Monday, December 12, 2011

Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi (Bagian Kesatu)


Intelijen Bisnis dan Pentingnya "Trust" Dalam Organisasi.

Rasa Percaya Kepada Karyawan. Ini bisa jadi suatu jargon, tapi ternyata mengabaikannya merupakan suatu kesalahan besar. Di suatu organisasi yang saya kenal baik, hal ini baru saja terjadi dan sempat membuat suatu kegoyahan, namun saya tetap berharap semoga itu hanya bersifat sementara dan para pihak yang ada di dalamnya mengambil suatu pelajaran penting.

Cerita dimulai saat si pemimpin mengibarkan bendera atas suatu inisiatif beberapa bulan lalu. Suatu proyek maha penting yang disampaikan akan merubah cara dan pola berbisnis dari perusahaan. Sayangnya, beliau (yang kebetulan seorang ekspatriat) lebih mempercayakan posisi-posisi vital pada sesama ekspatriat, sekalipun skill dan pengetahuan praktis akan bisnis yang diterjuni itu sudah dimiliki oleh para profesional anak bangsa di organisasi tersebut.

Kendala pertama tentu masalah kemasygulan, "buat apa sih buang uang banyak untuk skill yang sudah ada di organisasi ini ?" itu adalah gerundelan awal. Ganjalan kedua adalah masalah komunikasi dan budaya, dimana tiga ekspat yang ditunjuk (sebagai project manager, sebagai business technical advisor, dan sebagai seorang subject matter expert) bersikap petentang petenteng dan cenderung anggap remeh profesional anak bangsa, sementara jelas-jelas bisnis yang akan ditekuni tidak pernah mereka temui di negara mereka sendiri. Disini kekacauan mulai terjadi karena sikap sok tahu dan arogansi mereka memunculkan anggapan "gak ada mereka kita juga bisa jalan sendiri koq".

Di sisi lain, manajemen puncak yang jelas-jelas terafiliasi dan amat percaya pada orang bawaannya mulai mengabaikan aspek intelijen bisnis yang sejujurnya hanya mampu dilakukan oleh karyawan di level yang lebih rendah dan notabene karyawan lokal. Sejumlah informasi penting pun diabaikan. Termasuk kemungkinan calon mitra bisnis melakukan manipulasi angka potensi bisnis dan pengaburan fakta akan angka-angka bisnis di periode-periode sebelumnya. Sialnya terjadi pergeseran asumsi dan potensi bisnis yang digadang-gadang sebesar gunung ternyata mungkin hanya sebesar bukit ataupun lebih kecil lagi. Beberapa orang pun mulai bergunjing sinis dengan mengatakan "dulu bermimpi Mercedes, sekarang cuma bisa pegang seukuran Bajaj tetapi semua orang diminta memperlakukan si Bajaj sebagai Mercedes".

Pimpinan puncak bukannya tidak tahu realita penyusutan Mercedes menjadi Bajaj. Hanya saja selain sudah gengsi kepalang basah dan pantang mundur, mereka terus dibisikkan oleh para punggawa bawaan mereka. Tibalah bencana besar. Ada indikasi pergantian kekuasaan di calon mitra, dan informasi ini diabaikan karena dianggap tidak kredibel. Saat berita itu diumumkan di media, mereka terhenyak. Kapal telah karam... Uang telah mengalir banyak, tidak sepeserpun yang sudah dikantongi, sudah terlanjur malu, dan sesungguhnya harga yang paling mahal yang harus dibayar organisasi itu adalah hilangnya rasa percaya. Baik rasa percaya pimpinan pada karyawannya, maupun rasa percaya para karyawan kepada pimpinannya.

Lalu seperti apa seharusnya pengelolaan Trust Value dan pelaksanaan Intelijen Bisnis yang sebaiknya dilakukan ? Kita lanjutkan di bagian kedua dari tulisan ini.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Friday, November 25, 2011

Friday Talk : Menjadi Guru

Hari ini saya dapat info dari anak-anak saya kalau ekskul diliburkan karena ada perayaan Hari Guru dan guru-gurunya ada acara. Memang hari Jumat sekolah anak-anak saya libur dan hanya ada ekskul saja. Deep inside saya bersyukur, mereka bukan diliburkan gara-gara "royal wedding" sialan itu yang bikin sekolah-sekolah di area sekitarnya diliburkan...

Tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa-masa kecil dan saat bersekolah, juga perjalanan karir saya. Ingatan saya terbang ke sosok guru-guru saya di sekolah, sejak TK hingga SMA. Juga ke sosok dosen-dosen saya saat kuliah, baik di tingkat sarjana maupun master. Dan ternyata masih berlanjut, saya juga teringat dengan instruktur-instruktur saya saat memulai karir sebagai management trainee, kepada mentor-mentor saya, dan atasan-atasan saya yang semuanya juga telah menjadi guru dalam perjalanan karir saya. Memang benar, belajar itu adalah perjalanan tanpa ujung.

Sebaliknya, mengajar dan menyampaikan ilmu juga suatu aktivitas tanpa henti, yang tak terelakkan. Termasuk di dunia kerja. Kembali ke dunia kerja, menjadi mentor, instruktur atau atasan, adalah kesempatan emas untuk belajar. Bukankah untuk bisa ajarkan sesuatu kita harus refresh dulu dan belajar lagi? Sangat disayangkan, saya melihat amat banyak gejala untuk abaikan kesempatan ini. Terutama bagi mereka yang menjadi seorang atasan. Ada empat gejala umum yang saya perhatikan dari atasan-atasan "jaman sekarang" terhadap tanggung jawab edukasional mereka.

Satu, senang menyuruh. Menjadi atasan bukan lantas jadi raja. Senang menyuruh dan seringnya karena sok tau atau justru tidak mau tau, menyuruh yang tidak berdasarkan analisa yang pas. Tidak mau belajar, ini alasan mengapa sejumlah atasan "menjaga jarak" dengan staf dan pekerjaan mereka. Bagaimana bisa mengajarkan sesuatu jika mereka tidak pernah bersentuhan dan cuma bisa suruh? Bahkan saya temui ada atasan yang dengan segala cara berusaha untuk tidak tahu detail pekerjaan stafnya agar bisa berkelit "saya kan tidak tahu teknisnya". Sip kan?

