Thursday, October 6, 2011

10 things iPhone & iPad users may not know about Steve Jobs


1.        Steve Jobs was an adopted child, adopted by Paul and Clara Jobs (née Hagopian) and he was born and raised (and later died) in California, US
2.        Steve Jobs' biological father was a Syrian Muslim named Abdul Fattah Jandali, and his biological mother was an American named Joanne Simpson (née Schieble) who might possible have a Jews descent.
3.        Steve Jobs founded Apple Computer with his close friends, Steve Wozniak (who is Polish descent), Ronald Wayne and Mark Markkula (who is Finnish descent)
4.        Steve Jobs was dropped out from college as only spent one semester studying in Reed College in Oregon, US          
5.        Steve Jobs ever expelled from the company he founded in 1985 after losing the power battle in the Apple's board of director
6.        Steve Jobs founded Pixar Studio and was a key man behind the animation movies of Cars, Finding Nemo, Toy Story, Ratatouille, Bug's Life and Monsters, Inc.
7.        Steve Jobs came back to Apple in 1996 and then became a Chairman and CEO, was a key man and key innovator behind the mega products of iPod, iPhone and iPad
8.        Steve Jobs was paid US$1.00 per year as CEO of Apple, Inc., but his wealth sat him to be the America's 42nd wealthiest man in 2010 as quoted by Forbes
9.        Steve Jobs was died of pancreas cancer, that widely thought caused by lifestyle and diet, however Jobs was a pescetarian, only eat fish and no other meats
10.        Steve Jobs' biological father was Muslim, he was raised in Christian environment, her biological mother had Jews descent, her adopting mother had Armenian descent with Orthodox Christian background, then Jobs himself converted into Buddhism until his death, and he was true admirer and adopter of oriental spiritualism as he had a spiritual journeys when visiting India and China

       on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

10 things iPhone & iPad users may not know about Steve Jobs

  1. Steve Jobs was an adopted child, adopted by Paul and Clara Jobs (née Hagopian) and he was born and raised (and later died) in California, US
  2. Steve Jobs' biological father was a Syrian Muslim named Abdul Fattah Jandali, and his biological mother was an American named Joanne Simpson (née Schieble) who might possible have a Jews descent.
  3. Steve Jobs founded Apple Computer with his close friends, Steve Wozniak (who is Polish descent), Ronald Wayne and Mark Markkula (who is Finnish descent)
  4. Steve Jobs was dropped out from college as only spent one semester studying in Reed College in Oregon, US          
  5. Steve Jobs ever expelled from the company he founded in 1985 after losing the power battle in the Apple's board of director
  6. Steve Jobs founded Pixar Studio and was a key man behind the animation movies of Cars, Finding Nemo, Toy Story, Ratatouille, Bug's Life and Monsters, Inc.
  7. Steve Jobs came back to Apple in 1996 and then became a Chairman and CEO, was a key man and key innovator behind the mega products of iPod, iPhone and iPad
  8. Steve Jobs was paid US$1.00 per year as CEO of Apple, Inc., but his wealth sat him to be the America's 42nd wealthiest man in 2010 as quoted by Forbes
  9. Steve Jobs was died of pancreas cancer, that widely thought caused by lifestyle and diet, however Jobs was a pescetarian, only eat fish and no other meats
  10. Steve Jobs' biological father was Muslim, he was raised in Christian environment, her biological mother had Jews descent, her adopting mother had Armenian descent with Orthodox Christian background, then Jobs himself converted into Buddhism until his death, and he was true admirer and adopter of oriental spiritualism as he had a spiritual journeys when visiting India and China

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

In Memoriam : Steve Jobs (1955-2011)


In Memoriam : Steve Jobs (1955-2011), co-founder, innovator, the real brand and chief executive of Apple, Inc.

Tidak banyak yang mengenal siapa itu Steve Jobs dan bahkan detail lain dari kehidupannya. Saya pun baru tahu pagi ini melalui situs wikipedia.org bahwa Jobs dilahirkan sebagai darah daging seorang Arab muslim kelahiran Syria, AbdulFattah Jandali, kemudian diadopsi pasangan Paul dan Clara Jobs. Juga tidak banyak yang tahu bahwa Jobs pernah tersingkir karena kalah dalam office politics dan terpaksa terusir dari perusahaan yang didirikannya sendiri, Apple Computer, untuk kemudian kembali dan mengukir sukses lebih besar 11 tahun kemudian. Tidak banyak pula orang yang tahu bahwa Jobs adalah drop out setelah hanya mengenyam bangku kuliah selama satu semester saja di Reed College di Oregon, dan fakta lain bahwa Jobs adalah seorang penganut Buddha dan pengagum spiritualisme timur setelah perjalanan spiritualnya ke India dan China. Mayoritas orang hanya tahu soal ciptaan-ciptaan Jobs : Apple MacIntosh computer, Apple iPhone, Apple iPad dan Apple iPod. Nama Jobs memang lebih identik dengan nama-nama tersebut dan tiga kata lain : Apple, Inovasi dan Perjuangan.

Dari berbagai sumber, kata inovasi dan perjuangan, seolah dua sisi mata uang dari kehidupan Jobs sejak awal hingga akhir hayatnya. Karena berjuang maka ia terus berinovasi. Dan dirinya berinovasi sebagai bentuk perjuangan. Bukan cuma berjuang di sepertiga akhir hidupnya melawan penyakit kanker pankreas dan tumor sel yang akhirnya menamatkan buku perjalanan hidupnya. Jobs juga berjuang nyaris di tiga perempat hidupnya untuk suatu keyakinan : "produk teknologi yang fashionable dan mampu memenuhi kebutuhan banyak orang. " Jobs memilih untuk berkarya ketimbang berbicara untuk memenangkan apa yang diyakininya. Banyak kalangan di dekatnya berpendapat bahwa sikap ini amat mungkin dipengaruhi spiritualismenya sebagai pemeluk Buddhisme dan pengagum spiritualisme Timur. Faktanya memang Jobs berdarah timur dari ayah biologisnya yang seorang Arab. Cukup menjelaskan kaitannya bukan ?

Perjuangan Jobs di karir dan perjalanan inovasinya cukup berliku, melelahkan dan bahkan menyakitkan. Setelah Apple Computer yang didirikannya bersama sahabat-sahabatnya, Mike Wozniak (yang berdarah Polandia) dan Mike Markkula (yang berdarah Finlandia), menjulang dan menjadi raksasa bisnis komputer, ia justru terdesak dan dipaksa keadaan untuk keluar dari Apple. Semata karena keyakinan dan pandangannya yang tidak populis di hirarki Apple, yang saat itu tengah menikmati kejayaan Apple MacIntosh. Sementara Jobs berpendapat bahwa "inovasi seharusnya tidak berhenti dan harus dilanjutkan dengan biaya berapapun". Pada saat kembali 11 tahun kemudian, "tidak satu detail pun dari keyakinan dan kata-katanya yang berubah", menurut orang-orang terdekatnya. Jobs melanjutkan apa yang diyakininya, dan tiga raksasa gadget yang mendunia saat ini : iPod, iPhone dan iPad, menjadi saksinya.

