Wednesday, July 14, 2010

From The First Day at School


Kemarin menjadi hari yang istimewa bagi kedua anak saya, si sulung masuk SD ("sekolah beneran nih aku sekarang" katanya) dan si bungsu masuk ke TK B (yang disebutnya "sekolah untuk anak yang udah mau gede"). Bukan hanya excitement yang mereka dapatkan di lingkungan dan suasana baru, tetapi juga kawan baru dan cerita baru.

Kebetulan saya memperoleh "jatah" untuk mengawal si kecil, berarti masih di sekolah yang lama, dan dengan teman-teman yang lama plus beberapa kawan baru. Saya beruntung memiliki sekitar 10 menit untuk mendengarkan interaksi sosial pertamanya di sekolah setelah berlibur selama satu setengah bulan. Dan pengalaman ini mengajarkan saya beberapa hal baru sesungguhnya.


"Aku bermain di sawah, papa mamaku ajak aku dan kakakku liburan ke Jawa, jadi kita juga ke candi besar di Borobudur", demikian intro-nya. Agak salah sih sebenarnya tata bahasa dia, tapi okelah. Lalu disambungnya "ada jalan di Jogja namanya Marlioboro, terus belanja batik di Solo", masih ada kesalahan ucap, dan aneka lanjutannya. Ini menjadi trigger bagi aneka cetusan lain dari rekan-rekannya di taman bermain bagi kalangan menengah ini.


Dalam sekejap saya terkejut. Dari anak-anak usia empat-lima tahun ini terlontar aneka kata-kata ajaib : "Singapor", "Paris", "Menara Petronas", "Kei El", "Aussie", "Gedung Opera", dan juga kata yang agak relevan "nonton piala dunia di layar besar di Londen waktu Inggris kalah".... ck ck ck Hebat Euy !!


Tersadar ingatan saya seorang tukang sol sepatu yang kami panggil semalam untuk menambal sol sepatu saya yang sobek terkena benda tajam. Bayaran dari diperolehnya dari kami amat disyukurinya karena telah memberi napas baru bagi anaknya, untuk melanjutkan sekolahnya ke bangku Sekolah Dasar Negeri. "Kurang uang seragam dan buku, kalau uang sekolahnya gratis", tuturnya. Tidak banyak sesungguhnya, hanya Rp 30.000,-. Ya, anda tidak salah, tiga puluh ribu Rupiah, bukan tiga puluh ribu Dollar, yang telah menghantarkan seorang anak untuk dapat merasakan nikmat dan bahagianya bangku sekolah dasar negeri yang sederhana. Nilai yang sama pula, jika tidak terbayarkan, akan merenggut mimpi, senyum dan kebahagiaan anak si tukang sol sepatu tersebut.


Ia cukup beruntung. Ratusan, ribuan, bahkan jutaan, anak-anak malang di seluruh penjuru dunia, tidak seberuntung dirinya. Sekalipun tidak dapat dipastikan seberapa jauh ia akan melangkah menapakkan kakinya di alam pendidikan guna secuil harapan untuk perbaikan nasibnya, setidaknya ia hari ini telah sampai di titik harapan pertama. Senyum dan kebahagiaan di titik ini telah digapainya. Entah nanti.... Namun bagi anak-anak yang kurang beruntung, bahkan kebahagiaan hari pertama ini pun terlalu jauh dari bayangan. Terlalu tinggi dari gapaian. Dan sudah pasti terlalu pedih dari sekedar harapan.


Saya teringat seorang sahabat yang dibuang kedua orang tuanya saat masih bayi dan diakui sebagai anak kandung kakek neneknya saat hendak "dilego" ke suatu panti. Setelah melalui masa penuh kasih di suatu desa di Jawa Barat, saat tumbuh dewasa ia menyadari perbuatan aib tersebut, dan bersumpah tidak akan memaafkan kedua orang tuanya. Dendamnya begitu besar, sehingga hanya pupus oleh dua hal. Pertama adalah rasa kasih sayang tak terhingga dari kakek neneknya yang ikhlas membesarkan dirinya dan memompakan kata maaf tiada henti ke dirinya hingga ajal mereka, dengan harapan ia akan memaafkan kesalahan orang tuanya. Kedua adalah curahan kasih sayangnya pada anak-anak yang kurang beruntung. Energi, rejeki dan emosinya seolah tiada pernah habis untuk dialirkan kepada mereka yang kurang beruntung ini. "Cukup saya yang merasakan itu semua" katanya suatu waktu.