Dua, kurang interaksi. E-mail, messenger application, corporate portal, bahkan telepon extention dan seluler, ini semua musuh leadership. Semua menjadikan seorang atasan merasa mampu dan berhasil mengontrol unitnya secara remote. Akibatnya mereka semakin berjarak dengan realita di lapangan, dan otomatis menjadi semakin kuper dan bodoh. Jika sudah kuper dan bodoh, bagaimana mau mendidik stafnya?

Tiga, tidak mengajarkan value. Dunia kerja memang tidak demokratis. Apalagi jika menyangkut target, prosedur dan hasil kerja. Cukup banyak atasan yang mampu menjadi guru agar team-nya mampu mencapai target, memenuhi hasil kerja yang diharapkan dan sesuai prosedur. Tapi itu tidak cukup. Harus ada yang ajarkan value. Integritas, kejujuran, punya prinsip dan dedikasi, itu adalah beberapa diantaranya. Coba cek, apakah anda sebagai atasan pernah ajarkan ini? Atau apakah atasan anda pernah ajarkan ini?

Empat, tidak memberi contoh. Suka menyuruh + menjaga jarak dan kurang interaksi + tidak ajarkan value = gagal memberi contoh. Coba buktikan sendiri deh formula di atas. Lagian, mau kasih contoh apa kalau yang bersangkutan bahkan gak tahu ada masalah apa?

Menjadi guru itu suatu pekerjaan yang sulit, namun mulia dan menyenangkan. Ayah saya, seorang peneliti, juga bekerja sebagai instruktur dan dosen. Beliau sampaikan pada kami, putra-putranya, bahwa menjadi guru itu menyenangkan karena hasil kerjanya langsung tampak saat itu juga. Jika kita dagang, dan berhasil menjual satu barang, kita belum tahu apakah akan tersenyum atau nyengir di sore hari. Karena tahu dari mana kita semua barang dagangan akan laku atau apakah kita akan untung? Tetapi beda dengan mengajar. Ekspresi anak yang sedang diajar langsung memberikan hasil, apakah kita berhasil mengajarkan sesuatu atau tidak? Yang bersangkutan mengerti atau tidak? Dan ternyata ekspresi di akhir sesi sudah bisa berikan ramalan siapa yang akan lulus atau gagal saat ujian.

Selamat menjadi guru!

Wednesday, November 23, 2011

Thanksgiving

Ada yang tahu soal Thanksgiving Day?

Thanksgiving Day, atau hari mengucapkan Terima Kasih, adalah tema dari sejumlah sisi kehidupan di Amerika Utara dalam hari-hari mendatang. Kebetulan hari ini adalah Rabu malam dan esok adalah Kamis ke-empat di November, saatnya perayaan Thanksgiving Day di Amerika Serikat.

Mengenai Thanksgiving Day sendiri menurut situs wikipedia.orang adalah "Thanksgiving Day is a holiday celebrated primarily in the United States and Canada. Thanksgiving is celebrated each year on the second Monday of October in Canada and on the fourth Thursday of November in the United States."

Bagi saya yang seorang muslim, setiap hari adalah Thanksgiving Day, dan diekspresikan dengan ucapan syukur dan terima kasih pada sang pencipta : "Alhamdulillahi rabbil 'alamiin". Suatu ucapan yang setidaknya diucapkan 17 kali sehari sesuai jumlah rakaat shalat wajib. Apa yang terjadi via shalat tersebut dan apa yang dirayakan oleh orang lain dengan caranya, ada satu benang merah : mengekspresikan rasa Terima Kasih.

Mengapa mengekspresikan terima kasih itu penting untuk dilakukan? Ada beberapa alasan.. Berikut diantaranya :

1. Apresiasi. Rasa syukur dan berterimakasih (bukan kebetulan lho bahwa dalam bahasa Arab 'syukron' berarti 'terima kasih') adalah suatu apresiasi atas budi baik orang lain, atas suatu kondisi yang baik atau nikmat yang kita peroleh dari pihak lain (termasuk tentunya karunia dari sang pencipta). Apresiasi ini penting, terutama saat berurusan dengan sesama, dimana ini menunjukkan bahwa kita bermartabat, tahu cara membawa diri, dan tahu diri akan fungsi orang lain terhadap diri kita. Apresiasi ini akan mendekatkan kita dengan sesama, dan menjadikan sekat-sekat psikologis melemah. Silakan dicoba, saat kita apresiasi jasa seseorang dengan ucapan Terima Kasih yang tulus, hampir pasti senyum yang tulus adalah imbalan minimal yang akan Anda terima.

2. Konfirmasi. Ini penting, setiap hal membutuhkan konfirmasi. Dengan berterimakasih, kita memberikan suatu konfirmasi pada seseorang, bahwa "kita telah menerima dengan baik jasa yang telah diberikannya pada kita", ataupun suatu konfirmasi bahwa "apa yang Anda lakukan pada saya bermanfaat dan membantu saya". Imbasnya akan sangat positif. Selain senyum tulus, Anda akan memberikan kepastian pada orang yang Anda berikan ucapan Terima Kasih bahwa tindakannya benar, bermanfaat dan membantu orang lain. Dengan demikian akan memupus keraguan yang mungkin muncul saat seseorang hendak lakukan hal baik pada orang lain, Insya Allah.

3. Mencerahkan. Coba berikan saya suatu alasan, mengapa ucapan Terima Kasih yang tulus tidak akan mencerahkan suasana hati penerimanya dan pemberinya? Ucapan ini, bersama dengan "tolong" dan "maaf" adalah paspor masuk ke situasi apapun, bahkan selalu ada di buku panduan wisata apapun dalam berbagai bahasa. Mengapa? Karena kata-kata ini melunakkan hati, menepis rasa asing dan jauh secara emosional, serta merekatkan pribadi-pribadi karena mengedepankan persamaan. Bukankah suatu apresiasi dan konfirmasi menandakan persetujuan bersama akan suatu hal?

4. Empati dan "Basic Emotional Needs". Bukan rahasia lagi selain haus air, haus kejayaan dan haus kebahagiaan, manusia diciptakan juga dengan rasa haus akan perasaan dihargai dan dibutuhkan. Inilah sisi lain dari manusia manapun di dunia ini sejak lahir hingga tua. Ini pulalah yang menjadi "titik sentral" dari aspek emosional manusia manapun. Kemampuan kita menangkap kebutuhan ini dan mencoba memahaminya dengan proporsional adalah suatu kecerdasan empatik. Dan ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah suatu bentuk empati yang sempurna dari suatu manusia ke sesamanya.

5. Perlindungan dari penyakit hati. Ada yang pernah lihat orang yang berterimakasih dengan tulus selalu tapi menjadi sosok yang culas, jahat dan khianat? Sulit loh dapat contoh tersebut... Kemampuan berterimakasih akan lindungi kita dari rasa dengki, rasa iri, rasa amarah, pikiran jahat dan sikap khianat. Tanpa berpanjang-panjang, silakan coba dan buktikan sendiri kebenaran kata-kata tersebut!

Jangan tunda atau tahan ungkapan Terima Kasih Anda. Ekspresikan dengan wajar, tulus dan empatik. Mengutip suatu pesan di media sosial twitter yang saya peroleh sore ini : @heatherecoleman: "Silent gratitude isn't much use to anyone." ~G.B. Stern. Memiliki perasaan berterimakasih namun tidak diungkapkan adalah sama saja bohong, tidak ada maknanya, dan bahkan aneka benefit yang terkandung di dalamnya juga akan menguap dengan cepat....

Satu lagi, ungkapan bagus dari dunia bisnis, datang dari situs RainToday.com dengan ungkapan "Empathy and Sensitivity Lead to Strong Client Relationships". Bukankah suatu ungkapan Terima Kasih yang tulus adalah bentuk empati dan kepekaan?

Mari kita bersama-sama gerakkan diri dan jiwa kita untuk lebih aktif ekspresikan rasa Terima Kasih kita, dimulai dengan ungkapan syukur pada sang pencipta yang maha pemurah, Alhamdulillah. Semoga hidup kita selalu dalam lindunganNya dan tercerahkan selalu.

Selamat malam dan semoga Anda selalu berada dalam keadaan berterimakasih.

On twitter @katjoengkampret | e-mail: katjoengkampret@aol.com

Friday, November 18, 2011

Morning Briefing


Setiap hari, saya selalu melewati lapangan kecil dekat tempat parkir sepeda di area parkir reserved kantor, yang dijadikan reserved parking untuk tamu VIP. Di lapangan itu, setiap hari, sekitar jam 8 pagi saat saya lewat setelah memarkir mobil, selalu sedang ada briefing pagi dari sekelompok polisi dengan seragam yang bercorak merah tua. Rupanya itu adalah kesatuan khusus di Polda Metro Jaya yang bernama Pam Obvit (Pengamanan Obyek Vital). Mereka ditempatkan di sini karena di area perkantoran ini terdapat sejumlah perwakilan negara asing dan organisasi multinasional.

Bukan soal itu yang hendak saya bahas tetapi soal briefing yang dilakukan. Beberapa hari lalu, saat saya berangkat sedikit lebih pagi, saya berkesempatan untuk mendengarkan lengkap apa yang di-briefingkan. Cukup menarik. Rupanya selain itu ritual resmi di kesatuan, itu juga memiliki tiga tujuan fungsional, yaitu (1) mengecek kesiapan anggota dan peralatan kerja yang digunakan untuk operasional hari ini, (2) menginventarisasi permasalahan yang terjadi di hari sebelumnya dan potensi masalah atau isu yang penting untuk hari yang akan dijalani, serta (3) menanyakan kabar masing-masing anggota. Ketiga poin ini menarik, terutama jika kita merasa seorang petugas pelayanan publik.

Pemimpin unit adalah seorang Inspektur Satu, atau setara dengan Letnan Satu. Beliau sudah tua, dan tampaknya seorang polisi karir yang memulai karir dari bawah. Pilihan kata-katanya amat efektif dan efisien, berwibawa dan terdapat impresi kebapakan, karena memang kebetulan anggotanya jauh lebih muda. Untuk penyegaran seringkali diadakan game kecil seperti mengundi siapa yang akan memimpin apel dan briefing di hari tertentu.

Saya sempat bertanya, apakah poin ketiga di atas penting ? Karena tampaknya itu tidak berkaitan dengan tugas pengamanan yang akan dilakukan. Beliau menjawab, "petugas saya bukan robot, mas. Mereka manusia, dan setiap manusia punya masalah serta daya tahan yang berbeda. Sementara, tugas kami membutuhkan personil dengan standar yang tinggi dan tidak akan mau tahu dengan masalah yang dimiliki anggota-anggotanya. Dengan cara demikian, kita sebagai tim akan memiliki kesempatan untuk saling jaga, saling bantu dan memperbaiki kerjasama. Kami bagaikan saudara".

Saya teringat masa saya bertugas sebagai pimpinan suatu unit layanan nasabah. Saya berpikir, mungkin bapak komandan ini akan mampu jalankan tugas dengan lebih baik ketimbang saya jika ditempatkan di unit layanan nasabah tersebut. Setidaknya untuk memastikan kesiapan team dalam menyongsong tugas hari ini, beliau lebih baik dari saya.

Semoga cerita pendek ini memberikan suatu pencerahan yang bermanfaat untuk kita semua. Seandainya ada tanggapan silakan berbagi disini.
Have a nice day @ work !

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com

Friday, October 14, 2011

The Power of Six IONs in Leadership


The Power of Six IONs in Leadership.

Ini bukan iklan minuman isotonik yah... karena keenam ION yang dimaksud adalah akhiran dari kata-kata berikut yang menjadi komponen penting suatu kepemimpinan : VISION, INFORMATION, IMAGINATION, DIRECTION, ACTION, PASSION. Semua pakai akhiran -ION kan ? Mengapa kelima komponen itu begitu penting saat kita memiliki tanggung jawab untuk memimpin ? Mari kita bedah satu persatu ya sebelum kita masuk ke akhir minggu, setuju ?

VISION. Visi, siapa yang tidak perlu ? Jangankan organisasi dengan sekian individu, masing-masing dari kita saja perlu punya visi dalam menjalani hidup atau melakukan sesuatu. "Apa cita-citamu, Nak ?" atau "Mau jadi apa nanti saat sudah besar ?", adalah dua dari banyak contoh bagaimana visi pribadi dipupuk sejak dini. Pemimpin tanpa visi bisa dikatakan makan gaji buta (padahal biasanya gueddeeee loh gaji para pemimpin itu). Dan hampir pasti organisasi yang dipimpin akan berjalan tanpa arah yang jelas dan konsisten. Lebih penting lagi, visi adalah hal yang menyatukan berbagai komponen organisasi dengan aneka kepentingan, keahlian, kemampuan dan kepribadian.

INFORMATION. Pernah mendengar ucapan "pemimpin payah, gak tau apa-apa" ? Itu pertanda bahwa pemimpin harus LEBIH dari yang dipimpin. Bukan cuma sekedar LEBIH gede gajinya, atau LEBIH tinggi pangkatnya, atau LEBIH banyak otoritasnya, tapi juga harus LEBIH memiliki kemampuan dan modal untuk mengarahkan yang dipimpin. Dengan apa ? Dengan kemampuan informatif : kemampuan menganalisa informasi yang dibutuhkan, kemampuan memperoleh atau menggali informasi yang dibutuhkan, serta kemampuan mengolah dan mengelola informasi yang dibutuhkan. Tidak percaya ? Pernah mendengar istilah "Jenderal nggak perlu bisa menembak tepat tapi harus bisa meletakkan penembak tepat supaya bisa menembak sasaran yang tepat agar bisa memenangkan pertempuran" ?

IMAGINATION. Ada kata-kata di dunia militer "Do what I say. Just do. Don't think.", sesungguhnya di dunia kerja juga sama. Kasar atau halus, sadar atau tidak, dan diakui atau dibantah, semua pemimpin (yang pastinya memiliki otoritas atas yang dipimpin) akan mengambil sikap tersebut. Ada benarnya tapi juga ada salahnya. Yang jelas pemimpin harus memiliki imajinasi yang bisa dipertanggungjawabkan untuk memberi solusi yang diperlukan organisasi. Terkadang, kekuatan suatu organisasi ditentukan dari ruang untuk berimajinasi dan mengaspirasikannya bagi para individualnya. Baru-baru ini kita kehilangan Steve Jobs, pendiri dan chief innovator Apple. Disebutkan bahwa kekuatan utamanya adalah pada inovasi dan manajemen ide. Ia pandai berimajinasi, dan pandai pula menangkap, merangsang dan merealisasikan ide orang lain.

DIRECTION. Bagian ini tidak perlu banyak dibahas yah ? Sampai ada posisi yang namanya Direktur, berasal dari bahasa Inggris 'Director' alias orang yang memberi pengarahan (direction). Direction sendiri memang artinya "Arah" kan ? Pemimpin harus selalu bisa menjadi penunjuk arah bahkan peta. Saat ada anggota yang tersesat, ia harus bisa menunjukkan arah yang benar. Kalaupun ia tidak bisa memberi arah dan informasi yang dibutuhkan, ia bisa memberi saran, kiat dan petunjuk kemana arah dan informasi yang dibutuhkan itu bisa didapat.
ACTION. Tidak pernah ada kepemimpinan yang berhasil dengan karakter OmDo alias Omong Doang. Lead by Example is essential. Seorang pemimpin harus dapat mengambil tindakan nyata. Harus dapat memberikan contoh, harus menjadi teladan, dan bahkan harus bisa menjadi seorang mentor. Kadang omongan memang perlu... susah juga kan memotivasi dan mendorong orang untuk maju kalau pake bahasa isyarat ? Tetapi kata orang sono "action speaks thousand times than words". Dan memang lama-lama nyebelin juga kan liat orang yang cuma bisa omong doang ? Saat rasa sebel itu hadir, maka demotivasi sudah dimulai dan kegagalan sudah tertulis separuh...

PASSION. Ini yang sulit. Banyak sih orang yang punya passion, tetapi tentu tidak berdiri sendiri. Jika cuma punya passion saja maka itu akan jadi ngawur alias nafsu besar tenaga kurang. Tetapi yang sering terjadi di berbagai organisasi, pemimpinnya pandai-pandai (ya iyalah, kalau bloon kan susah juga ya sampai ke atas ?) tetapi tidak punya passion. Loyo bin Lemes alias Memble. Ya tentu sulit untuk membangkitkan potensi terbaik dari yang dipimpin. Sulit untuk membangkitkan raksasa tidur kata Anthony Robbins. Sulit untuk mengharapkan keajaiban. Apa persamaan Obama, Soekarno, Steve Jobs, Jack Welch, Alex Ferguson, Lionel Messi, bahkan hingga bintang porno seperti Miyabi ? Mereka semua memiliki passion akan apa yang dikerjakan, terlepas pekerjaannya "bermasalah" ya seperti Miyabi... ha ha Intermezzo !

Okey semua, selamat berakhir pekan. Have a nice weekend and have a great six IONs for the week after !

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com


Thursday, October 13, 2011

Dilema Anak Baru Sok Tahu ? A.C.T. saja !


Pernahkah Anda berada di suatu situasi dimana suatu posisi atau jabatan yang telah Anda lakukan dengan baik (setidaknya menurut Anda sendiri dan atas dasar performa yang Anda telah tunjukkan) harus diserahkan ke orang lain ? Hal ini bisa karena berbagai hal, dan belum tentu karena Anda buat salah loh, bisa saja karena penyegaran, sudah terlalu lama berada di suatu pos atau bahkan Anda memperoleh promosi.. Namun apa daya, sang pengganti ternyata malah tidak kapabel dan merusak hasil kerja Anda (setidaknya ini penilaian Anda)...

Manusiawi tentu perasaan marah, kecewa, bahkan mungkin terhina, "koq bisa-bisanya si dungu satu itu terpilih gantikan saya ?", mungkin demikian gumaman kita, yang moga-moga hanya terucap dalam hati. Sialnya, si dungu ini tidak merasa ada yang salah, dirinya hebat, dan anehnya memperoleh endorsement dari manajemen. Lebih sial lagi, ada himbauan dari boss Anda untuk mendampingi si anak baru ini melewati masa-masa awalnya. Lalu apa yang harus kita lakukan pada situasi ini ?

A.C.T ! Bukan cuma mengambil tindakan (to act) tetapi merupakan akronim dari Ajari, Cermati, Tinggalkan.

AJARI. Bukan bermaksud menjadi guru, tetapi bagian dari tanggung jawab profesional kita bukan saat meninggalkan suatu pos untuk melakukan transisi yang mulus kepada petugas yang baru. Maka diperlukan suatu proses peralihan tanggung jawab dan transfer pengetahuan, baik teknis dan manajerial antara dua pihak tersebut. Diperlukan kebesaran jiwa dari pihak yang meninggalkan dan rasa hormat dari pihak yang menggantikan. Salah satu tidak ada, pasti akan ada masalah.

Kita tidak perlu mengajari sampai detail, namun hendaknya difokuskan pada tiga hal saja. Satu, budaya dan tata kerja yang berlaku di perusahaan dan khususnya di unit kerja tersebut, hal ini akan membantunya beradaptasi dengan lingkungan dan staff yang ada di unit kerja tersebut. Dua, jadwal-jadwal, deadline, report-report serta aneka hal yang bersifat mandatory, ini akan membantunya untuk lebih cepat memegang kendali dan semakin cepat bagi Anda untuk lepas dari tanggung jawab, dan tentu memastikan perusahaan tidak terganggu dengan adanya transisi karena semua hal yang bersifat mandatory tidak terganggu. Tiga, hal-hal teknis yang spesifik, atau metode pekerjaan yang unik yang Anda kembangkan dalam rangka mengelola unit kerja, ini untuk memastikan bahwa staff pun tidak terlalu "tersiksa" dengan pergantian boss karena metode unik itu bisa dipertahankan dengan adanya transfer of knowledge ke pejabat yang baru dan akan diterapkan untuk setidaknya pada kurun waktu tertentu.

CERMATI. Tentukan suatu time line setelah masa transisi usai, misalkan masa transisi selama 30 hari, lalu tetapkan dalam hati masa observasi, misalkan 60 hari sesudahnya. Ada tiga hal yang harus Anda cermati secara diam-diam namun tetap fair dan objektif : performa team, impact terhadap perusahaan, dan kondisi staff. Jika atas ketiga hal tersebut terjadi suatu kondisi penurunan yang signifikan dalam waktu singkat, Anda bisa tawarkan untuk berdiskusi atau setidaknya bertanya apakah ia membutuhkan bantuan atau saran, atau setidaknya bertanya "apakah semua baik-baik saja ?".

Ini juga sekaligus test case apakah Anda dianggap sebagai aset olehnya atau justru sebagai ancaman. Dan pada saat penurunan kondisi ini mempengaruhi perusahaan dan bahkan kondisi staff, Anda bisa pula sampaikan concern ini (jika masih relevan dengan kondisi Anda saat ini) kepada manajemen dan tawarkan saran jika diperlukan. Tapi setelah masa observasi ini berlalu, dan atau test case Anda gagal dimana Anda dianggap ancaman, segeralah beralih ke item ke 3 : tinggalkan. Namun, tawaran yang Anda sampaikan tentu akan menjadi "juru selamat" bagi Anda di kemudian hari, Anda bisa sampaikan "saya sudah sampaikan tawaran untuk membantu jika ada kesulitan di saat keadaan masih lebih terkendali, sayang saat itu ditolak. saat ini tentu saya sudah sibuk dengan pekerjaan baru saya dan tidak dapat membantu, mohon maaf karenanya". Anda aman dan tentu nyaman. Salah sendiri tidak manfaatkan tawaran baik, bukan ?

TINGGALKAN. Seperti uraian saya di atas, segera ambil langkah ini jika masa observasi sudah berlalu atau Anda dianggap ancaman. Tidak perlu berkorban untuk si sok tahu bukan ? Jika memang dia smart, dan serba tahu, tentu dia bisa atasi masalahnya sendiri. Yang penting Anda sudah tawarkan bantuan sesuai kode etik profesional. Juga jika masa observasi berlalu tentu suatu hal yang basi jika Anda masih mengurusi pekerjaan lama Anda, karena secara normal dapat diasumsikan bahwa dalam periode 60 hingga 90 hari seharusnya profesional yang "normal" sudah dapat menguasai pekerjaan barunya, bukan ?

Satu hal yang berat adalah emotional attachment, keterikatan emosional Anda pada pekerjaan lama Anda, identitas profesional Anda yang lama, dan pada orang-orang yang telah bekerja dengan Anda sebagai suatu team di pekerjaan lama Anda. Percayalah, friends will be friends. Anda fokus pada pekerjaan baru Anda tidak akan menjadikan mereka semua bukan teman Anda lagi. Mereka pun profesional dan bisa respek terhadap kesibukan dan tuntutan pekerjaan baru Anda. Namun, jika mereka tidak bisa mengerti hal ini, maka mudah saja, mereka bukanlah teman dan kolega yang Anda perlukan untuk maju. Tinggalkan segera!

Semoga Bermanfaat dan Selamat Beraktivitas !

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Thursday, October 6, 2011

10 things iPhone & iPad users may not know about Steve Jobs


1.        Steve Jobs was an adopted child, adopted by Paul and Clara Jobs (née Hagopian) and he was born and raised (and later died) in California, US
2.        Steve Jobs' biological father was a Syrian Muslim named Abdul Fattah Jandali, and his biological mother was an American named Joanne Simpson (née Schieble) who might possible have a Jews descent.
3.        Steve Jobs founded Apple Computer with his close friends, Steve Wozniak (who is Polish descent), Ronald Wayne and Mark Markkula (who is Finnish descent)
4.        Steve Jobs was dropped out from college as only spent one semester studying in Reed College in Oregon, US          
5.        Steve Jobs ever expelled from the company he founded in 1985 after losing the power battle in the Apple's board of director
6.        Steve Jobs founded Pixar Studio and was a key man behind the animation movies of Cars, Finding Nemo, Toy Story, Ratatouille, Bug's Life and Monsters, Inc.
7.        Steve Jobs came back to Apple in 1996 and then became a Chairman and CEO, was a key man and key innovator behind the mega products of iPod, iPhone and iPad
8.        Steve Jobs was paid US$1.00 per year as CEO of Apple, Inc., but his wealth sat him to be the America's 42nd wealthiest man in 2010 as quoted by Forbes
9.        Steve Jobs was died of pancreas cancer, that widely thought caused by lifestyle and diet, however Jobs was a pescetarian, only eat fish and no other meats
10.        Steve Jobs' biological father was Muslim, he was raised in Christian environment, her biological mother had Jews descent, her adopting mother had Armenian descent with Orthodox Christian background, then Jobs himself converted into Buddhism until his death, and he was true admirer and adopter of oriental spiritualism as he had a spiritual journeys when visiting India and China

       on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

10 things iPhone & iPad users may not know about Steve Jobs

  1. Steve Jobs was an adopted child, adopted by Paul and Clara Jobs (née Hagopian) and he was born and raised (and later died) in California, US
  2. Steve Jobs' biological father was a Syrian Muslim named Abdul Fattah Jandali, and his biological mother was an American named Joanne Simpson (née Schieble) who might possible have a Jews descent.
  3. Steve Jobs founded Apple Computer with his close friends, Steve Wozniak (who is Polish descent), Ronald Wayne and Mark Markkula (who is Finnish descent)
  4. Steve Jobs was dropped out from college as only spent one semester studying in Reed College in Oregon, US          
  5. Steve Jobs ever expelled from the company he founded in 1985 after losing the power battle in the Apple's board of director
  6. Steve Jobs founded Pixar Studio and was a key man behind the animation movies of Cars, Finding Nemo, Toy Story, Ratatouille, Bug's Life and Monsters, Inc.
  7. Steve Jobs came back to Apple in 1996 and then became a Chairman and CEO, was a key man and key innovator behind the mega products of iPod, iPhone and iPad
  8. Steve Jobs was paid US$1.00 per year as CEO of Apple, Inc., but his wealth sat him to be the America's 42nd wealthiest man in 2010 as quoted by Forbes
  9. Steve Jobs was died of pancreas cancer, that widely thought caused by lifestyle and diet, however Jobs was a pescetarian, only eat fish and no other meats
  10. Steve Jobs' biological father was Muslim, he was raised in Christian environment, her biological mother had Jews descent, her adopting mother had Armenian descent with Orthodox Christian background, then Jobs himself converted into Buddhism until his death, and he was true admirer and adopter of oriental spiritualism as he had a spiritual journeys when visiting India and China

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

In Memoriam : Steve Jobs (1955-2011)


In Memoriam : Steve Jobs (1955-2011), co-founder, innovator, the real brand and chief executive of Apple, Inc.

Tidak banyak yang mengenal siapa itu Steve Jobs dan bahkan detail lain dari kehidupannya. Saya pun baru tahu pagi ini melalui situs wikipedia.org bahwa Jobs dilahirkan sebagai darah daging seorang Arab muslim kelahiran Syria, AbdulFattah Jandali, kemudian diadopsi pasangan Paul dan Clara Jobs. Juga tidak banyak yang tahu bahwa Jobs pernah tersingkir karena kalah dalam office politics dan terpaksa terusir dari perusahaan yang didirikannya sendiri, Apple Computer, untuk kemudian kembali dan mengukir sukses lebih besar 11 tahun kemudian. Tidak banyak pula orang yang tahu bahwa Jobs adalah drop out setelah hanya mengenyam bangku kuliah selama satu semester saja di Reed College di Oregon, dan fakta lain bahwa Jobs adalah seorang penganut Buddha dan pengagum spiritualisme timur setelah perjalanan spiritualnya ke India dan China. Mayoritas orang hanya tahu soal ciptaan-ciptaan Jobs : Apple MacIntosh computer, Apple iPhone, Apple iPad dan Apple iPod. Nama Jobs memang lebih identik dengan nama-nama tersebut dan tiga kata lain : Apple, Inovasi dan Perjuangan.

Dari berbagai sumber, kata inovasi dan perjuangan, seolah dua sisi mata uang dari kehidupan Jobs sejak awal hingga akhir hayatnya. Karena berjuang maka ia terus berinovasi. Dan dirinya berinovasi sebagai bentuk perjuangan. Bukan cuma berjuang di sepertiga akhir hidupnya melawan penyakit kanker pankreas dan tumor sel yang akhirnya menamatkan buku perjalanan hidupnya. Jobs juga berjuang nyaris di tiga perempat hidupnya untuk suatu keyakinan : "produk teknologi yang fashionable dan mampu memenuhi kebutuhan banyak orang. " Jobs memilih untuk berkarya ketimbang berbicara untuk memenangkan apa yang diyakininya. Banyak kalangan di dekatnya berpendapat bahwa sikap ini amat mungkin dipengaruhi spiritualismenya sebagai pemeluk Buddhisme dan pengagum spiritualisme Timur. Faktanya memang Jobs berdarah timur dari ayah biologisnya yang seorang Arab. Cukup menjelaskan kaitannya bukan ?

Perjuangan Jobs di karir dan perjalanan inovasinya cukup berliku, melelahkan dan bahkan menyakitkan. Setelah Apple Computer yang didirikannya bersama sahabat-sahabatnya, Mike Wozniak (yang berdarah Polandia) dan Mike Markkula (yang berdarah Finlandia), menjulang dan menjadi raksasa bisnis komputer, ia justru terdesak dan dipaksa keadaan untuk keluar dari Apple. Semata karena keyakinan dan pandangannya yang tidak populis di hirarki Apple, yang saat itu tengah menikmati kejayaan Apple MacIntosh. Sementara Jobs berpendapat bahwa "inovasi seharusnya tidak berhenti dan harus dilanjutkan dengan biaya berapapun". Pada saat kembali 11 tahun kemudian, "tidak satu detail pun dari keyakinan dan kata-katanya yang berubah", menurut orang-orang terdekatnya. Jobs melanjutkan apa yang diyakininya, dan tiga raksasa gadget yang mendunia saat ini : iPod, iPhone dan iPad, menjadi saksinya.

Jobs tidak pernah lupa darimana ia berasal dan bagaimana ia tertempa hingga seperti sekarang. Seberapapun ia berhasil tanpa pendidikan formal, Jobs tetap memberikan apresiasi dan dukungan pada pendidikan formal, yang disebutnya "tiket termudah dan termurah untuk sampai ke tujuan, walaupun tentu ada kendaraan lain yang bisa membawa anda ke tujuan". Ia konsisten dengan prinsipnya bahwa berinovasi adalah berjuang. Dalam tahun-tahun sulit di masa perjuangan Apple setelah ia kembali dan menjadi CEO, ia bahkan menetapkan gajinya hanya US$ 1.00 per tahun yang dibayarkan di awal tahun. Ini tidak menghalanginya masuk ke daftar Top 10 Forbes sebagai orang terkaya di Amerika Serikat. Ia juga seorang penderma (filantropis), dimana sumbangannya cukup besar dalam bentuk finansial ke berbagai organisasi. Khusus ke bidang pendidikan, sumbangannya bahkan bukan hanya dalam bentuk finansial namun juga dalam bentuk teknologi, kesempatan berkarya, dan bahkan paten. Unik namun mungkin lebih bermanfaat.

Kini sang inovator, sang pejuang fashionable technology dan sang filantropis telah pergi. Lalu apa yang ditinggalkannya ? Terlalu mudah untuk menyebutkan hal-hal seperti iPod, iPhone dan iPad sebagai warisan berharganya. Bagi saya pribadi, ada tiga hal yang menjadi warisan amat berharga dari Jobs untuk Apple dan pengikut setianya : Inovasi yang konsisten, Keyakinan pada prinsip yang kuat, dan Konsep manajemen yang disiplin. Kedua hal yang pertama telah sedikit saya ulas di atas dan mudah ditemui di sejumlah referensi dan literatur mengenai Jobs dan Apple. Bagaimana yang terakhir ? Selain manajemen yang ramah pada pasar dan disiplin dalam upayanya memenuhi selera pasar serta survival secara berkelanjutan, Jobs juga melakukan sesuatu yang sulit dilakukan oleh pihak lain di posisi puncak : suksesi yang mulus dan tepat waktu (smooth and timely succession).

Saya tertarik dengan apa yang dilakukan Jobs untuk mempersiapkan penggantinya, Tim Cook di bulan Agustus 2011, hanya delapan minggu sebelum kematiannya. Proses ini sudah berjalan dua tahun, dan dalam banyak kesempatan Cook yang merupakan COO Apple, Inc. sudah diberi tanggung jawab sebagian maupun penuh untuk bertindak sebagai CEO. Saat ada sejumlah keraguan dan Cook berhasil menjalankan tugasnya, sempat terdengar Jobs mengucapkan "kalaupun ia adalah suatu bayangan, besok pagi akan tiba waktunya bayangan pergi dan sosok sebenarnya yang nampak". Jobs memang mati-matian mendukung dan membela orang yang ia persiapkan diri sejak dini sebagai penggantinya. Tiga hal yang ditekankan selalu olehnya mengenai suksesor : Mau,  Mampu dan Diterima. Tugas berat kini di tangan Cook yang harus melanjutkan perjalanan Apple tanpa sang mentor di tengah persaingan global industri teknologi yang kejam dan amat cepat berubah. Apapun, sang mentor sudah tidak lagi berinovasi. Perjalanannya sudah usai, apapun perjalanan yang akan dijalani dan dihadapi Cook dan Apple setelah ini.

Great Job Mr. Jobs !

on twitter @katjoengkampret | katjoengkampret@aol.com

Friday, September 30, 2011

Menjadi Entrepreneur Dalam Profesi


Selamat Pagi !

Saya hendak berbagi pengalaman dan hasil pemikiran saya setelah mengikuti kuliah umum yang diberikan oleh seorang entrepreneur global di Jakarta beberapa bulan lalu melalui download video di Internet. Menarik sekali bahwa beliau tidak menganjurkan semua orang untuk menjadi wirausaha (entrepreneur), namun mewajibkan semua orang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) untuk diaplikasikan dalam banyak aspek dalam hidup.

Kuliah umum itu sendiri dilakukan atas sponsor suatu bank nasional terkemuka dan audiens dari event tersebut juga mayoritas pejabat dan officer dari bank tersebut. Sangat menarik untuk dicermati bahwa kedua gagasan yang disampaikan menjadi amat relevan dengan fenomena yang terjadi di sekitar kita yang muncul seperti "membius" banyak orang dan bahkan telah memakan korban dalam bentuk kawan-kawan kita yang salah ambil keputusan.

Saya memiliki banyak kawan dan kenalan yang melambung tinggi setelah pindah kuadran menjadi entrepreneur. Namun jauh lebih banyak rekan-rekan yang remuk redam, kehilangan harta dan harga diri serta karier karena salah pilih jalan menjadi entrepreneur. Dan jeleknya lagi, mayoritas yang sukses seolah mencibir halus dengan ungkapan "tidak seharusnya mereka menyerah begitu mudah...". Apakah mereka benar-benar mengetahui pokok permasalahannya serta lika-liku mereka yang gagal tersebut ? Sangat tidak simpatik menurut saya dan arogan. Karena saya percaya, ada faktor lain selain sekedar semangat pantang menyerah yang menjadi penentuk kesuksesan berwirausaha. Dan kuliah umum itu telah menyadarkan saya akan kadar kebenaran dari apa yang saya pikirkan tersebut.

"Menjadi entrepreneur itu suatu pilihan, bukan takdir", tuturnya. Dan karena ini adalah suatu pilihan, maka harus dipikirkan secara matang akan hal-hal yang menjadi aspek pendukung maupun penghambatnya. "Aspek-aspek ini lah yang sebenarnya takdir", demikian kesimpulan darinya. Disebutkan, aspek seperti "tidak punya modal", "takut mengambil resiko" dan "tidak pandai bergaul" adalah contoh takdirnya. Dan ini yang harus diakali, bukan dalam rangka ingin menjadi entrepreneur, namun karena mengarungi hidup dengan aman dan nyaman memerlukan kualitas-kualitas tersebut.

Lalu mengapa kita harus memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan jika kita memang telah tentukan diri kita untuk tidak menjadi seorang wirausahawan ? Inilah trik utama dalam hidup menurutnya. Semua aspek dalam kehidupan adalah berwirausaha pada hakekatnya. Karena olehnya dirumuskan bahwa wirausaha adalah menyangkut tiga hal saja, yaitu :
(1) pemanfaatan sumber daya dengan cara mentransaksikannya sehingga memperoleh surplus atas benefit terhadap cost ;
(2) pengelolaan potensi dan resiko sehingga memperoleh peluang yang terukur ; serta
(3) kemampuan untuk mengelola kedua poin tersebut secara bersama-sama, berkesinambungan dan tetap menguntungkan.

Benar juga. Jika kita perhatikan, da'i A atau motivator B atau konsultan bisnis C atau pakar franchise D, saya berkeyakinan bahwa belum tentu mereka konsisten dengan apa yang disampaikan. Belum tentu si da'i A menjalankan ajaran-ajaran yang disampaikannya, who knows ? Belum tentu juga motivator B tidak pernah putus asa dan selalu optimis seperti tampak di aneka media. Belum tentu pula konsultan bisnis C memiliki bisnis sendiri yang selalu gilang gemilang tak pernah anjlok. Apalagi pakar franchise D, bisa jadi kita akan temukan fakta bahwa yang bersangkutan tidak pernah memiliki franchise apapun. Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan : semangat dan jiwa kewirausahaan !

Semangat dan jiwa kewirausahaan lah yang menjadikan mereka menyusun strategi untuk tampil konsisten di media, memilah aspek dari diskusi dan ajaran yang disampaikan agar mampu "menjual" dan "membius" banyak orang. Mampu menformulasikan kata-kata dan ajaran yang disampaikan agar dapat memberikan benefit bagi orang lain sehingga akan muncul "ketergantungan" pada figur mereka sebagai "juru selamat" untuk bidang masing-masing, serta membangun brand strategy atas nama dan figur mereka sebagai "orang yang paling ahli di bidangnya", padahal belum tentu kan ?

Dalam bekerja, jika ini memang pilihan kita, dan kita ditakdirkan untuk memiliki kelebihan serta kekurangan yang akan paling sesuai untuk diimplementasikan di dunia kerja, maka lakukanlah dengan profesional dan tidak setengah-setengah. Jangan tergoda untuk pindah lahan, jika sekedar ingin mencoba silakan saja namun jangan coba-coba tidak bertanggung jawab, karena tidak akan diperoleh manfaat maksimal dari eksperimen kita.

Pastikan kita menjadi "wirausaha dalam profesi kita", dengan melakukan langkah-langkah sesuai prinsip-prinsip di atas dan contoh-contoh di atas. Kita harus membangun merek dan reputasi diri kita sendiri : Nama saya ABC, saya pengalaman X tahun di bidang Y dan ahli dalam aspek pengelolaan Z. Kita juga harus mampu memilah-milah keahlian inti (core competence) untuk dijual dan dijadikan bahan ketergantungan orang akan potensi dan value diri kita sendiri : Nama saya ABC, saya berpengalaman dan ahli dalam mengelola aspek Z dan sudah saya implementasikan dengan sukses di N perusahaan selama kurun waktu X tahun sehingga saya berharap bisa membantu perusahaan untuk mencapai peningkatan sebesar Q persen melalui keahlian saya.

Jika kita harus membuat suatu check list, maka yang harus kita lakukan sekarang ada;ah :
(1) menentukan kualitas diri kita yang akan dijadikan sumber daya untuk di-"wirausaha"-kan di profesi kita (reputasi, pengalaman, keahlian khusus, sertifikasi, jaringan kerja etc.) ;
(2) menentukan lahan dan metode untuk memperoleh surplus benefit atas cost jika sumber daya yang telah kita susun tersebut kita pasarkan dan kita "jual", tentukan berapa nilai jual yang layak dan menguntungkan (gaji, fee, compensation, kontrak etc.) dan tentukan berapa besar pengorbanan yang harus kita keluarkan untuk merealisasikan hal tersebut (waktu, tenaga, pikiran, emosi, proses belajar etc.)
(3) membuat daftar potensi resiko serta ancaman dan potensi pengembangan atas aktivitas yang kita akan lakukan, misalkan kemungkinan pesaing, kemungkinan keahlian kita digantikan oleh mesin atau teknologi, kemungkinan penyusutan nilai jual keahlian kita, kemungkinan kita mengembangkan keahlian kita dengan teknologi informasi sehingga memiliki nilai tambah bagi pengguna jasa kita atau perusahaan yang mempekerjakan kita dsb.
(4) Keahlian apa yang kita butuhkan serta siapa-siapa saja yang bisa menjadi mentor kita agar kita memperoleh kemampuan untuk mengelola potensi, resiko, benefit dan cost dari apa yang akan kita lakukan secara terus menerus, konsisten, dan menguntungkan.

Sepertinya saya sudah bicara terlalu banyak pagi ini, semoga tidak membosankan rekan-rekan semua. Saya akan sambung suatu waktu nanti dengan tulisan lain yang terkait mengenai pentingnya kita memiliki mentor ("pengajar") dan tormentor ("penghajar") untuk diri kita agar kita bisa sukses.

Salam sukses untuk Anda semua, semoga Anda melalui hari yang indah ini dengan semangat dan kebahagiaan. Selamat berakhir minggu juga ! Salam.

on twitter @katjoengkampret | e-mail : katjoengkampret@aol.com