Jobs tidak pernah lupa darimana ia berasal dan bagaimana ia tertempa hingga seperti sekarang. Seberapapun ia berhasil tanpa pendidikan formal, Jobs tetap memberikan apresiasi dan dukungan pada pendidikan formal, yang disebutnya "tiket termudah dan termurah untuk sampai ke tujuan, walaupun tentu ada kendaraan lain yang bisa membawa anda ke tujuan". Ia konsisten dengan prinsipnya bahwa berinovasi adalah berjuang. Dalam tahun-tahun sulit di masa perjuangan Apple setelah ia kembali dan menjadi CEO, ia bahkan menetapkan gajinya hanya US$ 1.00 per tahun yang dibayarkan di awal tahun. Ini tidak menghalanginya masuk ke daftar Top 10 Forbes sebagai orang terkaya di Amerika Serikat. Ia juga seorang penderma (filantropis), dimana sumbangannya cukup besar dalam bentuk finansial ke berbagai organisasi. Khusus ke bidang pendidikan, sumbangannya bahkan bukan hanya dalam bentuk finansial namun juga dalam bentuk teknologi, kesempatan berkarya, dan bahkan paten. Unik namun mungkin lebih bermanfaat.

Kini sang inovator, sang pejuang fashionable technology dan sang filantropis telah pergi. Lalu apa yang ditinggalkannya ? Terlalu mudah untuk menyebutkan hal-hal seperti iPod, iPhone dan iPad sebagai warisan berharganya. Bagi saya pribadi, ada tiga hal yang menjadi warisan amat berharga dari Jobs untuk Apple dan pengikut setianya : Inovasi yang konsisten, Keyakinan pada prinsip yang kuat, dan Konsep manajemen yang disiplin. Kedua hal yang pertama telah sedikit saya ulas di atas dan mudah ditemui di sejumlah referensi dan literatur mengenai Jobs dan Apple. Bagaimana yang terakhir ? Selain manajemen yang ramah pada pasar dan disiplin dalam upayanya memenuhi selera pasar serta survival secara berkelanjutan, Jobs juga melakukan sesuatu yang sulit dilakukan oleh pihak lain di posisi puncak : suksesi yang mulus dan tepat waktu (smooth and timely succession).

Saya tertarik dengan apa yang dilakukan Jobs untuk mempersiapkan penggantinya, Tim Cook di bulan Agustus 2011, hanya delapan minggu sebelum kematiannya. Proses ini sudah berjalan dua tahun, dan dalam banyak kesempatan Cook yang merupakan COO Apple, Inc. sudah diberi tanggung jawab sebagian maupun penuh untuk bertindak sebagai CEO. Saat ada sejumlah keraguan dan Cook berhasil menjalankan tugasnya, sempat terdengar Jobs mengucapkan "kalaupun ia adalah suatu bayangan, besok pagi akan tiba waktunya bayangan pergi dan sosok sebenarnya yang nampak". Jobs memang mati-matian mendukung dan membela orang yang ia persiapkan diri sejak dini sebagai penggantinya. Tiga hal yang ditekankan selalu olehnya mengenai suksesor : Mau,  Mampu dan Diterima. Tugas berat kini di tangan Cook yang harus melanjutkan perjalanan Apple tanpa sang mentor di tengah persaingan global industri teknologi yang kejam dan amat cepat berubah. Apapun, sang mentor sudah tidak lagi berinovasi. Perjalanannya sudah usai, apapun perjalanan yang akan dijalani dan dihadapi Cook dan Apple setelah ini.

Great Job Mr. Jobs !

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Friday, September 30, 2011

Menjadi Entrepreneur Dalam Profesi


Selamat Pagi !

Saya hendak berbagi pengalaman dan hasil pemikiran saya setelah mengikuti kuliah umum yang diberikan oleh seorang entrepreneur global di Jakarta beberapa bulan lalu melalui download video di Internet. Menarik sekali bahwa beliau tidak menganjurkan semua orang untuk menjadi wirausaha (entrepreneur), namun mewajibkan semua orang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) untuk diaplikasikan dalam banyak aspek dalam hidup.

Kuliah umum itu sendiri dilakukan atas sponsor suatu bank nasional terkemuka dan audiens dari event tersebut juga mayoritas pejabat dan officer dari bank tersebut. Sangat menarik untuk dicermati bahwa kedua gagasan yang disampaikan menjadi amat relevan dengan fenomena yang terjadi di sekitar kita yang muncul seperti "membius" banyak orang dan bahkan telah memakan korban dalam bentuk kawan-kawan kita yang salah ambil keputusan.

Saya memiliki banyak kawan dan kenalan yang melambung tinggi setelah pindah kuadran menjadi entrepreneur. Namun jauh lebih banyak rekan-rekan yang remuk redam, kehilangan harta dan harga diri serta karier karena salah pilih jalan menjadi entrepreneur. Dan jeleknya lagi, mayoritas yang sukses seolah mencibir halus dengan ungkapan "tidak seharusnya mereka menyerah begitu mudah...". Apakah mereka benar-benar mengetahui pokok permasalahannya serta lika-liku mereka yang gagal tersebut ? Sangat tidak simpatik menurut saya dan arogan. Karena saya percaya, ada faktor lain selain sekedar semangat pantang menyerah yang menjadi penentuk kesuksesan berwirausaha. Dan kuliah umum itu telah menyadarkan saya akan kadar kebenaran dari apa yang saya pikirkan tersebut.

"Menjadi entrepreneur itu suatu pilihan, bukan takdir", tuturnya. Dan karena ini adalah suatu pilihan, maka harus dipikirkan secara matang akan hal-hal yang menjadi aspek pendukung maupun penghambatnya. "Aspek-aspek ini lah yang sebenarnya takdir", demikian kesimpulan darinya. Disebutkan, aspek seperti "tidak punya modal", "takut mengambil resiko" dan "tidak pandai bergaul" adalah contoh takdirnya. Dan ini yang harus diakali, bukan dalam rangka ingin menjadi entrepreneur, namun karena mengarungi hidup dengan aman dan nyaman memerlukan kualitas-kualitas tersebut.

Lalu mengapa kita harus memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan jika kita memang telah tentukan diri kita untuk tidak menjadi seorang wirausahawan ? Inilah trik utama dalam hidup menurutnya. Semua aspek dalam kehidupan adalah berwirausaha pada hakekatnya. Karena olehnya dirumuskan bahwa wirausaha adalah menyangkut tiga hal saja, yaitu :
(1) pemanfaatan sumber daya dengan cara mentransaksikannya sehingga memperoleh surplus atas benefit terhadap cost ;
(2) pengelolaan potensi dan resiko sehingga memperoleh peluang yang terukur ; serta
(3) kemampuan untuk mengelola kedua poin tersebut secara bersama-sama, berkesinambungan dan tetap menguntungkan.

Benar juga. Jika kita perhatikan, da'i A atau motivator B atau konsultan bisnis C atau pakar franchise D, saya berkeyakinan bahwa belum tentu mereka konsisten dengan apa yang disampaikan. Belum tentu si da'i A menjalankan ajaran-ajaran yang disampaikannya, who knows ? Belum tentu juga motivator B tidak pernah putus asa dan selalu optimis seperti tampak di aneka media. Belum tentu pula konsultan bisnis C memiliki bisnis sendiri yang selalu gilang gemilang tak pernah anjlok. Apalagi pakar franchise D, bisa jadi kita akan temukan fakta bahwa yang bersangkutan tidak pernah memiliki franchise apapun. Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan : semangat dan jiwa kewirausahaan !

