Rabu, 22 Juni 2011
Enam Hal Yang Tidak Disadari Dan Diketahui Oleh Karyawan Saat Indisipliner Atau Membangkang
Kita semua pasti pernah menyaksikan sendiri, mendengar secara tidak langsung, mengalaminya sendiri sebagai atasan dan bahkan mungkin melakukannya sebagai bawahan, suatu tindakan dan perangai tidak terpuji berupa tindakan indisipliner atau sikap membangkang, baik kepada atasan maupun kepada peraturan perusahaan.
Kedua hal itu sejatinya menjadi salah satu masalah yang umum dihadapi oleh setiap pemimpin dan manajer, di manapun, kapanpun dan dalam organisasi apapun. Penyebabnya bisa salah satu atau gabungan dari aneka faktor : mentalitas yang kurang baik, iklim kedisiplinan organisasi yang memang buruk, aspek kontrol di organisasi yang tidak berjalan baik, kepemimpinan yang lemah, hingga situasi kerja yang secara umum memang tidak kondusif.
Apapun itu, kedua tindakan tersebut tidak lah pernah dapat diterima dan memperoleh pembenaran atas alasan apapun. Kita tidak membahas aspek ini secara lebih jauh, namun mencoba untuk mengkaji mengenai hal-hal yang secara umum tidak terpikirkan, atau bahkan memang tidak diketahui sama sekali oleh para staff yang melakukan tindakan indisipliner atau menunjukkan sikap membangkang tersebut. Apa itu ?
Satu, tindakan buruk atau sikap buruk itu menular dan si inisiator akan mudah ditunjuk sebagai provokator atau pihak yang bertanggung jawab atas perilaku buruk yang terjadi di sejumlah staff lain karena mencontoh tindakannya. Cap buruk ini akan mudah melekat, dan sulit lepas karena menimbulkan antipati serta membuat ngeri manajer karena potensial menjadi tambahan pekerjaan yang tidak perlu. Akibatnya : sulit memperoleh promosi, sulit memperoleh referensi dan sulit memperoleh rekomendasi. Termasuk saat hendak mencari kerja di tempat lain, karena jamak personil HRD akan mencari tahu siapa kita ke perusahaan kita sebelumnya.
Dua, tindakan buruk dan sikap buruk itu cenderung lebih merusak ke dalam daripada keluar. Saat kita menjadi 'bad guy', bisa jadi mayoritas orang akan mengabaikan kita dengan memberi cap 'tidak dewasa' atau 'biang kerok' sehingga langkah termudah adalah menghindari kita. Namun, sebenarnya justru diri kita lah yang lebih merugi, karena efek kerusakannya lebih dominan terhadap diri kita sendiri. Menurut penelitian psikologi yang sudah banyak dibahas dan diamini para ahli, sikap dan tindakan buruk akan terpatri di otak, sehingga keseluruhan cara kita berpikir, memandang suatu hal serta mengambil keputusan akan menjadi buruk. Tidak heran bukan orang berperangai buruk sering membuat keputusan dan mengambil tindakan yang semakin memperburuk suatu keadaan yang sudah buruk ?
Tiga, tindakan buruk dan sikap buruk cenderung membuat pelakunya dihindari orang, dan celakanya dipandang sebagai suatu 'kemenangan'. Apa akibatnya ? Si pelaku mulai diorientasi dan kehilangan acuan akan standar perilaku dan karakter yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan, suatu lingkungan, dan suatu standar etika. Di kemudian hari, ia akan merasa tindakannya benar dan akan menambah dosisnya. Mengapa ? Karena merasa tidak ada yang salah dari tindakannya. Tidak ada hukuman, karena memang tidak ada orang yang hendak berpusing-pusing dengan dirinya. Tiba-tiba dia sudah di luar batas toleransi tanpa pernah benar-benar menyadarinya. Dan pada saat itu tentu sudah terlalu jauh sehingga berakibat fatal. Inilah sebab orang yang mangkir di awal minggu akan terus melakukannya di awal minggu lain. Atau orang yang terlambat satu menit hari ini cenderung akan terlambat 10 menit di hari esok dan terlambat 1 jam di seminggu berikutnya.
Empat, tindakan dan sikap buruk cenderung menghilangkan aspek estetika dan kemampuan relasional seseorang. Cukup bisa dimengerti jika di dunia seni, umumnya dicoba agar lingkungannya sebebas dan senatural mungkin. Ini dimaksudkan untuk hilangkan 'belenggu' dan 'tembok-tembok' yang halangi kreativitas. Jika suatu sanggar lukis menerapkan masuk jam 8 kepada seluruh artisnya, tentu kreativitas mereka mudah terganggu bahkan hilang karena ada kemungkinan mereka terlambat dan otomatis secara bawah sadar akan mencap diri mereka sendiri sebagai si pelanggar aturan. Tapi tentu hal ini tidak berlaku di dunia profesional. Akibatnya, orang yang sering melanggar aturan dan bahkan membangkang, akan sulit berinteraksi dengan baik terhadap orang lain. Juga kehilangan aspek estetika, sehingga sulit untuk memperoleh 'rasa' yang pas saat bertindak, misalkan menyapa orang lain, berbicara dengan orang lain, menulis e-mail atau membuat komentar atau disposisi atas suatu proposal. Akan muncul kecenderungan negatif yang berakibat munculnya ekspresi sinis, nyinyir bahkan sarkastis yang amat tidak perlu dalam karya dan komunikasi mereka.
Lima, produktivitas yang menurun. Otomatis jika kita indisipliner, terlambat atau mangkir, kita akan kehilangan waktu produktif kita. Sementara halnya dengan perangai membangkang dan tindakan pembangkangan, survey dan penelitian psikologi membuktikan bahwa sekasar dan sepembangkang apapun seseorang di lingkungan kerjanya, bahkan untuk melakukan pembangkangan kecil pun membutuhkan waktu setidaknya 4 menit untuk berpikir ulang dan menformulasikan tindakan pembangkangan yang dirasa efektif dan menguntungkan dirinya. Lalu setelah dia melakukan tindakan yang dianggapnya benar, sekitar 79% akan menyesalinya dalam waktu kurang dari 5 menit, dan sesudahnya menghabiskan waktu setidaknya 22 menit untuk berdiam diri, merenung atau menenangkan diri. Tentu angka-angka itu akan meningkat sejalan dengan bertambahnya kadar pembangkangan yang dilakukan.
Enam, munculnya faktor 'tapi' dan antipati. Sediam apapun kolega, saat menyaksikan rekannya membangkang atau indisipliner akan antipati sekalipun dalam hati. Apalagi jika kolega itu seorang yang tertib, patuh dan produktif. Ia akan makin sakit hati saat melihat tindakan negatif didiamkan karena merasa tidak adil. Begitupun bagi atasan, sediam apapun ia menyikapi tindakan negatif anak buahnya, sudah muncul faktor 'tapi' di dalam subyektivitasnya. Setiap keputusan yang baik adalah yang didasarkan obyektivitas dan subyektivitas yang proporsional. Faktor terakhir ini lah yang akan hilang ditiup angin... Pernah familiar dengan ucapan "Si X ini berulang kali selamatkan perusahaan dari masalah, talentanya luar biasa TAPI .....", atau "seharusnya si Y sudah bisa kita promosikan TAPI ....". Faktor 'tapi' dan antipati ini tidak bisa diabaikan. Terbukti sejumlah hal besar terjadi dan tidak terjadi karena adanya faktor subyektif yang tidak terhindarkan.
Dengan uraian di atas, semakin jelas tambahan tugas setiap manajer di dunia ini : untuk menyampaikan berulang kali betapa pentingnya sikap positif dan disiplin kepada setiap karyawannya, dan membimbing team yang dipimpinnya dengan contoh nyata dari dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment