sibuk mempersiapkan aneka keperluan untuk perjalanan jauh itu. Di hari keberangkatannya, kami semua mengantarnya ke tempat ia akan dikarantina di Diklat. Tidak satupun barang yang dipersiapkan Ibu yang ditolaknya. Bawaannya amat banyak dan terlihat merepotkan. Hari itu, kami bertiga menjadi "anak tiri", hingga namanya dipanggil masuk, ia hanya duduk diam bersebelahan dengan Ibu seolah tidak mau lepas.
Dua puluh tahun berlalu sejak kami melihatnya nyaris mati kelaparan di pagar halaman kami. Kini, ia sedang dalam lawatan di suatu negara tetangga dalam rangka dinas untuk menemani rombongan pejabat pemerintah, dan ia sempatkan mengirim sebuah kartu pos untuk Ibu. Kartu pos dari Frederikplatz. Saya masih cukup teliti untuk melihat, di bagian belakang, suatu noda merusak tulisan tangannya untuk Ibu, noda karena air yang mengaburkan tintanya. Saya tahu, itu air mata. Ia pasti menangis pada saat menulis pesan di belakang kartu pos itu untuk Ibu saya.
Ibu saya telah berikan semua yang ia miliki untuk anak ini. Bukan cuma sekedar makanan untuk membuatnya tetap hidup. Ibu juga berikan segenap jiwa pengasuhannya, cintanya dan bimbingannya yang keras. Tidak sedikitpun standar yang diberikan pada kami dikurangi untuk anak itu. Ibu sebenarnya bisa pada saat itu sekedar berikan makanan hangat dan uang, lalu bersikap tidak pernah ada peristiwa tersebut. Tapi Ibu tentukan sendiri jalan yang berbeda bagi dirinya, dan bagi anak yang malang itu.
Dan Allah maha adil, Allah ganjar pula kesungguhan dan keikhlasan Ibu dengan keberhasilan dan pengharapan yang menjadi kenyataan. Allah pula ganjar kesungguhan dan kesetiaan anak itu dengan semua nikmat yang diterimanya hari ini. Membuat perbedaan, itulah yang Ibu lakukan. Itu pula sesuatu yang saya dan semua orang harus lakukan dalam hidup.
Kini, dua puluh tahun berlalu sejak saat kami melihatnya pertama kali dengan iba, ia telah berada di suatu tempat, amat jauh dari kami, tapi mungkin tidak terlalu jauh dari Frederikplatz. Namun tiba-tiba saya lah yang merasa terpisah dari Ibu dengan jarak yang lebih jauh dari jarak antara Frederikplatz dengan Jakarta. Padahal kami sama-sama di Jakarta, dan bahkan kami baru saja bicara melalui telepon dua hari lalu.
Kerinduan saya akan kehadiran beliau demikian menyiksa, ingin rasanya saya bertemu Ibu dan mendekapnya erat. Saya berdoa, agar bisa bertemu Ibu segera agar rindu saya terobati. Rindu pada seorang Ibu dan seorang berhati mulia di balik suara garangnya. Di lubuk hati, terucap kata maaf seorang anak yang tidak cukup keras berusaha untuk dekat dan hadir di hadapan sang Ibu. Semoga saya masih diberi kesempatan sampaikan maaf tersebut.
[masdewo@aol.com]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment