Friday, April 27, 2012

tips ikut job fair yang efektif dan produktif


Apa yang akan kita temui di Job Fair pada umumnya ?
  1. Recruiter - dari perusahaan maupun dari konsultan, dari perusahaan tentu untuk rekrut tenaga kerja di bursa pencari kerja, dan dari konsultan biasanya cari database untuk ditawarkan ke industri atau pihak yang butuh skill khusus (dimana si konsultan akan memperoleh komisi)
  2. Profiler - bisa dari perusahaan maupun konsultan, umumnya psikolog yang diminta untuk membuatkan profil kandidat yang dipilih oleh rekruter untuk direview lebih lanjut oleh pejabat-pejabat yang lebih tinggi atau user langsung (misalkan supervisor, manager etc)
  3. Pencari kerja - sumpah deh ini jumlahnya buaaaanyaaaaaaaaaaaaaakkkk banget. ini adalah mayoritas isi dari lokasi tempat job fair berlangsung
  4. Mbak-mbak atau mas-mas sales - ini biasanya dari perusahaan yang dihantui target untuk generate leads atau quota untuk ikut promo event ; padahal seringkali gak nyambung. misal sales perusahaan properti, jelas2 yang datang audience yg baru lulus atawa pengangguran atawa karyawan galau koq ditawarin beli rumah plus aneka brosur dan maket rumah.. iya kan ?

Apa yang sebaiknya kita targetkan untuk dilakukan saat datang ke Job Fair ?
  1. Sebar CV sebanyak mungkin, please prepare CV dalam format yang baik dan bebas typo error, jangan fotokopi ! Print yang bagus (kalo bisa kualitas laser) dan siapkan amplop coklat yang sudah ditempelkan alamat/nomor kontak kita...
  2. Ikut walk in interview atau walk in profiling session : banyak orang yang karirnya bagus dan mulai dari job fair. Saya satu diantaranya. Karir saya cukup baik dan semua dimulai di UI Job Fair 15 tahun lalu, dimana saya ikut job profiling session yang diadakan Fakultas Psikologi UI dan direfer ke suatu bank as user
  3. Networking dan cari kenalan sebanyak mungkin : siapkan kartu nama kita, dan sebisa mungkin prepare kartu nama pribadi yang bagus dan "netral" untuk dibagikan ke kenalan kita (terutamanya orang HRD, profiler dan recruiter). Bahkan dengan sesama kandidat, bisa jadi peluang bisnis maupun kencan....
  4. Ikut seminar pengembangan karir yang biasanya gratis - ini kalo pas ga pameran mahal lho... ikut satu dua sesi seminar berguna banget, kita bisa dapat info baru mengenai job market condition, skill apa yang lagi banyak dicari, type kandidat gimana yang harganya mahal, bahkan mengenai salary range survey

Apa yang harus kita persiapkan sebaiknya saat datang ke Job Fair ?
  1. Berbusana yang pantas. Jangan kayak Slankers maupun terinspirasi K-Pop, tapi jg jangan sampe pake jas dan dasi yah... normalnya semi formal casual. Kalau cowok ya kemeja lengan pendek is OK, kalo bisa pake celana docker. Cewek juga bisa pake blus dgn bawahan yang serasi. Dan... pake sepatu !
  2. Handphone yang pulsanya penuh dan baterainya penuh. Seringkali Anda akan diminta missed calling ke HRD or recruiter karena dia malas mencatat nomor anda atau ribet.. cara plg mudah adalah miss call dia dan dia akan record nomor anda di telponnya. Malu kan kalo "duh maap, ga ada pulsanya.."
  3. Set of printed CV dan siapkan juga amplop coklat, alat tulis yang bagus (biar ga mbelobor or ngadat) dan stock pas foto berwarna (karena suka diminta terutama saat anda ikut walk in interview atau walk in profiling)
  4. Flash disk, isi aneka file CV, Lamaran kerja generik (bisa untuk apply apa aja), image pas foto kita, scan dokumen2 penting (ijazah, sertifikat etc)
  5. Prepare simulasi interview dan tanya jawab profiling. Jangan salah friend, para profiler di job fair itu terbiasa interview 300 kandidat dalam satu hari ! Mereka bisa assess seseorang punya 3P (personality, potential, positive values) hanya dalam 3-5 menit interview dengan 4-5 pertanyaan saja. Be prepared. Umumnya 3 pertanyaan "wajib" adalah (i) ceritakan tentang diri Anda serta keluarga Anda dan pekerjaan Anda ; (ii) apa kelebihan dan kekurangan Anda ? (iii) apa prestasi terbaik Anda dan apa kegagalan terbesar Anda dalam hidup dan karir ?
  6. Kartu nama. Kalo udah kerja ya boleh pake kartu nama company sekarang, tapi saya amat sarankan untuk punya kartu nama sendiri yang netral dan bebas dari aneka komponen. Murah dan cepat koq, di aneka printing center cuma perlu nunggu 30 menit dan cuma Rp 40-50ribu per box isi 100 pcs
  7. Daftar pertanyaan. Kita manfaatkan waktu sempit untuk manfaat maksimal. Siapkan hal2 yang akan ingin kita ketahui di masa interaksi selama 5-10 menit, karena seringkali kualitas kita akan diukur BUKAN pada saat menjawab melainkan pada saat kita mengajukan pertanyaan !
  8. Upaya untuk datang sepagi mungkin sehingga dapat manfaat maksimal

Quick Fix List sebelum datang ke Job Fair
  1. Format CV, font-nya, ukuran font, spasi, typo error, letter formatting etc.
  2. Alamat e-mail -->>> jangan pernah pake alamat email yang kupret-look macam "catanddoglover@yahoo.com" or "bali.machoman@gmail.com". Alamat e-mail adalah your personal brand maka pilih alamat email yang cerminkan nama anda dan sederhana, misalkan dennis.bergkamp@ajax.com
  3. Nomor telepon, ada baiknya cantumkan 2 nomor telepon, satu diantaranya harus nomor seluler anda, akan lebih baik jika anda punya additional brand dengan nomor telepon yang bagus, misalkan : Phone 0818-145-777 (mobile) & (021) 770-31-777 (residence) -->> padahal itu nomor flexi or esia kita
  4. Siapkan dua macam CV, English dan Bahasa Indonesia. Jangan suka ganjen sok English, ada company lokal yang alergi sama orang sok Inggris loh

Have a nice job hunting !

----------

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Friday, March 16, 2012

Tiga orang yang sebaiknya Anda temui sebelum wawancara kerja


Sepintas agak nyeleneh, namun saya merasakan ada kebenaran dari judul tersebut. Tiga orang yang sebaiknya (atau malah harus) kita temui dan ajak bicara sebelum menghadiri wawancara kerja. Saya pertama membaca artikel nyeleneh ini di suatu media online asing, dan sebenarnya artikel itu membahas mengenai persiapan dalam menghadapi suatu wawancara kerja. Pertanyaan itu hanyalah salah satu "pancingan" diskusi yang ditampilkan dalam artikel namun bukan suatu materi pokok.

Saya mencoba memikirkannya dengan seksama dan mencoba mencari jawabannya. Berikut saya coba sampaikan dalam ulasan berikut ini. Tentu uraian saya tersebut bukanlah suatu harga mati dan bisa jadi Anda memiliki pendapat berbeda. Namun menurut hasil pemikiran saya, disertai pengalaman saya pribadi sebagai kandidat yang diwawancara maupun sebagai seseorang pewawancara, ketiga orang itu adalah :

1. Seorang kawan, kenalan, atau kerabat yang sukses dan (pernah) mirip situasinya dengan kita

Orang ini kita perlukan untuk dua alasan : Pertama, mencari sumber inspirasi mengenai hal-hal yang akan kita hadapi saat wawancara serta cara mengatasinya ; dan Kedua, menjadi sumber informasi mengenai penilaian orang lain akan diri kita saat menghadapi hal sulit tersebut.

Orang lain melihat diri kita sendiri dengan cara yang berbeda dengan cara kita melihat diri kita sendiri. Sebagai cermin, inilah fungsi orang yang akan kita temui ini. Diskusi yang sehat, positif dan transparan dengan orang ini akan membantu Anda mengetahui apa-apa yang akan jadi penilaian pewawancara akan diri Anda dan bagaimana kemungkinan si pewawancara mencari tahu atau menggali diri Anda untuk aspek-aspek tersebut. Tentu lebih mudah bagi Anda bukan untuk mempersiapkannya dengan lebih baik ?

Misalkan Anda melamar posisi yang lebih tinggi untuk area yang berbeda dengan pengalaman kerja yang pernah Anda alami. Orang ini akan membantu Anda untuk memberitahu "dulu saya melakukan hal-hal ini untuk .....", lalu juga membantu Anda untuk menginformasikan bahwa "kamu akan ditanya mengenai kemampuan kamu untuk ..... lalu bagaimana cara kamu atasi hal tersebut". Bahkan ia bisa pula sampaikan penilaian sebagai berikut : "kamu termasuk orang yang tertutup menurut saya, kemungkinan si pewawancara juga akan menilai demikian, persiapkan kemungkinan ia tanyakan bagaimana kamu beradaptasi dengan hal baru"

2. Salah seorang mantan atasan atau rekan kerja atau klien yang relevan dengan posisi yang kita tuju

Orang ini kita perlukan untuk dua alasan : Pertama, mengingatkan kita kembali akan hal-hal yang perlu kita gali dan persiapkan saat akan diwawancara untuk suatu posisi yang spesifik ; dan Kedua, menjadi sumber energi positif yang tentu kita perlukan saat akan berwawancara kerja.

Mengapa kita perlu untuk disegarkan lagi atas suatu pekerjaan yang mirip dengan yang akan kita lamar sementara kita sudah "fasih" dengan seluk beluk pekerjaan tersebut ? Karena sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidup kita dan rutinitas kita, membuat kita malah buta tidak bisa melihat beberapa hal kecil yang bisa jadi penting namun tersembunyi dibalik rutinitas dan atau sugesti kita bahwa kita sudah tau semuanya.

Saya merasakan amat penting bisa bicara, bahkan jika hanya melalui telepon atau e-mail atau SMS, dengan mantan atasan kita. Saya pernah punya pengalaman dengan hal ini. Beliau berikan saya hanya tiga informasi, namun amat berharga dan menjadi penentu keberhasilan saya dalam suatu seleksi kerja di masa lampau. Ketiga hal tersebut adalah penilaian pribadinya akan karakter saya dan bagaimana karakter itu dapat menjadi nilai plus atau malah minus dalam pekerjaan yang akan saya lamar, lalu informasi mengenai apa kesulitan dan tantangan ia saat mengelola saya sebagai bawahannya sehingga kita tahu apa-apa yang menjadi faktor positif dan faktor negatif dari diri kita, serta terakhir adalah berbagi saran dan pengalaman sebagai seseorang yang lebih senior mengenai pekerjaan yang akan kita hadapi.

Terlihat, amatlah penting menjaga hubungan baik dengan masa lalu kita secara profesional. "Don't burn your bridge", menurut peribahasa kuno dari Inggris.

3. Orang terdekat kita secara personal dan emosional

Orang ini adalah sumber energi, inspirasi dan bahkan sumber niat dan dorongan bagi kita. Tidak perlu banyak saya uraikan, namun dari pengalaman saya pribadi, diskusi ringan dan singkat dengan orang tua, sahabat, pasangan atau bahkan anak, bisa memberikan suatu dorongan yang dahsyat. Saya pribadi sebagai seseorang yang menganggap keluarga penting, merasa bahwa sukses saya adalah sukses mereka, dan kegagalan saya adalah kegagalan mereka. Dorongan dari mereka menjadi sesuatu yang menjadikan saya merasa mampu lakukan sesuatu yang bahkan sebelumnya bagi saya terasa tidak mungkin. Silakan dicoba.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Friday, March 2, 2012

Apa yang akan muncul di Google saat ketikkan nama Anda ?


Pernahkah Anda terpikirkan apa yang Anda akan harapkan muncul pada saat seseorang mengetikkan nama Anda di google ?

Pertanyaan ini begitu menggelitik. Saya bahkan baru saja menyadarinya saat membaca artikel ini di suatu media online, dan artikel itu kebetulan mengkaitkan pertanyaan itu dalam konteks job hunting. Saya pun tersadar, hal sederhana ini bisa jadi suatu hal besar lho. Tidak percaya ?

Saya sendiri barusan mempraktekkan hal tersebut, penasaran juga soalnya. Saya coba ketikkan nama saya di Google dan ternyata yang tampak di halaman pertama pada 10 item teratas adalah profil saya di LinkedIn, lalu profil saya di twitter, kemudian halaman rekomendasi atas suatu proyek yang saya buat di masa lalu yang muncul di suatu halaman web milik partner saya tersebut (yang mana ini suatu nilai plus ya untuk saya) dan beberapa karya tulis ilmiah yang pernah saya terbitkan di kampus maupun saat saya menjadi pengajar dan peneliti paruh waktu di suatu PTS. Alhamdulillah... lega juga saya memperoleh temuan tersebut.

Saya coba beralih ke nama keponakan saya yang masih duduk di bangku SMP, dan surf di Google. Ngeri juga saya membaca bahwa top 10 item yang muncul di halaman pertama adalah komen anak tersebut di suatu mailing list yang anggotanya banyak, kemudian posting dirinya di twitter, facebook dan suatu forum. Menurut saya pun ada beberapa wording yang kurang pas dari apa-apa yang saya baca tersebut untuk anak berusia 14 tahun. Tapi oke lah, masih bisa diperbaiki, namun saya seram juga rasanya membayangkan jika temuan serupa kita dapati dari pencarian atas seorang kandidat yang melamar di perusahaan kita.

Pernahkah Anda mendengar pemeo yang menyebutkan bahwa reputasi adalah 50% dari konten cerita keberhasilan kita ? Barulah 50% sisanya hasil kerja kita yang nyata dan aneka hal lain. Sederhana saja, untuk situasi Anda membutuhkan pembantu paruh waktu untuk menyeterika baju baju di rumah Anda, sudah hampir pasti Anda tidak akan mengecek hasil kerja berupa baju-baju yang pernah diseterika si kandidat, melainkan mencari tahu mengenai apa orang bilang tentang si kandidat.

Setidaknya, saya membayangkan, ilustrasi tersebut juga berlaku untuk 3 area penting lho dalam hidup kita. Apa saja ?

Satu, mencari pekerjaan. Saya berpikir di era lautan informasi seperti sekarang ini, dipadukan dengan semakin mudahnya melakukan personifikasi diri melalui berbagai cara, maka semakin tidak mudah juga mencari kandidat yang baik dan (terutama) bisa dipercaya untuk suatu posisi. Sudah banyak dibicarakan di aneka forum, dan saya termasuk yang mempercayainya, untuk mengecek kredibilitas dan bahkan jika memungkinkan memperoleh personifikasi atau karakter dari seorang kandidat melalui pencarian di internet. Social media, konten di mailing list, bahkan online profile yang muncul seperti di LinkedIn, bisa menjadi suatu petunjuk penting. Untuk suatu posisi yang membutuhkan kematangan dan kemampuan untuk mengelola informasi rahasia, apa yang akan Anda pikirkan sebagai rekruter jika mendapatkan si kandidat berkicau di social media bahwa "perusahaan tempat saya bekerja memang tidak becus dalam mengelola pegawai sampah" ? Tentu Anda akan puyeng sendiri saya jamin.

Dua, mencari fasilitas perbankan. Ini juga suatu probabilitas dari praktek di masa yang akan datang, terutama untuk screening di fasilitas perbankan retail, misalkan kartu kredit, kredit tanpa agunan dan kredit kepemilikan rumah. Saya percaya, dunia perbankan akan memperbaiki praktek-praktek mereka saat ini, termasuk dalam hal cara mereka menggaet nasabah dan melakukan rating terhadap calon nasabahnya. Salah satu yang mudah, ampuh dan bisa jadi amat akurat adalah pemantauan di internet. Anda seorang credit analyst dan semua tampak oke dari data calon nasabah, dan justru karena terlalu oke maka biasanya ada masalah di belakang itu semua. Tapi Anda tidak berdaya untuk membuktikan kekhawatiran Anda hanya atas dasar data yang diberikan nasabah ke bank. Hendak survey ke tempat tinggalnya dan lakukan pengamatan ala James Bond tentu perlu waktu, biaya dan usaha. Lalu bagaimana jika Anda ketikkan nama nasabah tersebut di google dan dapatkan ia berkeluh kesah mengenai dia dikejar-kejar penagih utang dari mantan perusahaan tempatnya bekerja ? Atau ada informasi di suatu mailing list bahwa si calon nasabah menggelapkan uang dan agar para anggota mailing list berhati-hati ? Saya yakin, Anda akan tersenyum bahagia dan yakin dengan keputusan Anda.

Tiga, bermitra bisnis. Banyak pola kemitraan bisnis yang terbuka saat ini, menyebut beberapa diantaranya adalah kemitraan perseorangan, model supplier-producer, kerjasama pemasaran dan penjualan, franchise, MLM dan membership. Tidak penting apapun polanya, satu hal yang pasti : kemitraan membutuhkan kepercayaan dan transparansi antar pihak untuk dapat membangun rasa saling percaya. Misalkan Anda membangun usaha dengan calon mitra yang tampak oke dan prospektif. Seperti uraian di atas, Anda menemukan riwayat mengemplang utang, atau melarikan dana orang lain, atau terindikasi penipuan, atau malah sekedar berkicau ria dengan networknya mengenai kejelekan orang lain. Apa yang akan Anda pikirkan dan putuskan ? Saya tidak yakin Anda akan bertahan dengan kadar kepercayaan sebelum Anda menemukan informasi-informasi tersebut.

Mari ber-googling ria dan pastikan diri kita tampil di layar mbah Google dalam bentuk informasi positif dan konstruktif atas diri kita. Dan pastikan kita memperoleh manfaat dengan aliran informasi dari Google untuk perbaikan pengambilan keputusan yang akan kita lakukan di masa mendatang.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Thursday, January 26, 2012

Panen Rekomendasi di LinkedIn = Tanda Sinking Ship ?


Titanic masih enak didengarkan theme song-nya serta dilihat lagi film-nya, si cantik Kate Winslet dan si ganteng Leo di Caprio, sudah ada berita baru lagi : Costa Concordia. Cerita tidak persis sama, yang terakhir ini karena keteledoran navigasi yang amit-amit akhirnya kapal pesiar mewah raksasa dari Italia ini menabrak batu karang besar (yang sudah ada di tempatnya itu sejak lama sekali pastinya kan ?) dan karam, menyisakan cerita pedih saat evakuasi dan belasan korban yang hilang dan belasan lain yang tewas. Sedihnya lagi, kapal modern ini karam hanya karena si kapten berlayar keluar jalur sekedar untuk "menyapa" orang di pantai....

Sambil makan siang di meja kerja, sebuah pesan masuk di telepon saya. Pesan di blackberry messenger dari rekan kerja, seorang eksekutif yang duduk di ruang kerjanya sejarak empat ruang saja dari ruangan saya. Isinya : sebuah pertanyaan yang lucu, "Apa benar company kita sudah termasuk sinking boat?"

Sambil tertawa, dan bikin saya tersedak makanan, saya reply "kenapa nih koq nanya begitu ?".

Dijawab lebih lucu lagi olehnya : "banyak yang update profile di LinkedIn, banyak juga yang hunting rekomendasi via LinkedIn".

Sampai di sini sudah tidak lucu lagi menurut saya. Saya memang sempat membuat analisa ringkas soal kondisi perusahaan dan uraikan what's wrong and what's right, serta buat kesimpulan akhir bagaimana harusnya kami melangkah ke depan supaya jadi lebih baik. Namanya juga komentator, selalu saja merasa dia lebih benar dan paling tahu situasi di lapangan... namun tidak urung pertanyaan kawan saya tersebut mengingatkan kembali pemikiran saya sembilan bulan yang lalu tersebut.

Perusahaan kami memang sedang ada masalah, dan itu wajar-wajar saja. Sekilas pun tidak tampak sebagai masalah besar, setidaknya itu yang tertangkap dari sisi eksternal. Tentu sejumlah informasi internal yang kami miliki (dan confidential tentunya) tidak sesederhana itu, tetapi juga bisa jadi tidak parah-parah amat. Namun saat kita bicara mengenai manusia-manusia di dalamnya, dengan aneka watak, latar belakang serta ambang aman (security level) yang berbeda, maka tidak ada lagi hal yang sederhana dan harus 100% logis.

Saya sepakat dengan penilaian kawan saya bahwa apa yang terjadi dengan kolega-kolega kami yang melalui situs media sosial bagi profesional, LinkedIn, mencari rekomendasi profesional serta memperbaharui profilnya, menjadi suatu penanda adanya krisis dan sesuatu yang mungkin mencederai security level mereka. Sayangnya, seringkali manajemen puncak dan apalagi pemegang saham, lebih banyak gagal menangkap gejala ini sehingga terlambat atau bahkan tidak bereaksi sama sekali untuk melakukan langkah kuratif dan preventif.

Saya mengharapkan opini dan komentar rekan-rekan sekalian. Silakan kontribusi dan buah pikirannya dibagi di sini.

On twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Tuesday, January 17, 2012

Unit Pelayanan Nasabah Sebagai Unit Tempur Garis Depan


Selamat pagi rekan-rekan, sudah dua hari ini cuaca cerah, semoga tidak terlalu sering hujan karena susah juga bukan memastikan baju-baju kita kering tepat pada waktunya ?

Bicara hari yang cerah, kemarin kecerahan itu diwarnai berita gembira mengenai seorang kolega kami, profesional di unit layanan nasabah, yang mengundurkan diri, menjelang masa baktinya yang akan segera mencapai 2 digit tahun. Luar biasa bukan ? Pasti sesuatu tantangan dan stimulus yang luar biasa menggoda di luar sana yang membuat ia merasa rela-rela saja korbankan masa kerjanya dan rutinitas yang jadi bagian dari hidupnya selama hampir sepuluh tahun. Benarkah demikian ?

Seringkali kita terlalu cepat mengambil keputusan. Begitu pula dalam hal ini, seolah kita lupa bahwa saat seseorang meninggalkan organisasi, ada "pull" dan "push" factor. Dari sisi yang kita lihat, secara refleks kita menyimpulkan "pull" factor yang dominan : tawaran kerja menggiurkan di luar, gaji lebih besar, fasilitas lebih berlimpah dan bisnis lebih moncer.. Rupanya tidak selalu demikian. Kawan kita ini merasakan "push" factor sebagai hal yang membuatnya mengambil keputusan, sekalipun sesungguhnya ia sudah digoda oleh "pull" factor sejak lama. Ada apa ?


Kawan ini mempersoalkan tiga hal yang menjadi penyebab olengnya rasa percaya dirinya sebagai karyawan terhadap perusahaan dan sistem yang diterapkan. Pertama, komitmen perusahaan akan pengembangan karyawan, baik dari aspek pendanaan, dukungan dan insentif pengembangan diri, serta kesempatan yang dibuka untuk pengembangan diri. Kedua, masalah kepemimpinan, dimana pola kepemimpinan berubah secara evolutif, perlahan dan tahu-tahu ia merasa segala sesuatunya sudah berubah banyak, karyawan tidak lagi dianggap aset tapi sebatas pekerja, alat produksi semata. Ketiga, arahan bisnis yang tidak menentu arah, terlalu sering berubah sehingga sebagai pihak yang melayani nasabah, ia merasa kesulitan dan tidak memperoleh kepastian atau kesinambungan akan proses yang harus dijalani dalam melayani nasabah dengan baik.

Saya sering menganalogikan bahwa unit sales dan customer service, sesungguhnya adalah satu. Customer Service, pelayanan nasabah, seyogyanya mencakup layanan kebutuhan nasabah, baik berupa penjualan, penanganan transaksi maupun penanganan keluhan dan kebutuhan informasi. Dua hal yang menjadi faktor deterministik adalah keberadaan unit ini di garis depan, lebih depan dari unit manapun yang ada di perusahaan, serta keberadaan unit ini dalam menentukan aspek finansial perusahaan, langsung maupun tidak.

Dalam menangani orang-orang "tempur" yang ada di garis depan, kita hanya harus memastikan tersedianya empat hal berikut ini :
  1. Ketersediaan program pelatihan yang cukup dan terus menerus
  2. Ketersediaan sarana dan peralatan kerja yang memadai
  3. Ketersediaan pasokan motivasi dan reward
  4. Ketersediaan informasi dan korelasi kerja dengan tujuan perusahaan

Unit sales maupun pelayanan nasabah harus terus menerus diasah, dilatih dan dipersiapkan tanpa mengenal lelah, mereka adalah pasukan tempur. Mereka ada di garis depan, dan seringkali mereka diharuskan berhadapan dengan situasi yang bahkan berada di luar jangkauan nalar CEO sekalipun. Maka, persiapan yang matang adalah kunci awal kesuksesan. Menahan atau membatasi peluang pelatihan sama saja dengan bunuh diri bagi unit tersebut dan perusahaan. Di samping itu, pelatihan bisa berfungsi sebagai mekanisme reward.

Apakah staff sales dan pelayanan nasabah kita adalah Rambo yang bermodal golok dan panah api bisa membunuh puluhan musuh ? Buang jauh-jauh anggapan itu. Mereka orang biasa, dan perlu dilengkapi dengan sarana dan peralatan kerja yang memadai. SIstem yang canggih dan akurat, down time yang minimal, screen yang mudah dibaca dan diakses, serta prosedur kerja yang jelas, aksesibel dan memiliki jejak perubahan yang mudah ditelusuri, adalah sedikit dari kebutuhan peralatan kerja yang wajib tersedia di garis depan.

Berurusan dengan manusia adalah bagian tersulit dari suatu pekerjaan. Apalagi jika diposisikan kita sebagai provider dengan segala keterbatasan ruang gerak. Itulah posisi yang dimiliki dan dijalani petugas layanan nasabah. Motivasi tiada henti, yang tulus dan bersifat mendukung, adalah kunci kesediaan para manusia biasa-biasa untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Demikian pula program reward yang positif dan konstruktif, harus menjadi faktor komplemen dari program pengembangan karyawan dan program motivasional. Reward tidak harus selalu berupa materi. Recognition atau "perlakuan khusus" secara temporer sudah menjadi suatu hal yang berarti : bagaimana misalkan seorang karyawan terbaik bulan lalu diperkenankan untuk berbusana casual selama satu minggu ? Tidak mahal dan tidak sulit, tetapi bisa memberikan dampak psikologis yang berarti bagi staff.

Hal yang paling membingungkan adalah saat kita tidak tahu apakah kita sudah bekerja dengan baik atau belum, dan apakah hasil kerja yang baik itu akan berarti bagi kemajuan perusahaan ? Bagi unit kritikal seperti sales atau customer service, harus ada penetapan Key Performance Indicator yang tegas, yang stimulatif performa terbaik dan relevan dengan kemajuan yang diperoleh perusahaan. Indikator sukses seperti pangsa pasar, rasio retensi nasabah, peningkatan pangsa penjualan melalui customer service atau rasio loyalitas pelanggan, adalah sedikit dari contoh yang dapat diberikan.

Mari kita menangkan "pertempuran" dengan pertajam unit tempur di garis depan perusahaan kita ! Penuhi hak-hak mereka dan lihatlah perbedaan pada hasil kerjanya.
Silakan mencoba

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Monday, January 16, 2012

Big Difference : Be a Leader, Not a Boss


BIG DIFFERENCE

The boss drives his men
The leader inspires them

The boss depends on authority
The leader depends on good will

The boss evokes fear
The leader radiates love

The boss says "I"
The leader says "we"

The boss shows who is wrong
The leader shows what is wrong

The boss knows how it is done
The leader knows how to do it

The boss demands respect
The leader commands respect

So be a leader, Not a boss

from "African Laughter"
(Doris Lessing)



Monday, December 12, 2011

Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi (Bagian Kesatu)


Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi.

Rasa Percaya Kepada Karyawan. Ini bisa jadi suatu jargon, tapi ternyata mengabaikannya merupakan suatu kesalahan besar. Di suatu organisasi yang saya kenal baik, hal ini baru saja terjadi dan sempat membuat suatu kegoyahan, namun saya tetap berharap semoga itu hanya bersifat sementara dan para pihak yang ada di dalamnya mengambil suatu pelajaran penting.

Cerita dimulai saat si pemimpin mengibarkan bendera atas suatu inisiatif beberapa bulan lalu. Suatu proyek maha penting yang disampaikan akan merubah cara dan pola berbisnis dari perusahaan. Sayangnya, beliau (yang kebetulan seorang ekspatriat) lebih mempercayakan posisi-posisi vital pada sesama ekspatriat, sekalipun skill dan pengetahuan praktis akan bisnis yang diterjuni itu sudah dimiliki oleh para profesional anak bangsa di organisasi tersebut.

Kendala pertama tentu masalah kemasygulan, "buat apa sih buang uang banyak untuk skill yang sudah ada di organisasi ini ?" itu adalah gerundelan awal. Ganjalan kedua adalah masalah komunikasi dan budaya, dimana tiga ekspat yang ditunjuk (sebagai project manager, sebagai business technical advisor, dan sebagai seorang subject matter expert) bersikap petentang petenteng dan cenderung anggap remeh profesional anak bangsa, sementara jelas-jelas bisnis yang akan ditekuni tidak pernah mereka temui di negara mereka sendiri. Disini kekacauan mulai terjadi karena sikap sok tahu dan arogansi mereka memunculkan anggapan "gak ada mereka kita juga bisa jalan sendiri koq".

Di sisi lain, manajemen puncak yang jelas-jelas terafiliasi dan amat percaya pada orang bawaannya mulai mengabaikan aspek intelijen bisnis yang sejujurnya hanya mampu dilakukan oleh karyawan di level yang lebih rendah dan notabene karyawan lokal. Sejumlah informasi penting pun diabaikan. Termasuk kemungkinan calon mitra bisnis melakukan manipulasi angka potensi bisnis dan pengaburan fakta akan angka-angka bisnis di periode-periode sebelumnya. Sialnya terjadi pergeseran asumsi dan potensi bisnis yang digadang-gadang sebesar gunung ternyata mungkin hanya sebesar bukit ataupun lebih kecil lagi. Beberapa orang pun mulai bergunjing sinis dengan mengatakan "dulu bermimpi Mercedes, sekarang cuma bisa pegang seukuran Bajaj tetapi semua orang diminta memperlakukan si Bajaj sebagai Mercedes".

Pimpinan puncak bukannya tidak tahu realita penyusutan Mercedes menjadi Bajaj. Hanya saja selain sudah gengsi kepalang basah dan pantang mundur, mereka terus dibisikkan oleh para punggawa bawaan mereka. Tibalah bencana besar. Ada indikasi pergantian kekuasaan di calon mitra, dan informasi ini diabaikan karena dianggap tidak kredibel. Saat berita itu diumumkan di media, mereka terhenyak. Kapal telah karam... Uang telah mengalir banyak, tidak sepeserpun yang sudah dikantongi, sudah terlanjur malu, dan sesungguhnya harga yang paling mahal yang harus dibayar organisasi itu adalah hilangnya rasa percaya. Baik rasa percaya pimpinan pada karyawannya, maupun rasa percaya para karyawan kepada pimpinannya.

Lalu seperti apa seharusnya pengelolaan Trust Value dan pelaksanaan Intelijen Bisnis yang sebaiknya dilakukan ? Kita lanjutkan di bagian kedua dari tulisan ini.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Friday, November 25, 2011

Friday Talk : Menjadi Guru

Hari ini saya dapat info dari anak-anak saya kalau ekskul diliburkan karena ada perayaan Hari Guru dan guru-gurunya ada acara. Memang hari Jumat sekolah anak-anak saya libur dan hanya ada ekskul saja. Deep inside saya bersyukur, mereka bukan diliburkan gara-gara "royal wedding" sialan itu yang bikin sekolah-sekolah di area sekitarnya diliburkan...

Tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa-masa kecil dan saat bersekolah, juga perjalanan karir saya. Ingatan saya terbang ke sosok guru-guru saya di sekolah, sejak TK hingga SMA. Juga ke sosok dosen-dosen saya saat kuliah, baik di tingkat sarjana maupun master. Dan ternyata masih berlanjut, saya juga teringat dengan instruktur-instruktur saya saat memulai karir sebagai management trainee, kepada mentor-mentor saya, dan atasan-atasan saya yang semuanya juga telah menjadi guru dalam perjalanan karir saya. Memang benar, belajar itu adalah perjalanan tanpa ujung.

Sebaliknya, mengajar dan menyampaikan ilmu juga suatu aktivitas tanpa henti, yang tak terelakkan. Termasuk di dunia kerja. Kembali ke dunia kerja, menjadi mentor, instruktur atau atasan, adalah kesempatan emas untuk belajar. Bukankah untuk bisa ajarkan sesuatu kita harus refresh dulu dan belajar lagi? Sangat disayangkan, saya melihat amat banyak gejala untuk abaikan kesempatan ini. Terutama bagi mereka yang menjadi seorang atasan. Ada empat gejala umum yang saya perhatikan dari atasan-atasan "jaman sekarang" terhadap tanggung jawab edukasional mereka.

Satu, senang menyuruh. Menjadi atasan bukan lantas jadi raja. Senang menyuruh dan seringnya karena sok tau atau justru tidak mau tau, menyuruh yang tidak berdasarkan analisa yang pas. Tidak mau belajar, ini alasan mengapa sejumlah atasan "menjaga jarak" dengan staf dan pekerjaan mereka. Bagaimana bisa mengajarkan sesuatu jika mereka tidak pernah bersentuhan dan cuma bisa suruh? Bahkan saya temui ada atasan yang dengan segala cara berusaha untuk tidak tahu detail pekerjaan stafnya agar bisa berkelit "saya kan tidak tahu teknisnya". Sip kan?

Dua, kurang interaksi. E-mail, messenger application, corporate portal, bahkan telepon extention dan seluler, ini semua musuh leadership. Semua menjadikan seorang atasan merasa mampu dan berhasil mengontrol unitnya secara remote. Akibatnya mereka semakin berjarak dengan realita di lapangan, dan otomatis menjadi semakin kuper dan bodoh. Jika sudah kuper dan bodoh, bagaimana mau mendidik stafnya?

Tiga, tidak mengajarkan value. Dunia kerja memang tidak demokratis. Apalagi jika menyangkut target, prosedur dan hasil kerja. Cukup banyak atasan yang mampu menjadi guru agar team-nya mampu mencapai target, memenuhi hasil kerja yang diharapkan dan sesuai prosedur. Tapi itu tidak cukup. Harus ada yang ajarkan value. Integritas, kejujuran, punya prinsip dan dedikasi, itu adalah beberapa diantaranya. Coba cek, apakah anda sebagai atasan pernah ajarkan ini? Atau apakah atasan anda pernah ajarkan ini?

Empat, tidak memberi contoh. Suka menyuruh + menjaga jarak dan kurang interaksi + tidak ajarkan value = gagal memberi contoh. Coba buktikan sendiri deh formula di atas. Lagian, mau kasih contoh apa kalau yang bersangkutan bahkan gak tahu ada masalah apa?

Menjadi guru itu suatu pekerjaan yang sulit, namun mulia dan menyenangkan. Ayah saya, seorang peneliti, juga bekerja sebagai instruktur dan dosen. Beliau sampaikan pada kami, putra-putranya, bahwa menjadi guru itu menyenangkan karena hasil kerjanya langsung tampak saat itu juga. Jika kita dagang, dan berhasil menjual satu barang, kita belum tahu apakah akan tersenyum atau nyengir di sore hari. Karena tahu dari mana kita semua barang dagangan akan laku atau apakah kita akan untung? Tetapi beda dengan mengajar. Ekspresi anak yang sedang diajar langsung memberikan hasil, apakah kita berhasil mengajarkan sesuatu atau tidak? Yang bersangkutan mengerti atau tidak? Dan ternyata ekspresi di akhir sesi sudah bisa berikan ramalan siapa yang akan lulus atau gagal saat ujian.

Selamat menjadi guru!

Wednesday, November 23, 2011

Thanksgiving

Ada yang tahu soal Thanksgiving Day?

Thanksgiving Day, atau hari mengucapkan Terima Kasih, adalah tema dari sejumlah sisi kehidupan di Amerika Utara dalam hari-hari mendatang. Kebetulan hari ini adalah Rabu malam dan esok adalah Kamis ke-empat di November, saatnya perayaan Thanksgiving Day di Amerika Serikat.

Mengenai Thanksgiving Day sendiri menurut situs wikipedia.orang adalah "Thanksgiving Day is a holiday celebrated primarily in the United States and Canada. Thanksgiving is celebrated each year on the second Monday of October in Canada and on the fourth Thursday of November in the United States."

Bagi saya yang seorang muslim, setiap hari adalah Thanksgiving Day, dan diekspresikan dengan ucapan syukur dan terima kasih pada sang pencipta : "Alhamdulillahi rabbil 'alamiin". Suatu ucapan yang setidaknya diucapkan 17 kali sehari sesuai jumlah rakaat shalat wajib. Apa yang terjadi via shalat tersebut dan apa yang dirayakan oleh orang lain dengan caranya, ada satu benang merah : mengekspresikan rasa Terima Kasih.

Mengapa mengekspresikan terima kasih itu penting untuk dilakukan? Ada beberapa alasan.. Berikut diantaranya :

1. Apresiasi. Rasa syukur dan berterimakasih (bukan kebetulan lho bahwa dalam bahasa Arab 'syukron' berarti 'terima kasih') adalah suatu apresiasi atas budi baik orang lain, atas suatu kondisi yang baik atau nikmat yang kita peroleh dari pihak lain (termasuk tentunya karunia dari sang pencipta). Apresiasi ini penting, terutama saat berurusan dengan sesama, dimana ini menunjukkan bahwa kita bermartabat, tahu cara membawa diri, dan tahu diri akan fungsi orang lain terhadap diri kita. Apresiasi ini akan mendekatkan kita dengan sesama, dan menjadikan sekat-sekat psikologis melemah. Silakan dicoba, saat kita apresiasi jasa seseorang dengan ucapan Terima Kasih yang tulus, hampir pasti senyum yang tulus adalah imbalan minimal yang akan Anda terima.

2. Konfirmasi. Ini penting, setiap hal membutuhkan konfirmasi. Dengan berterimakasih, kita memberikan suatu konfirmasi pada seseorang, bahwa "kita telah menerima dengan baik jasa yang telah diberikannya pada kita", ataupun suatu konfirmasi bahwa "apa yang Anda lakukan pada saya bermanfaat dan membantu saya". Imbasnya akan sangat positif. Selain senyum tulus, Anda akan memberikan kepastian pada orang yang Anda berikan ucapan Terima Kasih bahwa tindakannya benar, bermanfaat dan membantu orang lain. Dengan demikian akan memupus keraguan yang mungkin muncul saat seseorang hendak lakukan hal baik pada orang lain, Insya Allah.

3. Mencerahkan. Coba berikan saya suatu alasan, mengapa ucapan Terima Kasih yang tulus tidak akan mencerahkan suasana hati penerimanya dan pemberinya? Ucapan ini, bersama dengan "tolong" dan "maaf" adalah paspor masuk ke situasi apapun, bahkan selalu ada di buku panduan wisata apapun dalam berbagai bahasa. Mengapa? Karena kata-kata ini melunakkan hati, menepis rasa asing dan jauh secara emosional, serta merekatkan pribadi-pribadi karena mengedepankan persamaan. Bukankah suatu apresiasi dan konfirmasi menandakan persetujuan bersama akan suatu hal?

4. Empati dan "Basic Emotional Needs". Bukan rahasia lagi selain haus air, haus kejayaan dan haus kebahagiaan, manusia diciptakan juga dengan rasa haus akan perasaan dihargai dan dibutuhkan. Inilah sisi lain dari manusia manapun di dunia ini sejak lahir hingga tua. Ini pulalah yang menjadi "titik sentral" dari aspek emosional manusia manapun. Kemampuan kita menangkap kebutuhan ini dan mencoba memahaminya dengan proporsional adalah suatu kecerdasan empatik. Dan ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah suatu bentuk empati yang sempurna dari suatu manusia ke sesamanya.

5. Perlindungan dari penyakit hati. Ada yang pernah lihat orang yang berterimakasih dengan tulus selalu tapi menjadi sosok yang culas, jahat dan khianat? Sulit loh dapat contoh tersebut... Kemampuan berterimakasih akan lindungi kita dari rasa dengki, rasa iri, rasa amarah, pikiran jahat dan sikap khianat. Tanpa berpanjang-panjang, silakan coba dan buktikan sendiri kebenaran kata-kata tersebut!

Jangan tunda atau tahan ungkapan Terima Kasih Anda. Ekspresikan dengan wajar, tulus dan empatik. Mengutip suatu pesan di media sosial twitter yang saya peroleh sore ini : @heatherecoleman: "Silent gratitude isn't much use to anyone." ~G.B. Stern. Memiliki perasaan berterimakasih namun tidak diungkapkan adalah sama saja bohong, tidak ada maknanya, dan bahkan aneka benefit yang terkandung di dalamnya juga akan menguap dengan cepat....

Satu lagi, ungkapan bagus dari dunia bisnis, datang dari situs RainToday.com dengan ungkapan "Empathy and Sensitivity Lead to Strong Client Relationships". Bukankah suatu ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah bentuk empati dan kepekaan?

Mari kita bersama-sama gerakkan diri dan jiwa kita untuk lebih aktif ekspresikan rasa Terima Kasih kita, dimulai dengan ungkapan syukur pada sang pencipta yang maha pemurah, Alhamdulillah. Semoga hidup kita selalu dalam lindunganNya dan tercerahkan selalu.

Selamat malam dan semoga Anda selalu berada dalam keadaan berterimakasih.

On twitter @katjoengkampret | e-mail: katjoengkampret@aol.com

Friday, November 18, 2011

Morning Briefing


Setiap hari, saya selalu melewati lapangan kecil dekat tempat parkir sepeda di area parkir reserved kantor, yang dijadikan reserved parking untuk tamu VIP. Di lapangan itu, setiap hari, sekitar jam 8 pagi saat saya lewat setelah memarkir mobil, selalu sedang ada briefing pagi dari sekelompok polisi dengan seragam yang bercorak merah tua. Rupanya itu adalah kesatuan khusus di Polda Metro Jaya yang bernama Pam Obvit (Pengamanan Obyek Vital). Mereka ditempatkan di sini karena di area perkantoran ini terdapat sejumlah perwakilan negara asing dan organisasi multinasional.

Bukan soal itu yang hendak saya bahas tetapi soal briefing yang dilakukan. Beberapa hari lalu, saat saya berangkat sedikit lebih pagi, saya berkesempatan untuk mendengarkan lengkap apa yang di-briefingkan. Cukup menarik. Rupanya selain itu ritual resmi di kesatuan, itu juga memiliki tiga tujuan fungsional, yaitu (1) mengecek kesiapan anggota dan peralatan kerja yang digunakan untuk operasional hari ini, (2) menginventarisasi permasalahan yang terjadi di hari sebelumnya dan potensi masalah atau isu yang penting untuk hari yang akan dijalani, serta (3) menanyakan kabar masing-masing anggota. Ketiga poin ini menarik, terutama jika kita merasa seorang petugas pelayanan publik.

Pemimpin unit adalah seorang Inspektur Satu, atau setara dengan Letnan Satu. Beliau sudah tua, dan tampaknya seorang polisi karir yang memulai karir dari bawah. Pilihan kata-katanya amat efektif dan efisien, berwibawa dan terdapat impresi kebapakan, karena memang kebetulan anggotanya jauh lebih muda. Untuk penyegaran seringkali diadakan game kecil seperti mengundi siapa yang akan memimpin apel dan briefing di hari tertentu.

Saya sempat bertanya, apakah poin ketiga di atas penting ? Karena tampaknya itu tidak berkaitan dengan tugas pengamanan yang akan dilakukan. Beliau menjawab, "petugas saya bukan robot, mas. Mereka manusia, dan setiap manusia punya masalah serta daya tahan yang berbeda. Sementara, tugas kami membutuhkan personil dengan standar yang tinggi dan tidak akan mau tahu dengan masalah yang dimiliki anggota-anggotanya. Dengan cara demikian, kita sebagai tim akan memiliki kesempatan untuk saling jaga, saling bantu dan memperbaiki kerjasama. Kami bagaikan saudara".

Saya teringat masa saya bertugas sebagai pimpinan suatu unit layanan nasabah. Saya berpikir, mungkin bapak komandan ini akan mampu jalankan tugas dengan lebih baik ketimbang saya jika ditempatkan di unit layanan nasabah tersebut. Setidaknya untuk memastikan kesiapan team dalam menyongsong tugas hari ini, beliau lebih baik dari saya.

Semoga cerita pendek ini memberikan suatu pencerahan yang bermanfaat untuk kita semua. Seandainya ada tanggapan silakan berbagi disini.
Have a nice day @ work !

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com