Semangat dan jiwa kewirausahaan lah yang menjadikan mereka menyusun strategi untuk tampil konsisten di media, memilah aspek dari diskusi dan ajaran yang disampaikan agar mampu "menjual" dan "membius" banyak orang. Mampu menformulasikan kata-kata dan ajaran yang disampaikan agar dapat memberikan benefit bagi orang lain sehingga akan muncul "ketergantungan" pada figur mereka sebagai "juru selamat" untuk bidang masing-masing, serta membangun brand strategy atas nama dan figur mereka sebagai "orang yang paling ahli di bidangnya", padahal belum tentu kan ?

Dalam bekerja, jika ini memang pilihan kita, dan kita ditakdirkan untuk memiliki kelebihan serta kekurangan yang akan paling sesuai untuk diimplementasikan di dunia kerja, maka lakukanlah dengan profesional dan tidak setengah-setengah. Jangan tergoda untuk pindah lahan, jika sekedar ingin mencoba silakan saja namun jangan coba-coba tidak bertanggung jawab, karena tidak akan diperoleh manfaat maksimal dari eksperimen kita.

Pastikan kita menjadi "wirausaha dalam profesi kita", dengan melakukan langkah-langkah sesuai prinsip-prinsip di atas dan contoh-contoh di atas. Kita harus membangun merek dan reputasi diri kita sendiri : Nama saya ABC, saya pengalaman X tahun di bidang Y dan ahli dalam aspek pengelolaan Z. Kita juga harus mampu memilah-milah keahlian inti (core competence) untuk dijual dan dijadikan bahan ketergantungan orang akan potensi dan value diri kita sendiri : Nama saya ABC, saya berpengalaman dan ahli dalam mengelola aspek Z dan sudah saya implementasikan dengan sukses di N perusahaan selama kurun waktu X tahun sehingga saya berharap bisa membantu perusahaan untuk mencapai peningkatan sebesar Q persen melalui keahlian saya.

Jika kita harus membuat suatu check list, maka yang harus kita lakukan sekarang ada;ah :
(1) menentukan kualitas diri kita yang akan dijadikan sumber daya untuk di-"wirausaha"-kan di profesi kita (reputasi, pengalaman, keahlian khusus, sertifikasi, jaringan kerja etc.) ;
(2) menentukan lahan dan metode untuk memperoleh surplus benefit atas cost jika sumber daya yang telah kita susun tersebut kita pasarkan dan kita "jual", tentukan berapa nilai jual yang layak dan menguntungkan (gaji, fee, compensation, kontrak etc.) dan tentukan berapa besar pengorbanan yang harus kita keluarkan untuk merealisasikan hal tersebut (waktu, tenaga, pikiran, emosi, proses belajar etc.)
(3) membuat daftar potensi resiko serta ancaman dan potensi pengembangan atas aktivitas yang kita akan lakukan, misalkan kemungkinan pesaing, kemungkinan keahlian kita digantikan oleh mesin atau teknologi, kemungkinan penyusutan nilai jual keahlian kita, kemungkinan kita mengembangkan keahlian kita dengan teknologi informasi sehingga memiliki nilai tambah bagi pengguna jasa kita atau perusahaan yang mempekerjakan kita dsb.
(4) Keahlian apa yang kita butuhkan serta siapa-siapa saja yang bisa menjadi mentor kita agar kita memperoleh kemampuan untuk mengelola potensi, resiko, benefit dan cost dari apa yang akan kita lakukan secara terus menerus, konsisten, dan menguntungkan.

Sepertinya saya sudah bicara terlalu banyak pagi ini, semoga tidak membosankan rekan-rekan semua. Saya akan sambung suatu waktu nanti dengan tulisan lain yang terkait mengenai pentingnya kita memiliki mentor ("pengajar") dan tormentor ("penghajar") untuk diri kita agar kita bisa sukses.

Salam sukses untuk Anda semua, semoga Anda melalui hari yang indah ini dengan semangat dan kebahagiaan. Selamat berakhir minggu juga ! Salam.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com  

Monday, September 12, 2011

Ngantor atau Ngemper enaknya ?


Right Job for the Youth - Ya, pekerjaan yang tepat untuk kaum muda. Ini adalah suatu isu penting di nyaris semua negara, termasuk negara maju. Di negara maju yang kurang memiliki keterikatan dengan sumber penghidupan "tradisional" seperti maritim atau agraris, cukup memusingkan. Masa' semua orang harus ngantor ?

Beruntunglah sejumlah negara maju dengan keterikatan pada sumber penghidupan yang tradisional namun dikelola dengan modern dan terstruktur, seperti Kanada (perikanan dan industri pengolahan ikan), Australia dan Selandia Baru (peternakan, pengolahan hasil ternak, pertanian dan perkebunan), atau Jerman-Perancis (perkebunan dan peternakan). Bayangkan apa yang ada di benak para kaum muda di negara seperti Singapura, Hong Kong, Jepang atau Korea Selatan ? Khusus Singapura, jangankan membayangkan bekerja sebagai petani atau nelayan atau di perkebunan, saya yakin sebagian dari rakyatnya belum pernah melihat petani....

Mari kita bicara di Indonesia terutama di Jakarta. Survey ringkas saya dengan berbagai kenalan, baik sebagai orang SDM maupun sebagai karyawan, memberikan hasil seperti tampak dari chart berikut ini untuk prakiraan pendapatan per bulan (dalam ribuan Rupiah) dan rincian dari komponen pendapatan tersebut. Misalkan seorang Senior Sales Representatif umumnya bergaji antara Rp 2.5 juta hingga Rp 4 juta, ditambah fixed benefit yang rata-rata di kisaran Rp 1,5 juta per bulan dan jika berhasil akan memperoleh komisi penjualan yang rata-rata besarnya ada di kisaran Rp 3 juta per bulan. Totalnya secara rata-rata ada di kisaran Rp 9 juta per bulan....



Pertanyaannya, mengapa hanya ada 4 kategori pekerjaan (sales representative, finance/accounting staff, back office/admin staff, dan customer service/contact center staff) ? Karena keempat jenis pekerjaan tersebutlah yang paling banyak ditawarkan di bursa tenaga kerja, dan keempatnyalah yang paling banyak mengisi slot tenaga kerja di suatu perusahaan. Silakaan dicek di aneka media rekrutmen, baik media cetak maupun media online... saya yakin survey Anda akan sama dengan temuan saya.

Apa yang menarik dari temuan di atas ? Ada tiga hal bagi saya yang menarik.

Satu, nyaris semua jenis pekerjaan pada jenjang junior menawarkan remunerasi total yang serupa, berkisar di angka Rp 3,8 juta per bulan namun ini sudah aneka rupa komponen, dengan memperhitungkan potensi pendapatan dari lembur (over time - OT) dan fixed benefit (tunjangan kehadiran, tunjangan makan dsb.). Perlu dicatat, angka di atas juga memperhitungkan Basic Salary Up range (rentang atas dari gaji pokok, misalkan antara Rp 1,5 - 2 juta, berarti up rangenya adalah Rp 500 ribu).
Dua, rentang jarak antara jenjang junior dan senior di semua area relatif serupa, sekitar Rp 2 juta atau 50% dari total kompensasi jenjang Senior, dan ini setara dengan perjalanan karir antara 4 hingga 5 tahun atau di-rataratakan setara dengan kenaikan gaji 10-13% per tahun saja.
Tiga, standar gaji di area penjualan (sales representative) ternyata relatif sama dengan aneka area lainnya namun memiliki peluang untuk mendapatkan pendapatan lain yang cukup besar melalui komisi dan insentif tetap (misalkan uang transportasi yang lebih besar)

Apa arti dari semua ini ? Saya cenderung untuk mengartikannya dengan tiga kesimpulan berikut :


Satu, lahan penjualan memberikan peluang lebih besar untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik (walaupun terkorelasi dengan stress yang lebih tinggi...)
Dua, apapun lahannya dan jenjangnya, selama masih bekerja pada orang lain, pendapatan dan pertumbuhan pendapatan akan selalu menjadi isu....
Tiga, ada keterkaitan antara peningkatan pendapatan dengan laju inflasi, dimana sulit berharap kenaikan pendapatan melampaui tingkat inflasi secara signifikan

Solusi yang menjembatani ketiga kesimpulan di atas tampaknya hanya satu bagi saya (walaupun ini layak diperdebatkan tentunya) : berwirausahalah....


Saya mencoba memperbandingkan kondisi di atas dengan kedua contoh kasus nyata di bawah ini.

Contoh Pertama : Pedagang Bakso di emperan Jl RS Fatmawati Raya. Saya mendapatkan informasi yang telah saya verifikasi melalui survey dan pengamatan langsung, sehari ia bisa menjual antara 150 - 200 porsi bakso dengan harga Rp 10.000,- per porsi untuk masa jual antara pukul 17:00 - 23:00 hanya di hari kerja (20 hari dalam sebulan saja). Per porsi bakso marjin bersihnya adalah 30% minimal, artinya pendapatan bulanannya minimal adalah 30% x 150 x Rp 10.000,- x 20 = Rp 9 juta .... hal ini tampaknya juga otomatis terverifikasi mendengar penuturan yang bersangkutan memiliki 2 sepeda motor, rumah di Tegal serta rumah sewaan 8 pintu di Tegal....

Contoh Kedua : Pedagang Soto di Jl Panglima Polim Raya. Saya juga melakukan verifikasi, observasi dan diskusi dengan yang bersangkutan, berjualan hanya selama hari kerja (20 hari dalam sebulan) di emper jalan, sehari mampu menjual hingga 300 porsi Soto seharga Rp 6.000,- antara pukul 06:00 hingga pukul 15:00 dan dengan marjin minimal 50% ("menjual soto sama saja dengan menjual air diberi bumbu", uraiannya). Perkiraan pendapatan bersihnya sebulan adalah 50% x Rp 6.000,- x 20 x 300 = Rp 18 juta. Uang ini dibagi dengan sepupunya yang membantunya sebesar 30% dari pendapatan atau Rp 5,4 juta. Artinya ia masih mengantungi Rp 12,6 juta..... Benar demikian ? Salah katanya... karena ia masih menjual "asesoris" seperti sate jeroan, gorengan dan aneka pernik-pernik lain... plus minuman dingin botolan....

Masih ingin bekerja di kantor ? Atau memilih untuk "ngemper" ? Oooops saya lupa bilang, sahabat saya si tukang bakso itu punya 3 "outlet" lain di Jakarta....

@katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Wednesday, August 3, 2011

The Five R Factors Of Your Job


Hi, truly it is not a comfortable time for anyone to read a serious talk on management or finance during the fasting month. With all respect, may I start this article with an appreciation and addressing my highest respect to you all my friends who are now in fasting. Hope this article would be useful to you and provide an enlightening ideas to you.

Now let me open a discussion and talks on the five R of your work or your job or your career. I won't be rushing to talk on the meaning and the difference between work, job and career, but I will talk more on the things you should get and gain upon your highly committed work thru your job and your career. Before I explain what are those five R anyway, let me just remind you some important statistics about your work :

If you work between 8 to 5, and it take you another hour each to get to your office and get back to your home, means you already spend 11 out of your 24 hours given to your life everyday. It is already 46% of your time you spend outside your home, off the way in distance with your family. But wait, in fact you will spend 6 to 8 hours to sleep, right ? Let's make it minimum : 6 hours a day to sleep. Then your available time excluding sleep is only 18 hours a day, and spending 11 hours outside your home is becoming 61% already you are far from your family. Would it be more meaningful and worth to do if you know better what you should have and gain from your work ?

Remunerations

Surely the phrase 'to work' is 'to trade' your potential, skills and expertise to get paid, as well as possible. All can accept it. But the matter here is : are you well paid enough correlating to the work you do and the contribution you give to your employer ? I will be excluding a field work or other harsh example of underpaid work or very risky type of work that doesn't worth the double payment even. But I just recently get the real example on a multinational insurer in town who is now suffering high turn over even they pay their people about 20% higher from the upper scale of salary range in the market. What happened ?

Later, it is revealed also that they have a messy operational and managerial systems thus the staffs required to work overtime and in a long hours, and once any issue is resolved by an automation, the long working hours is already becoming a culture. The work life balance seems to be something imaginary and the balance is never tell you any mistake : people would always leave, even if they are paid 20% more, once they realize that they have to work 40% more in constant basis. Why ? You know this..

Recognition

One of the highest need of an individual is an esteem. You can gather it from anywhere and anytime, but in fact it is not something commonly found in the office world. Some office politics may bring a barrier to some people to get the fair and deserved recognition. But indeed the stiff and well established managerial system seems doesn't allow individual player a large room. All are set to be a collective performance (but in other side ironically judged the mistakes as an individual attribute...).

The healthy work environment, the clever managerial system, the fair performance management processes and the worthy work to be committed in, is a work (or job or career) that would bring more attribute to individual performance and achievement, that would allow more recognition comes to individuals, and that allow the recognition becomes something natural and going in a fair way. It sounds simple but not that simple in practice. That's why the majority of jobs doesn't deserve the predicate of dream job if measured by this matter.

Rewards

The fair trade is always the best way to run the venture, an ancient Arabs proverb says. It is correct anyway, but how often you have heard people saying "you are an employee not a commission based agent, thus you get your salary paid to your account for whatever your work is, good or bad, you are guaranteed to receive the same amount of wages paid to your account". It is very wrong dear..

Let us leave the shadow of communist style management as the saying quoted above. Some guys have all the luck, some guys get all the breaks, some guys have all the rain, some guys do nothing but complain, sing Rod Stewart. You see that some individuals are worth to retain, to develop and to motivate for further achievement. While some other may need spank in the ass, never never ever delete the word 'Reward' from your office management's dictionary. If you are not rewarded apart from your monthly salary and wages for any good work to do, while the office policy doesn't allow them to do so, please just simply see your work as some kind worthless.

Reputations

For this part, you are not alone responsible for it. It is a complex thing actually since reputation is built not just from your prolong high performance and professional attitude as acknowledged in the market, but it also would reflect the reputation of the company you are working for. To add more slippery liquid in your path to build reputation, it also involving the reputation of the clients you have working in, the project you have been working in, and the type of work you have been engaged in. And do not forget.. some bad reputation bosses are inheriting their notoriety to their staffs' reputation.. "oooh i see so you worked for Mr X, right"... sounds familiar ?

If you see, again only if you see, that all of those external factors : company reputation, the client reputation, your boss(es) reputation, your project and account reputation, all are not working in your favor, be considerable to check another opportunity. Losing your personal time worth more highly reputed work to carry.

Reference

In the end, what you can keep from whatever you do in the past is a good reference. Reference on how good you are, on what the expertises you are possessing, and the exposures you had in the job you have performed. Be sure that your current works would result the good reference that is acceptable in the market. Also be sure that once the company provides the reference on you, it is credible enough to justify your qualifications in the market. Surely as the recruiter you won't even consider a good reference of a candidate who "worked for out of top ten rank in the industry, in the industry that is not the spotlighted industry, and for the non core functions".

Another meaning of reference is truly about reference, where you can obtain knowledge, know how, and other technical ideas on how to do things and whom to be linked into for various purpose related to the job you carry. If you work for a solitary function that might be important but only exist in your company, then what for ?

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Thursday, July 28, 2011

When you should start to think to leave the ship ?


Simple question actually : When you should start to think to leave the ship ?

We are now talking about a corporate world as a ship, where we sail everyday to get us all closer to the promised land somewhere. And as the days gone by, not even a bird seen to mark that we are getting closer to any rock island in the ocean. Not any. Thus all are getting tense in frustration and start to seek a nose to point to. While we have been gifted by the voice then we all start to join the shouting contest where the loudest wins, not the most logical one. Then it is the time we need to pose a question, not to anybody around but more important to us : Would it be the right time for us to leave the ship ?

Actually there are some big clear signs that may trigger you to a damned conclusion that the ship is sunk or goes nowhere so you need to to think to jump to elsewhere. I think Mr Hanks has given us the clear clue that a non inhabitant island is not always bad place to stay, right ? Here are the signs.

1. Company starts to do bad hirings. Seems like nothing goes wrong, but get your hawkeyes on. Some of new hirings are (so much) well paid for (so less) non credible work or simple job description. This is the sign that your company (or its management) starts to be desperate on something and try to rely so much their survival hopes on the rope offered by some big mouthed cute professionals. If it i s too good to be true then it is too good to be true, a proverb says.

2. Company goes nowhere in the Top Rank List.  Every year, in every country, for every industry, there will always be a top rank list. Legal or illegal your business is, people loves ranks and lists. Once or twice missing the top rank is still OK, but when it gets worse from time to time you need to check and balance : is the ranking system is incorrect, or is your company thrown out of competition ? I may prefer the second one, and put it in my personal list as reason to jump out.

3. There is a confusion when we read and review the financial report. My wife is an auditor, one lesson she always remind me is : these figures should be presented in a very easy to read way so even the dumbest one knows if the company makes money or lose  money. Then you see that your company annual financial report is too complicated to read and to be understood. Then you realize that there are so much non clarities in the information it carries. Worse, that you find that the monthly report is disappear or not anymore issued in a regular basis. You really need to start to find a life vest and ready to jump now.

4. Employee turn over goes higher while employee loyalty goes longer.  A greek philosopher once said that contradiction is one of the best picture of a mismanagement. It is correct actually. When you find new faces come and go, in a short period of time, while some others in the corner would stay calmly even get the roles reduced or got themselves must take over a "dirty job", it is a sign that there is something wrong, so very wrong, happening in your company. Those new faces are taking benefit of enriched CV as they have one more bullet in it. And those long stayers in the corner are simply waiting for a golden shake hands benefit.

5. Your spouse or your kids don't know what is your job and what industry your company is. They may only able to say that you work for a company X without even being able to explain in what department you are now in, or specifically what job you perform. Sometimes they may even know better who your colleagues are or who your boss is. Be careful.. it is a clear sign of non clarity. Sick companies usually change their structure frequently, so you don't have time anymore to explain those changes (even it is not necessary but normally you will do if you are content with your work environment). So start telling them or start to jump.

6. You are getting afraid to exchange business card in convention. You are the best mirror to see your face. If you start to be a bit shaky or nervous when come to a convention, or you start to feel uncomfortable to exchange your card, or becoming nervy to face a question of "in what company you are now with Sir ?", then you are in problem. Not in you actually, but you live and work in a troubled company. The insecurity feelings haunted you and eat  your confidence. Can you remember the old times when you work to a reputable company and you feel so impatient to exchange your business card to everyone you meet ?

7. Some common confidential things become employee breakfast's company. The rubbish should go to trash bin, the meals should stay in the dishes. But now it is very different. The confidential (or even the scandalous items) are becoming the common knowledge and accompanying the employee breakfast time. Oh great.. have coffee in the morning with colleagues talking on change of leadership or stock fall that officially confirmed in the lunch time ? It is sign of sunken ship.

8. Company money goes nowhere but seems your annual bonuses go nowhere too. From time to time so many loss booked to your company's financial report. Its money goes nowhere. But it is not alone, your annual bonuses also go nowhere, sometimes along with your annual rise. It is quite mathematical and easy to explain. It stops making money, it starts losing money, it starts wiping bonuses, and it stops thinking on rise. All are meaning the same : we are in survival mode. An accountant friend of mine tipped me one thing : if the company still creates money but not from the core business(es), means it is now already in survival mode and already use all the potentials left to pursue the survival game. For you and other employee it signs the same actually : jump !

9. There is arising sign of bad business or even more a legal case of its business.  What were easy to pick few years ago becoming drain and difficult now. What are profitable yesterday becoming great loss today. What were attracting people now becoming rushing people away. It is difficult times, everybody know. But then your radar should beep louder once those all arrive with a company : legal case. It may be an unsettled client complaint, an unpaid invoice by suppliers, or a legal sue due to a wrong procedure or a reckless business practice. It is a clear sign that compliance is not anymore people's focus. It is a clear sign of another focus arise : surviving the trouble. But sorry, each business has its own rule, and so far we know, compliance would always come as #1 priority. Again, Jump !

10. Some high profilers are going for a stagnant or downgraded role elsewhere. Take a look at the point #1 and #4. Those are correlated to this point. Bad hirings, traffic of new faces. They all then go to the stagnant role or even downgraded somewhere else in the short period of time. What happens ? So Simple my friend, they all are trying to save their career of putting a bad company into their CV and get the bad mark within the industry. Please consider this carefully, once you found those are the high profilers in the industry, and get caught in the loom of downgrading elsewhere, what about the peanut low grader staffs ?

@katjoengkampret |katjoengkampret@aol.com

Titik Balik


Bagi rekan-rekan semua yang beragama Islam tentu saya yakin tengah mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan seperti saya dan keluarga, ijinkanlah sembari berbagi pandangan dan ide melalui tulisan ini saya sampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya disertai doa dan harapan agar amal ibadah kita selama bulan suci Ramadhan diterima oleh Allah SWT.

Kepada rekan-rekan lain yang bukan pemeluk agama Islam, mohon maaf jika tema tulisan kali ini sedikit bersentuhan dengan tema Ramadhan, namun sesungguhnya yang akan saya bagi melalui tulisan ini adalah mengenai suatu "turning point". Titik balik. Suatu hal biasa sebenarnya, dan saya rasa semua orang mengalaminya dalam bentuk dan konteks yang berbeda-beda. Entah mengapa, khusus bagi saya, hal ini nyaris selalu berkaitan dengan datangnya atau berakhirnya bulan suci Ramadhan. Semoga dengan penjelasan ini Anda berkenan untuk melanjutkan membaca tulisan edisi ini.

Saya merasakan bahwa adanya bulan suci Ramadhan bagi umat Islam ditujukan untuk menjadi turning point. Saya pun memiliki keyakinan, bahwa di agama lain akan ada pula momentum sejenis, yang diharapkan menjadi turning point bagi umatnya untuk menjadi umat yang lebih baik dari masa sebelumnya. Khusus mengenai diri saya, turning point tersebut terkait dengan sesuatu yang dikatakan sebagai suatu "Rahasia Illahi", perihal lahir, mati, jodoh dan rejeki.

Suatu ketika saat hendak menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan menjadi suatu titik terendah dalam hidup saya selaku anggota suatu keluarga saat saya dan istri yang tengah hamil tua terusir dari rumah karena adanya perbedaan faham. Tanpa melawan dan tanpa merasa perlu memberikan penjelasan, tidak lah sulit bagi kami untuk melangkah keluar sesuai "amanah" yang disampaikan oleh orang tua kami selaku pemilik rumah. Entah kenapa hati ini terasa ringan sekalipun ada rasa galau, semata karena kami saat itu meyakini sesuatu yang benar.

Allah memang maha berkuasa dan maha melunakkan. Menjelang penghujung bulan suci Ramadhan itu, putra kami lahir, dan menyampaikan kabar gembira tersebut meluluhkan hati banyak orang yang sebelumnya merasa apa yang benar di lisannya sebagai pedang tajam yang bisa berkuasa atas hidup orang lain. Alhamdulillah kami panjatkan waktu itu bukan hanya atas kehadiran anggota baru di keluarga kami, namun hal itu menandakan sesuatu titik balik dalam relasi kami dengan manusia lain. Nikmat berupa kelahiran disusul dengan banyak nikmat lain berupa silaturahmi, maaf dan rejeki dalam berbagai bentuk.

Beberapa waktu kemudian, saya ingat, saya pernah panjatkan doa saya di suatu malam yang menyebutkan adanya titik balik tanpa saya mampu merinci apa yang saya harapkan tersebut. Rupanya sebagai manusia yang serba terbatas pengetahuan dan kuasanya, saya telah dituntun oleh yang lebih berkuasa dan lebih mengetahui, bahwa sudah ada rencana bagi kami, dan dalam sekejap semua hal berbalik arah sekalipun kami tidak mampu merinci hal-hal tersebut.

Alkisah, beberapa tahun sebelumnya, kami alami hal serupa. Kali itu soal terbelit hutang karena cobaan beberapa bulan sebelumnya, saat putra kami terlahir dalam keadaan sakit dan tidak sempurna. Biaya yang harus ditanggung demikian besarnya sehingga kami harus berhutang. Dan suatu beban luar biasa bagi kami untuk menanggung hutang tersebut. Doa sederhana yang saya panjatkan menuntun kami ke suatu arah dan mendadak kami tersadar bahwa hutang tersebut telah lunas hanya beberapa hari sebelum takbir hari raya berkumandang. Alhamdulillah...

Masih terlalu banyak hal-hal yang dapat kita kemukakan sebagai contoh. Namun inti yang menarik bagi saya adalah, begitu sedikit dari kita yang meminta titik balik, sekalipun begitu mudah Allah kabulkan permintaan kita akan titik balik tersebut. Kepemurahan Allah tersebut ternyata tidak sebanding pula dengan itikad dan niat kita untuk melakukan titik balik dalam menjalani kehidupan kita. Seringkali titik balik yang dilakukan bersifat semu dan "mempermainkan" Allah.

Lihatlah contoh berikut : berita di koran sampaikan bahwa selama bulan suci Ramadhan panti pijat dan aneka tempat hiburan malam dilarang beroperasi. Artinya, panti pijat dan aneka tempat hiburan malam adalah suatu hal yang tidak baik, suatu hal yang harus dihindarkan dan suatu hal yang terlarang. Titik balik telah dikumandangkan menyambut dan menghormati bulan suci Ramadhan. Tapi setelah itu kembali "normal". Ini lah yang saya sebut mempermainkan Allah.

Ironi lain adalah stasiun televisi nasional ramai-ramai berubah haluan dengan siarkan aneka siaran bernuansa rohani dan syiar moralitas, luar biasa mulianya. Juga di aneka acara terlihat semakin santun dan sopan, dengan busana yang tertutup dan penuhi kaidah kesopanan timur dan Islami. Sejumlah siaran yang sejak lama dikeluhkan karena mistis, dekat dengan judi, sadistis, dan tidak sesuai kaidah kesopansantunan menjadi hilang dari peredaran. Artinya, mereka para pelaku bisnis pertelevisian nasional sudah tahu persis bahwa hal-hal yang mistis, dekat dengan judi, sadistis, dan tidak sesuai kaidah kesopansantunan adalah salah dan tidak layak disiarkan. Namun saya berani bertaruh berapapun besarnya, mereka akan kembali lagi siarkan itu semua setelah Ramadhan berakhir.

Yang sedih adalah yang sudah buruk sebelum Ramadhan, mentahbiskan diri menyongsong "titik balik" di bulan suci Ramadhan, dengan cara menjadi semakin buruk. Silakan Anda berjalan santai melalui kolong jembatan Semanggi.. Anda akan temui wajah-wajah sangar petugas Polisi yang menangkapi pengendara mobil dan motor dan peras mereka. Semua tutup mata akan hal ini. Atau mudah sekali ditemui saat Anda iseng nongkrong di dekat areal jembatan timbang... petugas LLAJR semakin menggila dan bahkan truk kosong pun dikatakan "melampaui batas muatan" sehingga harus "didenda".

Lanjut lagi, silakan datang ke tempat perpanjangan SIM, STNK, atau kantor pembayaran retribusi... semakin terlihat peran kita disana sebagai mangsa. Jangan lupakan tempat bernama pengadilan, kantor kelurahan dan kantor kecamatan... akan muncul perasaan yang sama. Bahkan Anda mungkin akan disapa dengan "sudah mau Lebaran nih". Saya pernah mendengar seorang pejabat publik pernah mengundang pengusaha-pengusaha untuk acara "Buka Puasa Bersama" dan agenda tunggal acara tersebut selain berbuka puasa adalah pidato singkat sang pejabat yang menekankan "Pemerintah sudah tetapkan THR itu wajib dibayarkan lho...". Nah lho, sang pejabat yang berkuasa atas suatu ijin tertentu meminta THR kepada para pengusaha yang membutuhkan ijin darinya....

Rekan-rekan, saudara-saudari semua, mari kita jadikan momentum suci di depan kita sebagai titik balik, tidak dengan daya upaya sendiri tapi dengan bantuan dari Allah yang maha kuasa dan maha berkehendak. Kita penuhi seruanNya agar hari ini lebih baik dari hari lalu, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Dan jadikan diri kita sebagai katalis bagi titik balik orang lain. Jika mampu dengan perbuatan, jika terasa berat bisa dengan perkataan, jika masih berat bisa kita sumbangkan pikiran kita, dan jika masih terlalu berat hendaknya diri kita bertahan untuk tidak menyetujui hal yang salah dan bathil.

Selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan, semoga Allah subhanahu wa ta'ala memudahkan jalan kita beribadah dan menerima semua amal ibadah kita. Amiin.

@katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Tuesday, July 26, 2011

5 things you must do in the 'change of regime' situation


Adjust Mental Eyes To See The Change

As we live in the professional world, change of boss, leader, regime (or whatever we call it) is the business as usual thing. Commonly found and happen all around the world. It is the part of life that calls it as "there is nothing can resist the change, except the change itself". Change of leadership is something we have to see it in an utmost positive way of thinking and attitude, that we need to see it as bunch of opportunity instead of something that kills our comfort zone.

Let me take you back a while : isn't it quite clear that the management decides to change somebody in order to shift everything into better state ? So this change is intended for a better way to run a business, why we should afraid of it and becomes reluctant to accept it ? Are we somewhat the type of individual who doesn't want to get better and left behind ? Surely NOT.

What we need to do now is to find the best position for us, whether we are as an employee or we are as a new-coming leader. What it takes to get the maximum benefit from the opportunity opened by this change ? Check this out first !


5 things you must do if you're an employee

1) Ask for an audience and ask SCOPE (supportive-constructive-optimistic-productive-enthusiasm) questions.

Frankly speaks, it is quite tricky and may be difficult also. But, getting somebody new in the higher position comes in and rule the unit, the best way to familiarize both parties to each others is by doing the change of views healthily thru the comfortable audition (can be either formal or informal) where the new ideas and views are shared along with current achievements and capabilities. The work processes are started here by exchanging useful information and pave them into the solid ground to move and work together.

All with one condition : do it with SCOPE attitude. Any question raised and ideas proposed must sound the air of supportive attitude, aim for constructive result, build an optimistic feelings, boost the productivity and develop enthusiasm. You will be standing tall if you could lead the team to apply this golden rule. Try it !

2) Learn his/her plan and logic.

Whatever you call him/her and however you judge him/her, he or she is the boss. He or she supposes to lead. He or she is expected to safeguard the action plan. So be clear on what the boss thinks, what the boss plans and what the boss is afraid of. Acknowledge his/her comfort zone as well as his/her discomfort zone. Also learn and understand his/her view of work standard, quality of work, disciplinary rules, work ethos and ethics, and most important thing is how he/she plans to take the team move to the destined direction.

Simple example is, when the new boss comes, I and my colleagues quickly do the assessments and learning and we end up to have this story : the new boss is someone that is seeing the success as the collective achievement and should leave no man behind. With the past experience in the sales environment, spiced by his paramilitary training once he was young, he is a deadly discipline person with a strong work ethos and ethics. No room for democracy but no room for intervention and disruption. All are expected to move in rhyme accordingly. The strong helps the weak, the old teaches the young, and the high leads the low. His common logic is the strength of the team lies in the weakest team member, once the weakest one is already exceed the minimum requirement then the team is already exceeds expectation at once, and his duty is to ensure that the team works comfortably and focus to the objective and share the broad range of individual potentials to achieve common goals.

3) Show your worthiness and current achievements as solid base ground for collective works

Every individual is unique, and worth a respect both as individual and for the uniqueness. Also the team as a collective unit. Both for the collectivity and for the potentials gathered. I call this as a 'worthiness'. And our job is to show our worthiness honestly and transparently. Show what we have and what we can, don't bring what we can not do and what we don't have. Show what are achieved easily, bring what are achieved with pain and blood, and also list up the things that nearly miss out the expectations as well as what are far away missing out the expectation.

He/she would think instantly, "ooh I have A things to start as they already good in it, I need to improve B things as this is the area the team missed out last year, and I need to overhaul the C things as they seem don't have an adequate capability to deliver it, indeed I need to explore what more to bring from D things that are becoming a trade mark for this team".

Showing your worthiness would prevent any wild thing to happen such as major overhaul, drastic change of work culture, and enforcing the brand new approach of work. The new boss would carefully consider what are good already and what are needing improvements, and seeing the team and its members as a worthy resources, he or she  will be carefully explore the hidden potentials instead of doing an overhaul.

4) Seek for mutual commitment with a professional spirit

This is always difficult when we involve the world commitment. People tends to do one or both followed things : to avoid commitment and to be overly committed. Both are catastrophe for all involved parties. With a clear and fair view on the team worthiness and capabilities, combined with the shared plans, ideas and approaches, there should be the big big room for set up a mutual professional commitment on three things. Those things should be followed items : (1) What we would get, we would bring, we would give and we would take from this work ? ; (2) How we would manage the team and its member to be challenging the target labelled to the team ? ; and (3) When we would do specified items to do ? The questions of How, What and When are the magic questions to be answered by mutual professional commitments between the team and the new leader.

5) Show your interest to be partnered with the new leader

It is all about partnership. Work life is no longer about the boss and the rats anymore. Not also about the ruler and the ruled people. It is about professional partnership. Break the mental and cultural barrier to offer the hand and the goodwill first. Don't get yourself late, be the first to offer the hand and the goodwill to provide helps, commitments, and "partnership proposal".

Friday, July 8, 2011

Saat Anda "Dianggurin" Di Tempat Kerja...


"Dianggurin ? Asik bener.. Mau dong !"
"Waaah enak dong bisa makan gaji buta.."
"Waaah gue iri nih sama elo, bisa nyantai seharian..."
"Gaji dan fasilitas tetaap kaaan... asyiknyaaa!!"

Itulah sedikit dari aneka ekspresi rekan, kerabat dan kolega saat mencermati dan mendapati bahwa kita saat ini tidak lagi "dipakai" atau dilengserkan dari suatu posisi atau tengah mengalami suatu tingkat aktivitas profesional yang tidak lagi seintensif sebelumnya. Secara umum reaksi-reaksi tersebut dapat digolongkan menjadi tiga bagian :
  1. Reaksi negatif yang mencemooh, menghina atau merendahkan, ini perkiraan saya mencakup 5-10% saja dari populasi, dengan catatan kita orang yang "normal" atau tidak memiliki banyak musuh. Atas reaksi ini sebenarnya kita cukup bersantai dan dengarkan saja kicauan mereka, siapa tau ada hal baik untuk masukan kita.
  2. Reaksi positif yang mendukung, menberikan saran dan menawarkan bantuan, umumnya mencakup 20-30% dari total populasi, masih dengan catatan kita adalah individu sosial yang normal dan tidak memiliki banyak musuh. Atas masukan-masukan ini hendaknya kita cermati dan jadikan pemacu semangat untuk survive.
  3. Reaksi "melambung" yang semu, seperti contoh-contoh di atas, ini yang dominan mencakup 60-75% dari total populasi. Ini adalah suatu reaksi semu yang didorong naluri normal karena tekanan pekerjaan atau keinginan untuk lepas dari rutinitas. Hendaknya ini tidak dijadikan pemacu semangat karena bukan menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.