Ia tidak menikah dan bersumpah tidak akan menikah. Pernikahan menurutnya hanya akan menjadikan diri seseorang menjadi bukan dirinya sendiri. Saya tau ia marah dan salah, tapi tidak ada jalan sejauh ini untuk menyadarkannya. Enam tahun bersahabat dengannya, saya tidak mampu menghitung dan mengingat, berapa banyak uang yang disalurkannya ke anak-anak kurang beruntung itu. Saya mencatat, tiga kali ia mendirikan bangunan sekolah dan madrasah. Saya tau ia memiliki empat usaha yang terus merugi dan dibiarkannya tetap berjalan agar bisa dijadikan bengkel latihan keterampilan dan kewirausahaan remaja di desa. Saya pernah diminta menemaninya ke Glodok untuk membeli sepuluh mesin pembangkit listrik tenaga air ukuran mini, "agar tiap malam adik-adik di sepuluh desa itu bisa belajar dan mengaji" katanya. "Tidak perlu membayar listrik yang mahal agar uangnya bisa dipakai untuk terus bersekolah" harapnya.


Suatu hari ia tidak masuk kantor, cuti statusnya di HRD. Seminggu kemudian ia sumringah masuk kantor lagi dan katakan ia baru saja pulang dari Amerika Serikat, dan sukses menggolkan paket penjualan furniture dari salah satu usahanya. Siang harinya ia memohon saya pinjamkan uang sebesar dua juta Rupiah, yang terasa agak "janggal". Rupanya ia hendak mengirim uang ke beberapa desa, total senilai dua ratus juta Rupiah untuk pendirian gedung sekolah swadaya, membangun instalasi listrik alam, dan membuat perpustakaan desa. Itulah desa-desa yang ditemuinya beberapa minggu lalu saat mencari pemasok rotan untuk industri furniturenya. Miskin, tersisihkan dan tidak berdaya, katanya.

Saya doakan kawan saya tersebut, untuk selalu panjang usia dan selalu kembali kepada ketaqwaan yang seharusnya, dimana ia begitu marah kepada Tuhan dan menolak bersujud kepadaNya karena nasib yang diterimanya di masa lalu. Namun saya juga berdoa untuk diri saya sendiri dan para orang tua dari anak-anak lain yang super beruntung itu, agar selalu dibukakan hati dan nurani agar membelanjakan lebih dari yang kita pernah lakukan, demi anak-anak yang malang itu. Tawa bahagia mereka, Insya Allah akan menjadi jembatan dariNya untuk meniti jalan kehidupan yang penuh ridha dan berkah dariNya, bagi diri kita dan keluarga kita.


Di pidato pertama Kaisar Hirohito setelah menyatakan penyerahan tanpa syarat pada Sekutu, dengan lirih dan pedih ia sampaikan : "segera berjalan ke seluruh penjuru negeri, hitung dan sampaikan padaku, berapa ruang belajar yang tersisa, berapa guru yang masih mampu mengajar, dan berapa anak yang masih mau belajar, kita akan segera bangkit bersama-sama melalui mereka". Dan ia benar.

Rekan-rekan, masa depan bangsa kita, senang atau tidak, harus dititipkan pada generasi yang kita bicarakan di atas.

Selamat bersekolah Nak, bagi yang beruntung. Kepada yang belum beruntung, teruslah berdoa, berharap, dan memohon. Allah tidak akan meninggalkan ummatnya.


[masdewo@aol.com]

No comments:

Post a Comment