Terlepas dari reaksi-reaksi apapun yang kita terima dan dari siapapun itu, tegakkanlah kepala kita untuk tatap hari mendatang karena di masa itu lah terdapat peluang bagi kita untuk lebih baik dan lolos dari sergapan cobaan ini. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengisi waktu yang bermanfaat sebelum kita memperoleh kesempatan kedua ? Ada beberapa hal sebenarnya.. simak poin-poin berikut ini :

1. Beri waktu untuk perdalam kompetensi inti dan kualifikasi profesional

Selama ini pekerjaan Anda mungkin telah menyita sebagian besar waktu Anda. Akibatnya tidak banyak waktu yang tersedia untuk menajamkan kembali gergaji profesional Anda. Padahal, dengan perkembangan teknologi, bisnis dan komunikasi, mutlak diperlukan penyegaran dan pengkinian (bagi yang belum familiar, ini bahasa Indonesia untuk 'updating'...) dari keahlian kita. Di sisi lain, situasi kurang nyaman dimana kita tersingkir, bisa jadi membutuhkan solusi berupa penajaman kompetensi inti dan peningkatan kualifikasi profesional. Apakah kita berani jamin bahwa kompetensi inti kita dan kualifikasi profesional kita sudah cukup mumpuni ?

Saya pribadi amat terkesan dengan sosok Presiden kita. Dalam karir militer beliau, seorang lulusan terbaik dari Akademi Militer, tidaklah selalu mulus. Namun sebagai seseorang yang kental dengan budaya akademis dan memang pernah bercita-cita menjadi seorang pendidik, naluri belajarnya amat tinggi. Saat diterpa hal yang kurang nyaman dalam rentang karirnya, beliau anggap itu sebagai berkah : kesempatan emas untuk pelajari hal baru dan pertajam pengetahuan yang sudah pernah dikuasai. Saya rasa Anda sepakat dengan saya bahwa beliau adalah sosok yang intelek, berwawasan luas, berpandangan jauh dan berpengetahuan banyak.

2. Beri waktu untuk pahami aspek teknis dan detail dari pekerjaan anda

Kita tidak pernah tahu apakah kita tersingkir karena dianggap kurang becus dalam mengurus pekerjaan kita. Atau dianggap kurang ahli, atau kurang memberikan visi atau malah kurang memberikan motivasi dan inspirasi kepada team yang kita pimpin. Satu hal, kemungkinan-kemungkinan itu harus kita evaluasi dan jika memungkinkan, harus kita cari tahu untuk bahan perbaikan. Namun yang lebih penting adalah : tutup semua lubang kebocoran.

Dipinggirkan, anggap sebagai tugas maha penting dari perusahaan untuk kita agar kita dapat memahami obyektif dari pekerjaan yang kita emban sebelumnya, dan pahami detail-detail yang sebelumnya tidak kita perhatikan atau malah tidak kita pahami sama sekali. Ingatlah bahwa 98% manusia cenderung abaikan detail apabila "gambar besar" nya sudah terlihat. Kemarin mungkin kita ada di kelompok ini. Sekarang waktunya untuk pindah kuadran ke kelompok yang 2%. Siapa tahu proses pembelajaran ini dengan hasil yang cemerlang akan membawa Anda ke pintu kesempatan kedua. Atau menghantarkan Anda ke peluang baru di arena lainnya.

3. Beri waktu, perhatian dan keahlian Anda pada bisnis yang selama ini terlantar

Seorang leader saya di masa lampau pernah ajarkan saya tiga hal : (1) jangan letakkan semua telur di satu keranjang ; (2) musuh utama manusia siapkan masa depan adalah dirinya sendiri dan waktu yang tersedia, serta (3) sesuatu yang terlantar jauh lebih baik daripada sesuatu yang bahkan belum dimulai. Saya amat meresapi kebenaran dari ketiga nasehat tersebut.

Anda seorang profesional, itu satu fakta. Tapi bahwa Anda tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, itu suatu fakta lain yang mutlak kebenarannya. Anda dituntut untuk tidak mempertaruhkan seluruh "telur" Anda di satu "keranjang" : karir Anda saat ini. Tidak sedikit dari kita yang mempersiapkan keranjang-keranjang baru untuk masa depan mereka. Karena tuntuan pekerjaan, menurut seorang pengamat bisnis, keranjang-keranjang ini 90% terlantar sebelum melalui tahun pertamanya dan dari 10% yang berlanjut hanya 2% yang mampu lampaui tahun kelima. Parahnya, pada akhirnya hanya kurang dari 1% yang bisa survive hingga sang inisiator pensiun. Ujung-ujungnya, 99% lebih hanya akan bergantung pada uang pensiun di masa tuanya.

Melihat paparan di atas, peminggiran kita dari arena karir bisa jadi suatu berkah untuk mencurahkan waktu, perhatian dan keahlian bisnis Anda pada suatu rintisan yang sudah Anda buat. Jika Anda belum lakukan apapun, maka ini lah waktu yang paling tepat untuk mulai bergerak dan luncurkan keranjang Anda sendiri.

4. Beri waktu untuk perluas wawasan, pergaulan dan jaringan profesional Anda

Homo Homini Socius. Ungkapan latin yang berarti 'manusia adalah makhluk sosial bagi manusia lainnya". Ini ungkapan klasik yang juga benar. Manusia yang normal, seberapapun introvertnya, akan cenderung aman dan nyaman berada di dekat kawanannya. Manusia yang menjadi kawanannya adalah manusia yang memiliki karakteristik yang membuatnya nyaman. Ini bisa berarti yang memiliki kesamaan sifat, pandangan, cara hidup, pikiran dan bahkan minat atau keahlian.

Waktu yang terampas oleh pekerjaan Anda selama ini menjadikan Anda mungkin memiliki kadar aktivitas sosial (bukan berarti ronda atau sedekah ya...) yang berkurang tanpa Anda sadari. Pada saat Anda terpinggirkan, maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi untuk mulai kembalikan keharusan satu ini : GAUL !

Yang harus dicermati adalah kita harus pandai memilih pergaulan yang positif, produktif dan konstruktif bagi diri kita. Pilih-pilih teman dan pergaulan tidak salah asalkan didasarkan pada kriteria yang benar. Jangan Anda bergaul sebatas untuk kongkow, curhat, keluh kesah, bersenang-senang dan tertawa bersama. Sebaliknya, arahkan aktivitas ini pada hal-hal yang memberikan akses bagi Anda ke peluang bisnis baru, peluang karir baru, pengetahuan dan wawasan baru serta ke pihak-pihak yang akan memberikan pengaruh positif dan konstruktif bagi diri Anda.

Ini semua tidak sulit koq.. Anda hanya perlu luangkan sedikit waktu dan jadwalkan di agenda Anda, mulai sibak buku telepon dan mulai hubungi rekan-rekan lama Anda untuk buat janji atau sekedar tegur sapa di telepon, dan yang terpenting tetapkan hal-hal yang ingin Anda capai dari aktivitas yang akan anda jalani tersebut.

Ingatlah (dan saya juga selalu ingatkan diri saya sendiri), bahkan matahari pun tidak selalu bersinar, karena adanya malam. Namun suatu keniscayaan bahwa matahari akan kembali terbit perlahan dan membumbung tinggi di keesokan harinya, lalu kembali tenggelam berganti malam. Keep trying and keep learning !

Selamat mencoba dan Semoga Sukses.

Follow us on twitter @katjoengkampret